"Beli sekarang, bayar nanti", sebuah fitur yang menjamur di kalangan anak muda. Mereka memanfaatkannya tidak hanya untuk kebutuhan mendesak, tapi juga untuk membeli barang-barang yang nilainya lebih simbolik ketimbang fungsional, seperti Skin care viral, tiket konser, outfit liburan, atau aksesori estetik untuk feed Instagram.
PayLater seolah olah hadir sebagai "penolong" generasi yang hidup dalam logika tampil dan keterhubungan konstan. Ini bukan sekadar alat transaksi, tapi semacam infrastruktur emosional, yang menopang kecemasan kita agar tidak ketinggalan tren, tidak kehilangan momen, dan tidak dianggap "biasa-biasa saja".
Fenomena ini bukan hanya soal konsumsi, melainkan tentang bagaimana identitas dibentuk dan dipertahankan dalam lanskap digital. Di era yang serba visual, memiliki barang menjadi cara untuk ‘menunjukkan eksistensi’. Seperti dikatakan Jean Baudrillard (1998), dalam masyarakat konsumer, objek tidak lagi dihargai karena kegunaannya, melainkan karena kemampuannya menandakan sesuatu, seperti status, gaya hidup, atau kedekatan dengan tren.
Keinginan untuk “ikut merasakan” sesuatu sering kali lebih kuat daripada kemampuan untuk mewujudkannya. Lihat saja fenomena paylater, sebuah solusi instan yang memungkinkan siapa pun dapat membeli sekarang dan membayar nanti.
Kecenderungan ini tidak bisa dilepaskan dari tekanan budaya digital, di mana eksistensi sering kali diukur dari seberapa “terlihat” kita dalam kehidupan online. Dalam masyarakat berbasis tanda (Baudrillard, 1998), membeli produk bukan hanya soal memenuhi kebutuhan, tapi juga soal membangun citra diri. SPayLater menjadi jembatan antara keinginan untuk “tampil sesuai standar estetika media sosial” dan keterbatasan finansial yang nyata. Akibatnya, utang bukan lagi sesuatu yang dihindari, tapi justru dikamuflasekan sebagai bagian dari proses menuju validasi sosial.
Ketika seseorang rela mencicil lipstik 3 bulan atau sepatu 6 bulan demi bisa ikut tren OOTD viral menunjukkan bahwa konsumsi saat ini sangat erat kaitannya dengan FOMO (fear of missing out) dan keinginan untuk tetap relevan di dunia digital yang serba cepat. Dorongan untuk terus hadir dalam narasi sosial semacam itu tidak datang secara alami, ia dibentuk dan dipelihara oleh ritme interaksi digital yang serba instan dan kompetitif. Ketika ruang sosial berubah menjadi panggung visual dan eksistensi diukur dari seberapa cepat kita merespons tren, maka keterlambatan dalam mengikuti arus bisa diartikan sebagai ketidakterlibatan. Rasa cemas pun muncul, bukan karena kita benar-benar kehilangan sesuatu yang penting, tetapi karena kita merasa tidak terlihat atau tidak termasuk.
FOMO, fear of missing out, bukan lagi sekadar kecemasan ringan karena melewatkan sesuatu. Ia telah menjelma menjadi mekanisme budaya yang mendorong konsumsi sebagai sarana untuk menjaga keberadaan. Kita tak lagi membeli karena butuh, tapi karena tidak ingin “ketinggalan”. Produk yang dibeli, dari kosmetik viral hingga tiket konser eksklusif, bukan hanya benda, melainkan tanda bahwa kita ada, bahwa kita terlibat, bahwa kita “masuk dalam percakapan.”

Fenomena ini berkait erat dengan konsep komodifikasi tanda yang dikemukakan oleh Jean Baudrillard (1998). Objek tidak lagi hanya memiliki nilai guna, tetapi juga nilai tanda, simbol yang merepresentasikan status, gaya hidup, atau kelas sosial tertentu. Misalnya, kopi di kafe bukan lagi sekadar minuman; ia telah menjadi simbol waktu luang, urbanitas, dan kemampuan menikmati hidup. Ketika seseorang memotret cangkir kopi mereka dan mengunggahnya ke Instagram, yang sedang mereka tampilkan bukan hanya “kopi”, tetapi serangkaian tanda yang bisa dibaca secara sosial.
Media sosial mempercepat proses ini. Dengan logika visual dan algoritmiknya, media sosial mendorong individu untuk terus-menerus mengonstruksi dan menampilkan versi ideal dari diri mereka. Dalam konteks ini, FOMO menjadi semacam mekanisme budaya yang menjaga agar individu terus terhubung, terus terlihat, dan terus mengonsumsi. Tidak hanya pengalaman yang dikomodifikasi, tetapi juga identitas.
Zygmunt Bauman (2000) menyebut kondisi ini sebagai bagian dari masyarakat cair (liquid modernity), di mana segala sesuatu bersifat tidak stabil, termasuk identitas. Untuk bisa "bertahan" dalam masyarakat cair, individu perlu terus memperbarui citra dirinya melalui konsumsi simbolik. Maka muncullah tren-tren gaya hidup seperti “soft life”, rangkaian aktivitas yang tampak santai, mindful, penuh self-care, namun sering kali tampil lebih sebagai simulakra, bukan realitas sebenarnya. Kita bukan lagi menjalani hidup, tetapi menjalani representasi hidup.
Baca Juga: Hisaplah Asap Racun itu Sendirian
Fenomena ini juga diamati oleh Sherry Turkle (2011), yang menunjukkan bahwa semakin terkoneksi secara digital, individu bisa merasa semakin kesepian dan tertekan. Alih-alih mempererat hubungan sosial, media digital sering kali menciptakan relasi yang dangkal dan berbasis impresi. Dalam konteks ini, FOMO bisa dibaca sebagai gejala dari relasi yang terputus dengan makna dan koneksi yang otentik.
Kita bisa melihat FOMO hari ini lewat berbagai ekspresi: panic buying tiket konser internasional, liburan dadakan demi konten, atau kegelisahan ketika tidak bisa ikut tren tertentu di TikTok. Semua ini menunjukkan bahwa apa yang dicari bukan lagi pengalaman itu sendiri, tetapi tanda bahwa kita ikut serta dalam narasi besar media sosial. Kita ingin dilihat sebagai bagian dari sesuatu yang sedang ramai, sedang “in”.
Maka pertanyaannya bukan hanya: “kenapa kita takut ketinggalan?” tetapi juga “kenapa kita merasa harus selalu terlihat?” Barangkali, ketakutan terbesar manusia modern bukan lagi tertinggal, melainkan tak dianggap ada. (*)