AYOBANDUNG.ID -- Jalan Purnawarman, Bandung, di era 90-an bukan sekadar jalur lalu lintas, ia menjelma menjadi poros pergerakan budaya anak muda yang haus akan kebebasan berekspresi. Di sanalah skena musik grunge meledak, menyulut semangat para remaja yang rela menyisihkan uang jajan demi sekeping kaset band alternatif favorit mereka. Bagi mereka, kaset bukan sekadar media musik, tapi jendela menuju dunia yang lebih liar, jujur, dan penuh gejolak.
Tak hanya lagu-lagu yang dikoleksi, bahkan nama-nama yang tercantum di halaman ‘thanks to’ pada sampul kaset pun menjadi petunjuk untuk mencari karya musisi lain satu genre. Ada semacam ritual: mencari, mendengar, lalu menyebarkan. Di pinggir jalan atau toko kaset berkelas, terdengar celetukan khas, “band naon ieu? band naon ieu? beuli-beuli, Cobaan teangan-teangan, mang!”, sebuah ekspresi antusiasme yang tak bisa dipalsukan.
Yosandi, atau Ojel, Ketua Komunitas Bandung Ngagerung sekaligus personel band Veskil contohnya, sosok yang tumbuh di tengah gegap gempita skena Purnawarman. Ia adalah saksi hidup bagaimana nama-nama seperti Nirvana, Pearl Jam, Greenday, dan Radiohead menjadi semacam mantra bagi anak muda Bandung yang mencari identitas melalui musik.
Ojel mengisahkan bahwa di masa itu, pengetahuan musik alternatif diperoleh dari kaset fisik dan majalah luar negeri yang dijual di kawasan Cikapundung. “Dulu kalau bukan dari kaset, kita paling cari informasinya itu ke Cikapundung, nyari majalah-majalah luar yang tentang musik, dan paling berikutnya dari MTV tapi itu juga baru muncul 1995 pas Greenday lagi naik. Jadi ketika Nirvana, Pearl jam, radio head, belum ada,” ujar Ojel saat berbincang dengan Ayobandung.
Dari segi gaya hidup, menurut Ojel, skena grunge di Bandung sangat dipengaruhi oleh kultur kelas pekerja Amerika. Setelan flanel, sepatu boot, dan celana jeans menjadi simbol perlawanan dan kesederhanaan. “Fenomena ini juga yang membentuk industri besar musik alternatif jadi ada termasuk di Indonesia khususnya Bandung yang tepatnya ketika era Gor Saparua,” ungkapnya.
Namun, skena grunge sempat mengalami hibernasi panjang. Menurut Ojel, hal ini disebabkan oleh lambatnya perkembangan teknologi informasi di masa itu. Kini, dengan hadirnya media digital, skena grunge kembali tumbuh. “Sekarang kita cuma ngandelin file, saya pun pas muncul itu, udah gak beli kaset apalagi CD. Ya mungkin format ini dirasa lebih ekonomis dan dari segi keamanan secara fisik memang lebih terjamin,” papar Ojel.
Meski zaman berubah, euforia terhadap sosok idola tetap sama. Generasi 2000-an yang melewati masa emas Nirvana tetap memuja Kurt Cobain sebagai ikon. “Itu jadi sebuah keunikan, ketika setelah tiga tahun Kurt Cobain, salah satu punggawa skena musik grunge meninggal pun tetap citra Cobain dan grunge ini masih bisa hyp,” beber Ojel, mengenang acara ‘Grungy’ tahun 1997 di Gor Saparua yang dipenuhi fans Nirvana.
Bahkan generasi yang tumbuh bersama tayangan anak-anak seperti Doraemon pun kini menggemari Nirvana. “Sebab kalau passion itu dari hati. Maksudnya dari ‘keureuteug, da ga bisa dibobodo atuh.’ Yaitu itulah gairah, termasuk dalam bermusik, mau generasi muda atau seniorpun, sama,” kata Ojel, menegaskan bahwa musik melampaui batas usia dan waktu.
Musik, menurut Ojel, adalah medium pemersatu yang melampaui agama dan ideologi. Ia merangkul siapa saja, menyatukan orang-orang dari latar belakang berbeda. “Musik bisa menembus batas, merangkul orang yang tadinya tidak kenal, bisa menjadi lebih dekat,” ujarnya.
Kini, dengan regenerasi dan kecanggihan teknologi, skena grunge kembali muncul ke permukaan. Menurut Ojel, anak muda Bandung semakin aktif menghidupkan kembali semangat alternatif. “Justru dengan munculnya generasi baru skena musik alternatif khususnya grunge semakin hyp dan muncul ke permukaan,” katanya.
Dibandingkan aliran lain seperti folk atau post rock yang cenderung akademis, grunge menurut Ojel lebih ‘liar’ dan ‘merakyat’. Gigs-nya bisa menyusup ke gang-gang kecil, dekat masjid, karang taruna, atau distro lokal. “Jadi subkultur ini bisa dibilang lebih merakyat karena sosok Kurt Cobain Nirvana tadi sangat merepresentsikan gejolak kaum muda yang bebas dalam berkespresi dan tidak mengenal batas,” pungkas Ojel.
Alternatif fashion skena musik atau UMKM serupa: