PayLater, FOMO, dan Kita yang Takut Tak Terlihat

Femi  Fauziah Alamsyah
Ditulis oleh Femi Fauziah Alamsyah diterbitkan Kamis 12 Jun 2025, 15:14 WIB
PayLater seolah olah hadir sebagai penolong generasi yang hidup dalam logika tampil dan keterhubungan konstan. (Sumber: Pexels/Nataliya Vaitkevich)

PayLater seolah olah hadir sebagai penolong generasi yang hidup dalam logika tampil dan keterhubungan konstan. (Sumber: Pexels/Nataliya Vaitkevich)

"Beli sekarang, bayar nanti", sebuah fitur yang menjamur di kalangan anak muda. Mereka memanfaatkannya tidak hanya untuk kebutuhan mendesak, tapi juga untuk membeli barang-barang yang nilainya lebih simbolik ketimbang fungsional, seperti Skin care viral, tiket konser, outfit liburan, atau aksesori estetik untuk feed Instagram.

PayLater seolah olah hadir sebagai "penolong" generasi yang hidup dalam logika tampil dan keterhubungan konstan. Ini bukan sekadar alat transaksi, tapi semacam infrastruktur emosional, yang menopang kecemasan kita agar tidak ketinggalan tren, tidak kehilangan momen, dan tidak dianggap "biasa-biasa saja".

Fenomena ini bukan hanya soal konsumsi, melainkan tentang bagaimana identitas dibentuk dan dipertahankan dalam lanskap digital. Di era yang serba visual, memiliki barang menjadi cara untuk ‘menunjukkan eksistensi’. Seperti dikatakan Jean Baudrillard (1998), dalam masyarakat konsumer, objek tidak lagi dihargai karena kegunaannya, melainkan karena kemampuannya menandakan sesuatu, seperti status, gaya hidup, atau kedekatan dengan tren.

Keinginan untuk “ikut merasakan” sesuatu sering kali lebih kuat daripada kemampuan untuk mewujudkannya. Lihat saja fenomena paylater, sebuah solusi instan yang memungkinkan siapa pun dapat membeli sekarang dan membayar nanti.

Kecenderungan ini tidak bisa dilepaskan dari tekanan budaya digital, di mana eksistensi sering kali diukur dari seberapa “terlihat” kita dalam kehidupan online. Dalam masyarakat berbasis tanda (Baudrillard, 1998), membeli produk bukan hanya soal memenuhi kebutuhan, tapi juga soal membangun citra diri. SPayLater menjadi jembatan antara keinginan untuk “tampil sesuai standar estetika media sosial” dan keterbatasan finansial yang nyata. Akibatnya, utang bukan lagi sesuatu yang dihindari, tapi justru dikamuflasekan sebagai bagian dari proses menuju validasi sosial.

Ketika seseorang rela mencicil lipstik 3 bulan atau sepatu 6 bulan demi bisa ikut tren OOTD viral menunjukkan bahwa konsumsi saat ini sangat erat kaitannya dengan FOMO (fear of missing out) dan keinginan untuk tetap relevan di dunia digital yang serba cepat.  Dorongan untuk terus hadir dalam narasi sosial semacam itu tidak datang secara alami, ia dibentuk dan dipelihara oleh ritme interaksi digital yang serba instan dan kompetitif. Ketika ruang sosial berubah menjadi panggung visual dan eksistensi diukur dari seberapa cepat kita merespons tren, maka keterlambatan dalam mengikuti arus bisa diartikan sebagai ketidakterlibatan. Rasa cemas pun muncul, bukan karena kita benar-benar kehilangan sesuatu yang penting, tetapi karena kita merasa tidak terlihat atau tidak termasuk.

FOMO, fear of missing out, bukan lagi sekadar kecemasan ringan karena melewatkan sesuatu. Ia telah menjelma menjadi mekanisme budaya yang mendorong konsumsi sebagai sarana untuk menjaga keberadaan. Kita tak lagi membeli karena butuh, tapi karena tidak ingin “ketinggalan”. Produk yang dibeli, dari kosmetik viral hingga tiket konser eksklusif, bukan hanya benda, melainkan tanda bahwa kita ada, bahwa kita terlibat, bahwa kita “masuk dalam percakapan.”

PayLater seolah olah hadir sebagai penolong generasi yang hidup dalam logika tampil dan keterhubungan konstan (Sumber: Pexels/Nataliya Vaitkevich)
PayLater seolah olah hadir sebagai penolong generasi yang hidup dalam logika tampil dan keterhubungan konstan (Sumber: Pexels/Nataliya Vaitkevich)

Fenomena ini berkait erat dengan konsep komodifikasi tanda yang dikemukakan oleh Jean Baudrillard (1998). Objek tidak lagi hanya memiliki nilai guna, tetapi juga nilai tanda, simbol yang merepresentasikan status, gaya hidup, atau kelas sosial tertentu. Misalnya, kopi di kafe bukan lagi sekadar minuman; ia telah menjadi simbol waktu luang, urbanitas, dan kemampuan menikmati hidup. Ketika seseorang memotret cangkir kopi mereka dan mengunggahnya ke Instagram, yang sedang mereka tampilkan bukan hanya “kopi”, tetapi serangkaian tanda yang bisa dibaca secara sosial.

Media sosial mempercepat proses ini. Dengan logika visual dan algoritmiknya, media sosial mendorong individu untuk terus-menerus mengonstruksi dan menampilkan versi ideal dari diri mereka. Dalam konteks ini, FOMO menjadi semacam mekanisme budaya yang menjaga agar individu terus terhubung, terus terlihat, dan terus mengonsumsi. Tidak hanya pengalaman yang dikomodifikasi, tetapi juga identitas.

Zygmunt Bauman (2000) menyebut kondisi ini sebagai bagian dari masyarakat cair (liquid modernity), di mana segala sesuatu bersifat tidak stabil, termasuk identitas. Untuk bisa "bertahan" dalam masyarakat cair, individu perlu terus memperbarui citra dirinya melalui konsumsi simbolik. Maka muncullah tren-tren gaya hidup seperti “soft life”, rangkaian aktivitas yang tampak santai, mindful, penuh self-care, namun sering kali tampil lebih sebagai simulakra, bukan realitas sebenarnya. Kita bukan lagi menjalani hidup, tetapi menjalani representasi hidup.

Baca Juga: Hisaplah Asap Racun itu Sendirian

Fenomena ini juga diamati oleh Sherry Turkle (2011), yang menunjukkan bahwa semakin terkoneksi secara digital, individu bisa merasa semakin kesepian dan tertekan. Alih-alih mempererat hubungan sosial, media digital sering kali menciptakan relasi yang dangkal dan berbasis impresi. Dalam konteks ini, FOMO bisa dibaca sebagai gejala dari relasi yang terputus dengan makna dan koneksi yang otentik.

Kita bisa melihat FOMO hari ini lewat berbagai ekspresi: panic buying tiket konser internasional, liburan dadakan demi konten, atau kegelisahan ketika tidak bisa ikut tren tertentu di TikTok. Semua ini menunjukkan bahwa apa yang dicari bukan lagi pengalaman itu sendiri, tetapi tanda bahwa kita ikut serta dalam narasi besar media sosial. Kita ingin dilihat sebagai bagian dari sesuatu yang sedang ramai, sedang “in”.

Maka pertanyaannya bukan hanya: “kenapa kita takut ketinggalan?” tetapi juga “kenapa kita merasa harus selalu terlihat?” Barangkali, ketakutan terbesar manusia modern bukan lagi tertinggal, melainkan tak dianggap ada. (*)

Femi  Fauziah Alamsyah
Peminat Kajian Budaya dan Media, Dosen Universitas Muhammadiyah Bandung, Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam
Nilai artikel ini
Klik bintang untuk menilai

News Update

Ayo Biz 13 Jun 2025, 19:14 WIB

Menghadirkan Kepercayaan dalam Seporsi Bakso Tjap Haji, Perjalanan Panjang sejak 1996

Lebih dari sekadar usaha kuliner, Bakso Tjap Haji tumbuh menjadi destinasi kuliner unggulan di Bandung, membawa keautentikan rasa yang tak lekang oleh waktu.
Lebih dari sekadar usaha kuliner, Bakso Tjap Haji tumbuh menjadi destinasi kuliner unggulan di Bandung, membawa keautentikan rasa yang tak lekang oleh waktu. (Sumber: Bakso Tjap Haji)
Ayo Netizen 13 Jun 2025, 17:23 WIB

Soup Pumpkin Teman Sarapan Sehat di Bandung Pagi Hari

Soup Pumpkin merupakan olahan makanan yang terbuat dari buah labu kuning yang memiliki manfaat sebagai antioksidan bagi tubuh.
Satu mangkuk bewarna transparan menyatu dengan kontrasnya warna kuning pada Soup Pumpkin. (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Dias Ashari)
Beranda 13 Jun 2025, 16:44 WIB

Dugaan Korupsi Hibah Pramuka Tambah Coreng Hitam di Wajah Kota Bandung

Dari dana hibah Pramuka hingga proyek Smart City, korupsi di Bandung makin tampak seperti episode baru serial Netflix. Kapan akan berakhir.
Eks Sekda Kota Bandung, Yossi Irianto, dalam sebuah kegiatan Pramuka. (Sumber: Humas Pemkot Bandung)
Ayo Netizen 13 Jun 2025, 16:12 WIB

Kemerdekaan Pangan dan Idealisme Pembangunan yang Berkelanjutan

Sistem pangan berkelanjutan perlu dipertimbangkan secara serius.
Upacara Kampung Adat Cireundeu. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Irfan Al-Faritsi)
Ayo Netizen 13 Jun 2025, 15:05 WIB

Lembutnya Bakso Tulang Iga Gandapura

Bakso Tulang Iga Gandapura adalah salah satu kuliner Bandung yang terletak di Jl. Gudang Utara No.9 Bandung.
Semangkok Bakso Iga Gandapura. (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Dias Ashari)
Ayo Biz 13 Jun 2025, 13:09 WIB

Bolu Pisang Tji Laki 9: Dari Nostalgia ke Ikon Kuliner Oleh-oleh Khas Bandung

Bolu pisang dengan cita rasa autentik, Tji Laki 9 berdiri di Jalan Cilaki No. 9 Bandung, dengan konsep yang memadukan nostalgia dan sentuhan modern.
Bolu pisang dengan cita rasa autentik, Tji Laki 9 berdiri di Jalan Cilaki No. 9 Bandung, dengan konsep yang memadukan nostalgia dan sentuhan modern. (Sumber: Tji Laki 9)
Ayo Biz 13 Jun 2025, 12:07 WIB

Berdiri Sejak 1992, Cuanki Laksana Berhasil Bertransformasi Jadi Jajanan Kekinian yang Mendunia

Di balik kesederhanaan hidangan cuanki, ada kisah perjuangan sebuah keluarga yang berhasil mengangkat jajanan kaki lima menjadi produk unggulan kelas premium.
Cuanki Laksana yang sudah melanglangbuana. (Foto: Dok. Cuanki Laksana)
Beranda 13 Jun 2025, 10:29 WIB

Sungai Citarum Diterjang Banjir Sampah, Hanyut dalam Tumpukan Program

Wajah Citarum tak kunjung membaik meski program penanganan banjir dan sampah terus dikampanyekan sejak 1989. Masalahnya di mana?
Ade Taryo memungut sampah di bawah jembatan BBS Sungai CItarum, Batujajar, Bandung Barat. (Sumber: Ayobandung | Foto: Restu Nugraha)
Ayo Biz 13 Jun 2025, 09:51 WIB

Peci M Iming, Simbol Nasionalisme yang Eksis Sejak 1918

Di tengah hiruk-pikuk modernitas, sebuah toko kecil di Simpang Lima, Bandung, tetap berdiri kokoh sebagai penjaga warisan simbol perjuangan bangsa, yaitu Peci M Iming.
Toko Peci M Iming di Bandung. (Foto: ist)
Ayo Netizen 13 Jun 2025, 08:57 WIB

Bikin Status Tiap Hari, Apakah Kita Haus Validasi?

Media sosial menjadi tempat di mana rahasia dibisikkan keras-keras, dan kebahagiaan diumumkan dengan huruf kapital.
Media sosial menjadi tempat di mana rahasia dibisikkan keras-keras, dan kebahagiaan diumumkan dengan huruf kapital. (Sumber: Pexels/mikoto.raw Photographer)
Ayo Jelajah 12 Jun 2025, 19:02 WIB

Tangis Rindu dan Getirnya Kematian di Balik Lagu Hallo Bandoeng

Diciptakan Willy Derby, Hallo Bandoeng kisahkan haru seorang ibu yang mendengar suara anaknya untuk terakhir kali dari Bandung.
Sampul lagu Hallo Bandoeng. (Repro dari Wikimedia)
Ayo Biz 12 Jun 2025, 18:43 WIB

Dari Tanah Subur ke Tegukan Sempurna, Kisah Kopi Indische Archipel Roastery

Di balik setiap tegukan kopi yang menggugah selera, ada perjalanan panjang yang penuh dedikasi. Perjalanan ini pun dimulai dari kebun-kebun kopi terbaik di Nusantara.
Produk kopi dari Indische Archipel Roastery. (Sumber: Indische Archipel)
Ayo Netizen 12 Jun 2025, 18:15 WIB

3 Strategi Pemasaran 'Disruptif' yang Menggerakkan Bisnis-Bisnis Startup di Era Digital

Ada beberapa strategi pemasaran di era digital ini yang sering ditemukan di bisnis-bisnis startup dan bagaimana dampak dari strategi penasaran tersebut.
Ada beberapa strategi pemasaran di era digital ini yang sering ditemukan di bisnis-bisnis startup dan bagaimana dampak dari strategi penasaran tersebut. (Sumber: Pexels/Kindel Media)
Ayo Netizen 12 Jun 2025, 16:22 WIB

Gambar Karya para Toala di Leang Sumpangbita 

Gua Sumpangbita merupakan satu dari banyak goa di Maros Pangkep.
Gambar yang terdapat di dalam Goa Sumpangbita. (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: T Bachtiar)
Ayo Netizen 12 Jun 2025, 15:14 WIB

PayLater, FOMO, dan Kita yang Takut Tak Terlihat

Dalam dunia yang serba visual, konsumsi menjadi cara membangun identitas, di mana keterlibatan dengan tren lebih penting daripada kebutuhan nyata.
PayLater seolah olah hadir sebagai penolong generasi yang hidup dalam logika tampil dan keterhubungan konstan. (Sumber: Pexels/Nataliya Vaitkevich)
Ayo Biz 12 Jun 2025, 14:44 WIB

Pasar Cimol Gedebage, Pusat Thrifting yang Digemari Gen Z

Di sudut timur Kota Bandung, berdiri sebuah pasar yang telah menjadi magnet bagi pemburu item fashion murah meriah, yaitu Pasar Cimol Gedebage.
Pasar Cimol Gedebage (Foto: ist)
Beranda 12 Jun 2025, 13:58 WIB

Kronik Korupsi Bandung Smart City yang Seret Wali Kota dan Sekda

Proyek Smart City Bandung mengungkap praktik suap terselubung. KPK bekuk Wali Kota, Sekda, dan anggota DPRD ikut bancakan.
Eks Wali Kota Bandung saat divonis bersalah atas kasus korupsi Bandung Smart City. (Sumber: Ayobandung | Foto: Kavin Faza)
Ayo Biz 12 Jun 2025, 13:38 WIB

Menjaga Budaya Lewat Jaket, Perjalanan Kreatif Brand Fesyen Lokal Rawtype Riot

Decky Sastra, pemilik dan pendiri brand fashion streetwear Rawtype Riot, yang memadukan seni desain modern dengan kearifan lokal tenun khas Jawa Barat.
Decky Sastra, pemilik dan pendiri brand fashion streetwear Rawtype Riot, yang memadukan seni desain modern dengan kearifan lokal tenun khas Jawa Barat. (Sumber: Rawtype Riot)
Ayo Netizen 12 Jun 2025, 10:58 WIB

Hisaplah Asap Racun itu Sendirian

Rokok dan merokok menjadi dua hal yang tidak bisa lepas bagi pria Indonesia.
Asap rokok yang berada pada ruangan bebas bisa berakibat kurang baik pada perokok pasif. (Sumber: Pexels/Pixabay)
Ayo Biz 12 Jun 2025, 09:23 WIB

Krisis Penerus, Eksistensi Perajin Wayang Golek di Pusat Kota Bandung Kian Tergerus

Di tengah arus globalisasi, ada satu nama tetap setia menjaga warisan leluhur, yaitu Toto Hadiyanto. Lelaki berusia 60 tahun asal Mandalajati, Bandung Timur ini, telah lebih dari tiga dekade mengabdi
Toto Hadianto, perajin wayang golek di Kota Bandung. (Foto: Ist)