Diskriminasi yang dialami oleh masyarakat non-muslim di Indonesia tak jarang kita temui di beberapa daerah. Pelaku dari diskriminasi itu sendiri sering kali merupakan sekelompok oknum muslim yang merupakan anggota dari kelompok mayoritas.
Miris, di mana agama yang selalu mengajarkan perdamaian dan sikap saling menghargai satu sama lain, malah menjadi pelaku diskriminasi terhadap agama lainnya. Bahkan, bukan hanya kepada agama lain, terkadang kelompok muslim tertentu juga mendiskriminasi kelompok muslim lainnya yang bukan bagian dari kelompok mayoritas.
Beberapa contoh kasus oknum muslim yang mendiskriminasi non-muslim adalah kasus siswi non-muslim yang dipaksa berjilbab di SMKN 2 Padang (2021), penolakan pendirian tempat ibadah non-muslim di Sumatera Barat (2014 – 2020), perusakan gereja di Sukabumi pada bulan Juni 2025, dan yang terbaru adalah rumah doa umat Kristen di Garut ditutup paksa pada bulan Agustus 2025.
Hal-hal seperti ini tentu saja sangat melanggar norma seorang manusia yang menjaga perdamaian. Meski tidak semua muslim intoleran dan mendiskriminasi non-muslim, hal ini tetap menjadi fenomena yang sangat disayangkan untuk terjadi, padahal agama Islam tidak pernah memerintahkan penganutnya untuk mengganggu atau bahkan merusak kegiatan keagamaan lain.
Fenomena lain yang lebih unik daripada oknum muslim mendiskriminasi non-muslim adalah, sekelompok muslim mendiskriminasi muslim lainnya. Di Indonesia, ada beberapa organisasi Muslim yang bisa dibilang cukup besar dan mendominasi persebaran agama. Salah satunya adalah Nahdatul Ulama, yang merupakan organisasi Islam terbesar di Indonesia.
Meski tidak semuanya, ada beberapa oknum dari organisasi-organisasi semacam ini yang menganggap bahwa ajaran dari kelompok lain yang lebih kecil adalah salah. Tak jarang juga, kegiatan pengajian yang tenang dibubarkan oleh kelompok muslim mayoritas.
Beberapa kasus yang bisa diambil sebagai contoh adalah, pembubaran pengajian yang diisi oleh Ustadz Syafiq Riza Basalamah di Surabaya pada Februari 2024, pengajian yang diisi oleh Ustadz Felix Siauw yang dibubarkan oleh ormas banser setempat pada tahun 2017, dan pengajian oleh Ustadz Hanan Attaki pada tahun 2023 di Pamekasan yang juga dibubarkan oleh ormas setempat.
Diskriminasi tidak hanya terjadi kepada nonis, melainkan juga kepada kelompok muslim yang memiliki ajaran sedikit berbeda dengan oknum muslim mayoritas.
Landasan Teori dan Analisis Fenomena

Terlepas dari bagaimana suatu agama mengajarkan kebaikan seperti apapun, pada akhirnya sekelompok orang-orang beragama Islam itu masihlah manusia yang merupakan makhluk sosial. Di dalam ilmu psikologi sosial, ada sebuah teori sosial identitas yang pertama kali dikemukakan oleh Henri Tajfel dan John C. Turner pada tahun 1979. Teori ini menjelaskan bahwa identitas seseorang cenderung berasal dari keanggotaan mereka dalam suatu kelompok.
Sebagian individu, melihat individu dan mengkategorikan individu lain dalam tiga tahapan. Yang pertama adalah social categorization atau kategorisasi sosial. Tahapan ini adalah saat dimana individu mengelompokkan dirinya dan orang lain dalam suatu kelompok. Misalnya individu akan melihat orang lain seperti “Aku Islam” atau “Dia tidak Islam”. Kemudian yang kedua adalah tahap social identification atau identifikasi sosial.
Pada tahap ini, individu cenderung bergantung dan bangga dengan identitas kelompoknya, serta merasa ingin mempertahankan superioritas kelompok miliknya. Tahap terakhir adalah social comparison atau perbandingan. Tahap inilah yang menjadi tahapan paling rentan bagi seseorang dalam kelompok sosial. Pada tahap ini, terkadang individu akan berusaha untuk menjaga harga diri sosialnya dengan cara merendahkan kelompok lain. Dari sinilah muncul sikap mendiskriminasi kelompok lain.
Persepsi dari sekelompok muslim terhadap nonis juga sering menjadi latar belakang munculnya diskriminasi. Beberapa muslim yang merasa bahwa ajaran Islam adalah mutlak bagi setiap manusia bisa saja merasa bahwa kaum nonis kurang religius, tidak bermoral dalam hal berpakaian, dan berkehidupan terlalu bebas. Hal inilah yang kemudian membentuk stereotip negatif yang melabeli bahwa nonis itu adalah kelompok “kurang religius”. Padahal, tidak sedikit muslim yang kurang bermoral juga, bahkan tak jarang ada yang beragama Islam, tapi hanya di KTP.
Dari teori psikologi sosial di atas, dapat dilihat latar belakang mengapa sekelompok oknum muslim mayoritas menjadi sering mendiskriminasi kelompok minoritas. Ketika harga diri kelompok menjadi nilai utama bagi seseorang, hal tersebut akan mendorong kognitif individu untuk menunjukkan bahwa kelompok sosialnya adalah superior. Itulah yang kemudian membuat perilaku diskriminasi muncul di masyarakat, terutama di Indonesia.
Bagaimanapun, diskriminasi terhadap kelompok minoritas tidak bisa dinormalisasikan begitu saja meski ada latar belakang psikologi dibaliknya. Diluar kebutuhan untuk menguatkan harga diri sosial, ada kemanusiaan yang harus dijunjung tinggi di atas segalanya. Agama tidak pernah mengajarkan penganutnya untuk melakukan perundungan atau pun merendahkan penganut agama lain. Karena sejatinya, agama ada untuk memberikan keteraturan dan menjaga perdamaian, bukan membawa permusuhan karena perbedaan. (*)