KEPERGIAN Kang Acil Bimbo di RS Hasan Sadikin Bandung, Senin, 1 September 2025 pukul 22.50 WIB ditangisi begitu banyak orang, mulai dari musisi, pejabat, masyarakat biasa, dan aktivis. Kota Bandung yang tak bisa menolak rentetan gelombang “demonstrasi bubarkan DPR” seolah jeda sebentar.
Grup-grup wa yang biasa dipenuhi berita menyesakkan dada—demonstrasi, ijazah palsu, korupsi, dll—seolah mempersilakan kepada “sang kabar duka” untuk tampil. Ya, kabar duka dari kepergian musisi flamboyan bersuara bariton Kang Acil Bimbo alias Raden Darmawan Dajat Hardjakusumah. Innalillahi wa Innailaihi rojiun.
Kang Acil mengembuskan napas terakhirnya pada usia 82 tahun. Ia lahir di Bandung pada 20 Agustus 1943. Ia merupakan anak kedua dari tujuh bersaudara dari pasangan Raden Dajat Hadjakusumah dan Uken Kenran. Ayahnya adalah seorang wartawan--pernah menjabat sebagai Kepala Biro Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) ANTARA Biro Jawa Barat.
Acil Bimbo merupakan lulusan Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran tahun 1974 yang kemudian melanjutkan pendidikan kenotariatan di Universitas Padjadjaran pada 1994. Ia menikah dengan Ernawati dan dianugerahi 4 orang anak dan beberapa cucu
Tak heran kalau kepergiannya ditangisi begitu banyak orang. Sebab, selain sebagai penyanyi, Kang Acil juga aktivis kesundaan dan lingkungan.
Dalam sebuah diskusi, Kang Acil Bimbo menyebut masyarakat Sunda kesulitan mendapat rujukan tentang kesundaan. Katanya, hanya beberapa saja buku sejarah yang membahas tentang kebudayaan Sunda. “Orang Sunda cenderung memegang budaya lisan dibandingkan budaya tulis,” katanya.
Menurut Kang Acil, orang Sunda dinilai kurang giat membaca akibatnya sulit mengikuti kemajuan zaman yang semakin berkembang. Dia mengajak setiap warga Sunda untuk senantiasa ngajaga lembur (menjaga kampung), akur jeung dulur (bersahabat dengan siapa pun) dan panceug dina galur (patuh terhadap aturan dan etika), melalui jalinan silaturahmi mulai dari lingkungan tingkat RT/RW hingga ke kecamatan.
Menurutnya, kekuatan orang Sunda, yang semula someah (ramah) dan suka bergotong royong, kini karakter itu cenderung hilang dan menjadi lebih individualistis dan egoistis.

Di bidang musik, siapa tidak mengenal Bimbo dan almarhum yang dikenal sederhana ini merupakan pentolan dari grup musik asal Kota Bandung ini. Trio Bimbo, didirikan sekitar tahun 1966. Kemudian Kang Acil bergabung bersama kakaknya, Sam Bimbo, serta dua adiknya, Jaka dan Iin Parlina. Dan kemudian berubah nama menjadi Bimbo saja.
Bimbo bukan sekadar nama grup musik, tetapi ia sudah merupakan ikon Kota Bandung dan merupakan legenda musik Indonesia. Sejumlah lagu hits Bimbo tidak lekang oleh zaman, seperti “Sajadah Panjang”, “Melati dari Jayagiri”, “Tante Sun”, “Flamboyan”, “Ada Anak Bertanya pada Bapaknya”, “Umat Manusia Bergembira”. Bahkan lagu-lagu bergenre religius telah menjadi lagu wajib di saat bulan Ramadhan.
Pada saat pandemi virus Corona, Bimbo juga menciptakan lagu berjudul "Corona" yang ditulis oleh Syam Bimbo, Acil Bimbo, dan Jaka Bimbo. Lagu ini mendadak menjadi viral di dunia maya karena ada warganet yang menyebut Bimbo sudah menyanyikannya 30 tahun lalu.
Lirik lagu-lagu Bimbo begitu puitis--mengembuskan kelembutan. Kadang romantis, spiritual, dan bahkan sesekali menyindir kehidupan sosial dan politik.
Bisa dikatakan, Bimbo sejalan dan seromantis Kota Bandung, kota tempat mereka berkreasi. Jalan-jalan diteduhi dedaunan dari rindangnya pohon-pohon—jalan Dago, Tamansari, Siliwangi, Cipaganti, Ganesa, dll. Udara kotanya sejuk dan ragam kulinernya, membuat betah siapa pun yang tinggal. Dan tentu saja ngangenin para pelancongnya yang berkunjung dan membuat mereka rindu untuk kembali.
Dari Bandung, Bimbo melantunkan lagu “Adinda” kepada mereka yang lagi kasmaran:
“Adinda, oh sayang, Adinda
Namamu tiada duanya
Adinda, oh sayang, Adinda
Dikau intan permata…”
Lagu itu seperti menyuarakan rasa yang sulit dikatakan. Bimbo meminjamkan kata-kata bagi hati yang diam-diam merindu. Bahkan saat sosok yang kita rindukan itu belum lagi kita temukan. Hingga nanti kita menemukan belahan hati dengan sendirinya.
Bimbo pun tak terpaku dengan tema romantisme serta hanya bicara tentang cinta dan doa. Ia juga menjadi suara nurani bangsa. Ketika Perang Dingin antara blok Barat dan Timur sedang terjadi, dunia berada dalam dua kekuatan. Blok Barat dipimpin Amerika dan blok Timur oleh Uni Soviet (kini Rusia).
Indonesia bersikap nonblok. Namun, kala itu, kekhawatiran terjadinya Perang Dunia III oleh dua kekuatan itu menjadi isu yang hangat. Sebab kedua adidaya itu memiliki senjata nuklir yang sangat mematikan.
Bimbo tergerak untuk membuat lagu yang isinya meminta kepada dua pemimpin itu agar berdamai. Lagu yang berjudul "Surat Buat Tuan Reagen dan Tuan Breznev" dirilis pada 1982 dan mendapatkan apresiasi dari masyarakat.
Yang Mulia, tuan Reagen dan tuan Brezhnev
Diri anda berdua orang tua terhebat di dunia
Dan hanya dengan satu kata dari anda berdua
Dunia bisa berobah …
Memasuki era 1980-an dan 1990-an, Bimbo semakin identik dengan lagu-lagu religius. Sebagian mereka tulis sendiri liriknya, tak sedikit pula hasil karya Iwan Abdulrachman dan tentu saja juga Taufik Ismail sang penyair religius.
Lagu “Tuhan” ciptaan Syam menjadi salah satu penandanya:
"Tuhan… tempat aku berteduh,
Di mana aku mengeluh…”
Liriknya sederhana, tapi dalam.
Bimbo mulai menapaki jalan spiritual, mencari makna dalam senandung doa-doa. Ramadhan tanpa Bimbo terasa sepi. Televisi, radio, bahkan jalan-jalan kota menjadi lebih syahdu setiap kali Bimbo hadir dengan doa yang bernyanyi.

Kini, Kang Acil telah pergi. Bimbo bertiga lagi: Syam, Jaka, dan Iin Parlina yang seperti manusia lain, tak bisa menolak tua. Tapi, orang-orang akan tetap mengenang Bimbo sebagai suara kerinduan kepada keindahan kehidupan: romantisme, seni, spiritualitas, dan heroisme.
Kita optimistis, Bandung akan tetap menjadi kota kreatif, dan akan melahirkan Bimbo-Bimbo lain yang berkontribusi bagi negara dan dunia. Bimbo dari Bandung untuk negara dan dunia. (*)