AYOBANDUNG.ID -- Peluncuran iPhone 17 di Indonesia pada 17 Oktober 2025, kembali memunculkan fenomena sosial yang tak asing, yakni antrean panjang, euforia unboxing, dan dorongan untuk menjadi yang pertama.
Di Hello Store Buah Batu, Bandung misalnya. Suasana toko itu dipenuhi pelanggan yang telah melakukan pre-order dan rela datang sejak pagi hari demi satu tujuan yakni menggenggam generasi terbaru dari Apple.
Fenomena ini bukan sekadar soal teknologi, melainkan cerminan dari perilaku konsumtif masyarakat urban yang semakin dipengaruhi oleh tren global dan tekanan sosial. Dalam era digital, memiliki produk terbaru bukan lagi soal kebutuhan, melainkan soal eksistensi.
Di berbagai titik penjualan resmi, termasuk Hello Store Buah Batu, pelanggan disambut dengan seremoni penyambutan, tepuk tangan meriah, dan momen unboxing yang didokumentasikan.
“Sejak pagi, para pelanggan yang telah melakukan pre-order iPhone 17 melalui platform Blibli sangat antusias dan rela antre di store sejak pagi,” ujar salah satu karyawan toko tersebut.
Antusiasme ini menunjukkan bagaimana peluncuran produk teknologi telah berubah menjadi ritual sosial. Masyarakat tidak hanya membeli barang, tetapi juga membeli pengalaman, status, dan validasi sosial yang menyertainya.
Fenomena FOMO alias Fear of Missing Out menjadi pemicu utama. Ketakutan akan tertinggal dari tren, tidak dianggap ‘up to date’, atau tidak memiliki akses ke teknologi terbaru mendorong perilaku konsumtif yang impulsif. Dalam konteks iPhone, FOMO bukan hanya soal fitur, tetapi juga soal citra diri.

Di media sosial, momen pengambilan iPhone 17 dibagikan secara masif. Foto-foto dengan latar belakang toko resmi, video unboxing, hingga testimoni awal menjadi konten yang viral. Hal ini memperkuat narasi bahwa memiliki iPhone 17 adalah bagian dari gaya hidup digital yang diidamkan.
Namun, di balik euforia ini, muncul pertanyaan: sejauh mana masyarakat memahami nilai dari produk yang diburu? Apakah dorongan membeli didasari kebutuhan fungsional, atau semata-mata tekanan sosial dan citra?
Data dari Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa pengeluaran rumah tangga untuk kategori komunikasi dan teknologi meningkat signifikan dalam lima tahun terakhir. Tren ini menunjukkan bahwa teknologi telah menjadi prioritas konsumsi, bahkan melebihi kebutuhan dasar lainnya.
Di sisi lain, peluncuran produk seperti iPhone juga memperlihatkan ketimpangan akses. Tidak semua lapisan masyarakat mampu mengikuti tren ini, namun tekanan sosial membuat sebagian orang memaksakan diri untuk tetap “ikut arus”, meski secara ekonomi belum tentu siap.
Hello Store Buah Batu menjadi contoh bagaimana titik ritel lokal bisa menjadi pusat euforia nasional. Namun, euforia ini juga memperlihatkan bagaimana brand global mampu membentuk perilaku lokal melalui narasi eksklusivitas dan inovasi.
Fenomena ini juga menimbulkan dampak psikologis. Dorongan untuk memiliki, rasa iri terhadap mereka yang sudah mendapatkannya, dan tekanan untuk tampil “update” bisa memicu stres sosial, terutama di kalangan muda yang aktif di media sosial.
Di tengah antusiasme ini, penting bagi masyarakat untuk mulai membedakan antara kebutuhan dan keinginan. Produk teknologi memang menawarkan kemudahan, tetapi keputusan membeli seharusnya didasari pertimbangan rasional, bukan tekanan sosial.
Euphoria peluncuran iPhone 17 di Indonesia termasuk di Kota Bandung bukan hanya soal teknologi, tetapi juga tentang bagaimana masyarakat merespons perubahan gaya hidup digital. Dari rela antre sejak pagi hingga unboxing penuh euforia, semuanya menjadi bagian dari narasi besar tentang konsumsi, citra, dan eksistensi di era digital.
Link resmi pembelian produk iPhone 17 dari iBox: