AYOBANDUNG.ID - Sebelum Cipularang berdiri, Bandung terasa seperti dunia lain bagi warga Jakarta: jauh, berliku, namun lengang meskipun di akhir pekan. Tapi sejak tol ini dibuka, jarak psikologis itu lenyap. Bandung menjadi halaman belakang ibu kota, dan sebaliknya, Jakarta menjadi tempat pulang bagi banyak orang yang menetap di selatan. Dari kilometer nol hingga kilometer seratus, Cipularang menjadi semacam garis waktu yang memisahkan dua era: sebelum dan sesudah kecepatan.
Ketika seseorang menginjakkan kaki di gerbang Tol Cikampek menuju Bandung, barangkali tak banyak yang tahu bahwa jalan lurus nan mulus itu pernah terhenti di tengah jalan sejarah. Di atas aspal yang kini dilalui ribuan kendaraan tiap hari, tersimpan kisah panjang tentang ambisi negara, kegagalan, dan kebangkitan—serta sedikit bumbu mistis yang tak pernah benar-benar lenyap dari ingatan masyarakat. Nama resminya Jalan Tol Cikampek–Purwakarta–Padalarang, tapi orang-orang lebih suka menyebutnya dengan cara yang lebih singkat dan akrab: Tol Cipularang.
Tol sepanjang sekitar 54 kilometer ini ibarat pembuluh darah yang menghubungkan jantung ekonomi Jakarta dengan paru-paru budaya dan pendidikan Bandung. Waktu tempuh yang dulu mencapai tiga hingga empat jam lewat jalur Puncak kini bisa diselesaikan dalam satu setengah jam, asal tak macet dan rem mobil berfungsi baik di turunan legendaris KM 100. Tapi kisah tentang bagaimana tol ini lahir jauh lebih panjang daripada jarak yang ia hubungkan.
Ide awal mula tol ini muncul pada awal 1990-an, masa ketika Indonesia masih mabuk pembangunan. Pemerintah ingin menghubungkan Jakarta dengan Bandung lewat jalur yang lebih cepat dan modern, bukan jalan berkelok penuh truk di Subang atau Puncak. Maka lahirlah rencana yang kala itu terdengar futuristik: jalan tol Cikarang–Jonggol–Cianjur–Padalarang, atau disingkat Cigolarang.
Baca Juga: Dari Barak Tentara ke Istana, Sejarah Mobil Maung Pindad Buatan Bandung
Konsorsium Citra Ganesha gabungan Grup Citra milik keluarga Cendana, perusahaan Travalgar, dan Jasa Marga mendapat hak membangunnya pada 1991. Jalurnya dirancang berbelok ke selatan dari Tambun, melintasi Jonggol yang kala itu digadang-gadang bakal jadi ibu kota baru Indonesia. Tapi seperti banyak proyek besar di era Orde Baru, rencana itu lebih banyak hidup di papan gambar ketimbang di tanah lapang.
Selama lima tahun, konsorsium tidak berhasil menancapkan satu pun fondasi berarti. Lalu datanglah badai besar tahun 1997: krisis moneter. Rupiah tumbang, kontraktor kabur, dan proyek Cigolarang tenggelam bersama mimpi pemindahan ibu kota. Pada 2001, pemerintah mencabut izin konsorsium karena tak ada kemajuan berarti.
Selama bertahun-tahun, Bandung tetap menunggu. Jalan Puncak masih menjadi favorit pelancong, dan Purwakarta menjadi jalur utama logistik meski macet setiap akhir pekan. Sementara itu, industri tekstil, pariwisata, dan pendidikan di Bandung berkembang cepat, tapi akses menuju Jakarta tetap seperti jalan menuju masa lalu: padat, lama, dan penuh risiko.
Titik balik datang pada 2003. Pemerintah Megawati Soekarnoputri membutuhkan infrastruktur baru untuk menyambut Konferensi Asia-Afrika ke-50 di Bandung pada 2005. Ini bukan sekadar peringatan sejarah, tapi panggung diplomatik di mana Indonesia ingin menunjukkan kemajuan. Maka proyek tol yang lama mati suri itu dihidupkan lagi, kini dengan nama baru: Tol Cipularang.
Jasa Marga dipercaya untuk mengeksekusi pembangunan, bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Pengerjaan dibagi dua tahap. Tahap pertama, Cikampek–Sadang sepanjang 17 kilometer, dimulai pada 2002 dan selesai pada 2004 dengan biaya sekitar Rp745 miliar. Tahap kedua, Sadang–Padalarang sepanjang 41 kilometer, menyusul tak lama kemudian.
Pembangunan ini tidak mudah. Para insinyur harus menaklukkan medan pegunungan timur Jatiluhur—tanah labil, lembah curam, dan struktur batu yang keras kepala. Mereka membangun jembatan-jembatan megah seperti Cikubang sepanjang 520 meter, Cipada 720 meter, hingga Cisomang yang menjulang setinggi 100 meter di atas lembah hijau. Di titik ini, Cipularang bukan sekadar jalan tol; ia adalah karya arsitektur di tengah perbukitan Jawa Barat.
Pada 26 April 2005, Tol Cipularang diresmikan penuh. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kemudian menandainya kembali pada Juli tahun itu. Para delegasi KTT Asia-Afrika pun meluncur dari Jakarta ke Bandung dengan waktu tempuh yang lebih singkat dari masa penantian proyeknya sendiri.
Baca Juga: Sejarah Proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung, Wariskan Beban Gunungan Utang ke China
Tapi, tak lama setelah euforia itu, bumi mulai berbicara.

Kecelakaan dan Legenda Gunung Hejo
Hanya beberapa bulan setelah dibuka, Tol Cipularang mulai retak—secara harfiah. Pada 28 November 2005, sebagian jalan di KM 91,6 Pasir Honje, Purwakarta amblas. Dua bulan kemudian, bagian lain di KM 96,8 mengalami nasib serupa. Pemerintah buru-buru memperbaiki dan melarang truk besar melintas demi mengurangi tekanan tanah. Larangan ini, yang bermula dari darurat teknis, kini menjadi kebijakan permanen.
Persoalan berikutnya datang dari arah kendaraan. Ruas KM 90–100, yang membentang di area pegunungan, menjadi titik paling rawan kecelakaan. Jalan dari arah Bandung menurun panjang dan licin ketika hujan, sementara arah sebaliknya menanjak curam. Banyak kendaraan kehilangan kendali.
Kasus paling terkenal terjadi pada 3 September 2011. Penyanyi dangdut Saipul Jamil mengalami kecelakaan tunggal di KM 97; istrinya meninggal di tempat. Bertahun-tahun kemudian, pada November 2024, kecelakaan beruntun kembali terjadi di KM 92. Sebuah truk pengangkut kardus kehilangan kendali dan menabrak belasan mobil, menewaskan satu orang dan melukai puluhan lainnya.
Pemerintah telah mencoba banyak cara untuk menekan angka kecelakaan: pembatasan kecepatan 80 km/jam di area curam, pemasangan rambu tambahan, hingga rest area baru di KM 72, 88, dan 97. Tapi tetap saja, Cipularang punya reputasi yang membuat pengemudi menurunkan gas secara naluriah begitu memasuki kilometer 90-an.
Pemcunya, mungkin karena jalan ini tidak hanya menembus bukit, tapi juga menembus sesuatu yang lebih dalam: kepercayaan dan mitos masyarakat.
Baca Juga: Sejarah Seblak, Kuliner Pedas Legendaris yang jadi Favorit Warga Bandung
Gunung Hejo di Kecamatan Darangdan, Purwakarta, misalnya. Gunung kecil ini dipercaya sebagai tempat keramat peninggalan Prabu Siliwangi, raja besar Pajajaran. Saat proyek tol dikerjakan, rencana awal menembus gunung itu dibatalkan. Alat berat sering rusak misterius, pekerja mengaku melihat bayangan, dan beberapa tewas karena jatuh. Akhirnya jalur diubah, memutar sedikit, seperti memberi penghormatan pada sesuatu yang tak kasat mata.
Cerita berkembang bahwa kecelakaan di tol ini bukan semata akibat rem blong, melainkan "tumbal" bagi penunggu gunung yang marah karena janji pembangunan musala di kaki gunung tak ditepati. Kisah ini terus beredar di forum daring dan kanal misteri, menjadikan Cipularang bukan hanya tol cepat, tapi juga tol paling angker di Indonesia.
Tentu saja, para insinyur punya penjelasan lain: kontur tanah di sana memang labil, dan kelembapan tinggi membuat aspal mudah bergeser. Tapi di negeri yang selalu menyimpan hubungan rumit antara sains dan supranatural, dua versi kebenaran bisa hidup berdampingan.
Terlepas dari mitosnya, Tol Cipularang telah mengubah wajah Jawa Barat. Sejak dibuka, ekonomi di sepanjang jalur ini tumbuh pesat. Purwakarta menjelma kawasan industri dan logistik. Bandung semakin ramai oleh wisatawan dari Jakarta yang bisa datang hanya untuk akhir pekan. Harga tanah di Lembang, Cimahi, hingga Padalarang melambung bersama arus kendaraan di tol ini.
Barang-barang dari pabrik di Bandung kini meluncur lebih cepat ke pelabuhan dan pasar Jakarta. Pemerintah bahkan berencana memperluas konektivitasnya lewat tol baru Sukabumi–Ciranjang–Padalarang (Sucilarang), bagian dari jaringan besar Purbaleunyi.
Kini, dua dekade setelah peresmiannya, Tol Cipularang masih berdiri sebagai salah satu jalur tersibuk dan paling vital di Indonesia. Setiap hari, ribuan kendaraan melintas membawa wisatawan, pekerja, dan cerita baru di atas jalan yang sama.
Di balik beton dan jembatan megahnya, ada kisah tentang ambisi yang sempat mati, krisis yang menunda, dan mitos yang menolak hilang. Tol Cipularang, pada akhirnya, bukan sekadar jalan raya—tapi catatan panjang tentang bagaimana Indonesia membangun kemajuan di atas tanah yang masih berbisik.