AYOBANDUNG.ID -- Industri kuliner kekinian di Indonesia tengah mengalami transformasi besar, didorong oleh perubahan perilaku konsumsi generasi milenial dan Z. Dua generasi ini bukan hanya menjadi target pasar utama, tetapi juga aktor penting dalam membentuk tren makanan dan minuman yang viral.
Laporan terbaru dari Populix, hasil survei terhadap 1.100 responden muda di seluruh Indonesia, mengungkap preferensi, persepsi, dan kebiasaan mereka dalam menjajal kuliner kekinian. Meski kerap dianggap lebih cuek, laki-laki justru menunjukkan antusiasme lebih tinggi dalam mencoba makanan dan minuman baru.
Sebanyak 14% responden laki-laki menyatakan akan mencoba setiap kali ada tren kuliner baru, dan 25% lainnya mencoba setidaknya sebulan sekali. Sementara itu, perempuan lebih dipengaruhi oleh paparan media sosial, dengan 30% menyatakan hanya tertarik mencoba jika tampilannya menarik secara visual.
“Sebanyak 14% responden laki-laki mengaku akan mencoba setiap kali ada tren baru, dan 29% mengaku akan mengeksplorasi rasa baru setidaknya sebulan sekali. Berbeda dengan perempuan yang cenderung lebih FOMO karena dipengaruhi oleh tren media sosial,” ujar Indah Tanip, VP of Research Populix.
FOMO atau fear of missing out menjadi fenomena yang cukup dominan di kalangan perempuan muda. Perasaan takut ketinggalan tren yang sedang viral mendorong mereka untuk mencoba kuliner baru, meski belum tentu sesuai dengan preferensi pribadi. Media sosial, terutama Instagram dan TikTok, menjadi kanal utama yang memengaruhi keputusan konsumsi.

Dari sisi frekuensi, 25% generasi muda mencoba makanan atau minuman kekinian setidaknya sebulan sekali. Sementara 24% hanya tertarik jika terlihat menarik di media sosial. Sebanyak 21% cenderung memilih opsi yang familiar, dan 3% menyatakan tidak tertarik mencoba sama sekali. Angka-angka ini menunjukkan bahwa visual dan eksposur digital memainkan peran penting dalam keputusan konsumsi.
Jika ditinjau berdasarkan generasi, milenial cenderung lebih impulsif dan latah mengikuti tren. Sebanyak 14% dari mereka menyatakan akan mencoba setiap kali ada tren baru. Sebaliknya, Gen Z lebih selektif dan cenderung mencoba kuliner kekinian hanya sekali dalam beberapa bulan. Sikap ini menunjukkan perbedaan pendekatan antara dua generasi terhadap novelty dan eksperimentasi.
“Generasi milenial lebih terbuka terhadap eksplorasi rasa dan pengalaman baru, sementara Gen Z lebih mempertimbangkan aspek estetika dan nilai personal dari makanan yang mereka konsumsi,” jelas Indah.
Faktor-faktor yang mendorong generasi muda untuk mencoba kuliner kekinian cukup beragam. Harga terjangkau menjadi alasan utama bagi 43% responden. Disusul bahan dan rasa yang unik (28%), viral di media sosial (27%), rekomendasi teman atau keluarga (26%), tampilan menarik (13%), rekomendasi influencer (13%), dan ketersediaan di aplikasi pesan antar (10%).
Menariknya, meskipun influencer dan food blogger memiliki pengaruh, rekomendasi dari orang terdekat seperti teman dan keluarga jauh lebih dipercaya. Perbedaan ini cukup signifikan, yakni 26% dibandingkan 13%, menunjukkan bahwa kepercayaan personal masih menjadi kunci dalam keputusan konsumsi.
“Hal ini menunjukkan bahwa meskipun dorongan eksternal menyumbang pengaruh, pada akhirnya pengalaman pelanggan yang menjadi faktor utama langgengnya sebuah usaha kuliner,” tutur Indah.

Survei Populix dilakukan pada Februari 2025 dengan komposisi responden yang seimbang antara laki-laki dan perempuan, serta status lajang dan menikah. Mayoritas responden adalah pekerja dengan status ekonomi menengah ke atas dan berdomisili di Pulau Jawa, menjadikan temuan ini relevan bagi pelaku industri kuliner urban.
Kemasan dan tampilan makanan menjadi daya tarik utama bagi Gen Z. Sebanyak 13% dari mereka menyatakan bahwa visual makanan adalah alasan utama untuk mencoba. Estetika makanan yang cocok untuk diunggah ke media sosial menjadi nilai tambah yang tidak bisa diabaikan oleh pelaku bisnis kuliner.
Selain itu, kemudahan akses melalui aplikasi pesan antar juga menjadi pertimbangan penting. Sebanyak 10% responden menyatakan akan membeli makanan jika tersedia di platform digital. Ini menunjukkan bahwa integrasi teknologi dan distribusi menjadi elemen vital dalam strategi pemasaran kuliner kekinian.
Dengan perilaku konsumsi yang dipengaruhi oleh tren, visual, dan rekomendasi sosial, pelaku industri kuliner perlu merancang strategi yang tidak hanya mengandalkan rasa, tetapi juga pengalaman digital dan sosial. Kolaborasi dengan komunitas, pendekatan visual yang kuat, serta harga yang kompetitif menjadi kombinasi yang menjanjikan.
“Harapannya temuan-temuan di atas dapat mendukung pengembangan usaha-usaha kuliner di Indonesia, terutama dalam memahami dinamika perilaku konsumen muda yang terus berubah,” pungkas Indah.
Alternatif produk kuliner kekinian atau UMKM serupa: