Merayakan Euforia Musik Jazz di Ruang Putih Bandung

Yayang Nanda Budiman
Ditulis oleh Yayang Nanda Budiman diterbitkan Jumat 25 Jul 2025, 12:01 WIB
Ruang Putih Bandung (Sumber: Document Pribadi | Foto: Yayang Nanda Budiman)

Ruang Putih Bandung (Sumber: Document Pribadi | Foto: Yayang Nanda Budiman)

Malam akhir pekan memang waktu yang paling tepat untuk merayakan Bandung dengan segala romantismenya.

Di tengah semua gemerlap itu, terdapat satu ruang sederhana yang menghadirkan euforia yang tak seragam: keramaian yang ter-orkestrasi di sebuah tempat bernama Ruang Putih. 

Meski dari luar nampak terlihat serupa cafe-cafe pada umumnya, namun di baliknya ternyata terdapat denyut kreativitas anak muda yang tak bisa digeneralisir dengan event-event lainnya.

Bahkan, tak hanya diramaikan oleh kalangan remaja, anak kecil hingga orang tua pun turut merayakan malam akhir pekan di cafe yang terletak di Jalan Bungur Nomor 37 Bandung.

Kali pertama mendengar “Ruang Putih” saya merasa nama ini nyaris terdengar netral. Ia tidak berorientasi pada popularitas dan sensasi.

Lebih dari itu, ia menjadi kanal yang inklusif untuk setiap orang terlibat dalam perayaan sederhana namun bermakna.

Hal itu selada dengan filosofi warna putih yang mampu menampung setiap warna-warna yang berbeda. Ia tak mengalienasi maupun mendominasi: ia adalah suaka bagi semua warna. Dan itulah yang dihidangkan oleh Ruang Putih saban akhir pekan. 

Di tengah irama piano dengan tempo yang berlarian, ruang ini tidak bisa kita tafsirkan dalam ruangan yang sempit.

Ia bukan hanya sebuah resto yang menyediakan aneka macam masakan, kendati pengunjung pun bisa menikmati sajian varian menu kopi yang tersedia di dalamnya.

Lebih dari itu, ia pun bukan hanya soal event musik, meski ringkikan saxophone seringkali menciptakan suasana nampak terasa mewah dan privat. Di tengah semua itu, nalar menyimpulkan dan batin merasakan: Ruang putih adalah medium untuk kehadiran. 

Merayakan Inklusivitas Musik Jazz

Ruang Putih Bandung (Sumber: Document Pribadi | Foto: Yayang Nanda Budiman)
Ruang Putih Bandung (Sumber: Document Pribadi | Foto: Yayang Nanda Budiman)

Ketika hampir semua coffee shop menghadirkan live musik sebagai bentuk hiburan bagi para pengunjung, Ruang Putih mencari jalan lain untuk mengemasnya.

Ia berhasil mengubah cara pandang publik terhadap genre musik eksklusif serupa Jazz. Ketika sebuah genre yang selama ini dikenal sebagai musik mahal, suasana formal dan harga tiket yang tak dapat dijangkau oleh semua kalangan, Ruang Putih berupaya memutar balikkan itu semua. 

Di tengah salah satu lagu dari Frank Sinatra dimainkan, terlintas dalam benak penulis: Ruang Putih telah berhasil membumikan Jazz melalui ruang yang egaliter bahkan tanpa batas antara penampil dengan penonton.

Meskipun secara teknis para pengunjung harus reservasi terlebih dahulu karena keterbatasan kapasitas, namun jika kuota masih memadai semua orang bisa berkunjung.

Tak ada keharusan warna pakaian, tak ada tiket ratusan ribu, tak ada jarak yang memisahkan antara VIP dan ekonomi, dan semuanya berpijak pada satu lantai yang sama: kesetaraan. 

Malam akhir pekan adalah momentum yang berarti bagi para penggemar musik Jazz di Ruang Putih. Mulai dari pukul 19.00 WIB malam alunan piano mulai mengantarkan pengunjung menyesaki ruang utama.

Suara seksi saxophone penuh melankolis, alunan bass yang menggema mengikuti arah tabuhan drum. 

Di tengah improvisasi yang mengalir, satu hal yang paling istimewa dari tempat ini adalah ia berjalan tanpa kekakuan, standar yang formal dan tanpa kewajiban untuk menukarkan pengalaman yang berharga dengan harga yang tak terjangkau. 

Kalimat serupa “Bayar Seikhlasnya” yang termuat di google form ternyata bukan bagian dari gimmick, melainkan landasan filosofi yang membangun interaksi inklusif di dalamnya.

Dari hal ini kita belajar, bahwa seni tidak boleh diposisikan hanya sebatas komoditas yang mengalienasi fungsi utuh manusia.

Secara historis, Jazz tidak dilahirkan dari panggung yang mewah atau tiket jutaan rupiah, tapi untuk menjadi ruang bagi semua orang bisa hadir di tengah gempuran rutinitas kerja mereka yang melelahkan. 

Tidak hanya soal pagelaran musik, ada waktu-waktu tertentu di mana euforia beralih dalam diam. Di tempat serupa, ruang ini juga dipergunakan untuk kegiatan meditasi seperti yoga, sound bath healing, terapi suara dan masih banyak lagi.

Dalam sejumlah aspek, Ruang Putih menjadi medium untuk merawat daksa dan kesehatan mental secara mendalam. Di era ketika manusia dipaksa untuk terus bergerak dalam rutinitas dan kompetisi, Ruang Putih menjadi ruang jeda yang menenangkan. 

Di tengah suasana itu, ada irisan yang menarik antara musik Jazz dan aktivitas mindfulness. Keduanya menarik kehadiran pada peran utamanya.

Jazz tidak hanya genre musik yang dapat memainkan, dirayakan kemudian dengan cepat dilupakan. Ia menginginkan atensi penuh, serta menikmati setiap dinamika dan improvisasi dari kehidupan yang tidak selalu terarah dengan tujuan sebelumnya.

Begitupun mindfulness: sebuah kegiatan yang mengajarkan kita untuk memberi jeda, untuk mengembalikan nafas dalam satu tarikan yang penuh makna. Maka tidak mengherankan jika Ruang Putih saat ini menjadi episentrum antara eksistensi dan estetika. 

Menyemai Ruang Putih

Ruang Putih Bandung (Sumber: Document Pribadi | Foto: Yayang Nanda Budiman)
Ruang Putih Bandung (Sumber: Document Pribadi | Foto: Yayang Nanda Budiman)

Ketika Bandung di glorifikasi sebagai kota kreatif, namun kreativitas yang sebatas membuahkan festival besar, produk visual estetik, atau coffee shop yang instagramable tidak serta merta membangun kota kembang menjadi inklusif.

Bagaimanapun, kreativitas murni lahir tatkala keberanian untuk mendobrak ruang bagi yang tak umum, yang segmented, atau yang tak bisa diperhitungkan dengan algoritma popularitas sosial media. 

Ruang Putih telah berhasil membangun kreativitas yang organik. Ia tidak didesain dengan venue yang besar, tidak dikelola dengan promosi masif, dan tidak berupaya menempatkan viral sebagai tujuan utama. Tapi karena itu, ia mampu bertahan dan berani mengambil langkah yang berbeda. 

Dalam setiap pagelaran yang terselenggara, kita mampu menyaksikan bagaimana politik ruang diaplikasikan tanpa spanduk kampanye dan janji-janji pemilu lima tahunan.

Ketika seorang pelajar SMA bisa saling berbagi kursi dengan musisi kawakan dari luar negeri; ketika para penonton tidak berikan sekat antara tamu kehormatan dan pengunjung biasa; ketika semua suara yang menggema dalam nada yang sama—demokratisasi ruang berekspresi sesungguhnya telah lebih dulu diwujudkan oleh Ruang Putih di sudut kota Bandung.

Di tengah dunia seni kerap dikapitalisasi, bentuk keberanian ini layak untuk dirayakan. 

Merayakan musik Jazz di Ruang Putih bukan sebatas genre musik pada umumnya. Ia adalah sikap dan pernyataan paradigma politik ruang sipil yang berarti. Ia adalah bagian dari keberanian untuk mengejawantahkan Putih ke dalam ruang praktis.

Ia adalah cara untuk mengingatkan kita semua bahwa kesetaraan mampu dilahirkan bukan dalam slogan, tapi dengan cara duduk bersama, memaksimalkan pendengaran, dan berbagi ruang dalam keberagaman. 

Baca Juga: Bandung hingga Tasikmalaya, Atmosfer Skena Musik Reggae dan SKA yang Sempat Terasa 

Hingga detik ini, Ruang Putih tetap berdiri tanpa “kebisingan”. Ia tetap dalam bingkai yang sederhana namun dikemas dalam perayaan yang “mewah”.

Dengan kesederhanaan yang ditampilkan, ia membentuk ekosistem budaya yang tak boleh dipandang sebelah mata. Tak hanya musik, ada makanan, ragam kopi, kesetaraan dan kesadaraan, interaksi serta yang paling penting: tak ada yang superior maupun imperior.

Semua saling menerima dan memberi. Begitu yang ditampilkan dari akar Jazz yang paling otentik: tiap bagian peran memiliki bagiannya, dan setiap nada mempunyai harmoninya. 

Menjelang lagu terakhir dari Utha Likumahuwa dinyanyikan, Ruang Putih bukan tempat untuk berlari dari realitas. Ia adalah ruang untuk belajar kembali menyelami makna hidup yang sebenarnya.

Dan dalam setiap malam Jazz yang tak pernah seragam, satu demi satu langkah kita kembali diingatkan bahwa menjadi manusia adalah proses nge-jam yang terus hidup dan tak pernah benar-benar selesai. (*)

Mengungkap Geografis Bandung yang 'Tenggelam':

Artikel Rekomendasi Untuk Anda

Disclaimer

Tulisan ini merupakan artikel opini yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Pandangan yang disampaikan dalam artikel ini tidak mewakili pandangan atau kebijakan organisasi dan redaksi AyoBandung.id.

Yayang Nanda Budiman
Praktisi hukum di Jakarta, menyukai perjalanan, menulis apapun, sisanya mendengarkan Rolling Stones
Nilai artikel ini
Klik bintang untuk menilai

Berita Terkait

News Update

Beranda 16 Des 2025, 07:38 WIB

Suara Perempuan di Garis Depan Perlawanan yang Disisihkan Narasi Kebijakan

Dari cerita personal hingga analisis struktural, diskusi ini membuka kembali pertanyaan mendasar: pembangunan untuk siapa dan dengan harga apa.
Suasan diskusi buku “Pembangunan Untuk Siapa: Kisah Perempuan di Kampung Kami” Minggu (14/12) di perpustaakan Bunga di Tembok, Bandung. (Sumber: ayobandung.id | Foto: Halwa Raudhatul)
Beranda 15 Des 2025, 21:18 WIB

Tanda Kerusakan Alam di Kabupaten Bandung Semakin Kritis, Bencana Alam Meluas

Seperti halnya banjir bandang di Sumatera, kondisi alam di wilayah Kabupaten Bandung menunjukkan tanda-tanda kerusakan serius.
Warga di lokasi bencana sedang membantu mencari korban tertimbun longsor di Arjasari, Kabupaten Bandung. (Sumber: ayobandung.id | Foto: Gilang Fathu Romadhan)
Ayo Netizen 15 Des 2025, 20:05 WIB

Tahun 2000-an, Palasari Destinasi 'Kencan Intelektual' Mahasiswa Bandung

Tahun 2002, Palasari bukan sekadar pasar buku. Ia adalah universitas paralel bagi mahasiswa UIN Bandung.
 Tahun 2002, Palasari bukan sekadar pasar buku. Ia adalah universitas paralel bagi mahasiswa UIN Bandung (Sumber: ayobandung.com | Foto: Irfan Al-Farisi)
Ayo Netizen 15 Des 2025, 19:25 WIB

Benang Kusut Kota Bandung: Penataan Kabel Tak Bisa Lagi Ditunda

Kabel semrawut di berbagai sudut Kota Bandung merusak estetika kota dan membahayakan warga.
Kabel-kabel yang menggantung tak beraturan di Jl. Katapang, Lengkong, Kota Bandung, pada Rabu (03/12/2025). (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Masayu K.)
Ayo Netizen 15 Des 2025, 18:08 WIB

Menghangat di Hujan Bandung dengan Semangkuk Mie Telur Mandi dari Telur Dadar JUARA

“Mie Telur Mandi” dari sebuah kedai di Kota Bandung yang sedang ramai diperbincangkan di media sosial.
 “Mie Telur Mandi” dari sebuah kedai di Kota Bandung yang sedang ramai diperbincangkan di media sosial. (Sumber: Dokumentasi Penulis)
Ayo Netizen 15 Des 2025, 17:14 WIB

Mengukus Harapan Senja di Jatinangor

Ketika roti kukus di sore hari menjadi kawan sepulang kuliah.
Roti-roti yang dikukus kembali sebelum diberi topping. (Foto: Abigail Ghaissani Prafesa)
Ayo Netizen 15 Des 2025, 17:04 WIB

Selamat Datang di Kota Bandung! Jalan Kaki Bisa Lebih Cepat daripada Naik Kendaraan Pribadi

Bandung, yang pernah menjadi primadona wisata, kini menduduki peringkat sebagai kota termacet di Indonesia.
Deretan kendaraan terjebak dalam kemacetan pasca-hujan di Kota Bandung, (03/12/2025). (Foto: Zaidan Muafa)
Ayo Netizen 15 Des 2025, 16:52 WIB

Cerita Kuliner Nasi Tempong dan Jalanan Lengkong yang tak Pernah Sepi

Salah satu kisahnya datang dari Nasi Tempong Rama Shinta, yang dahulu merasakan jualan di gerobak hingga kini punya kedai yang selalu ramai pembeli.
Jalan Lengkong kecil selalu punya cara menyajikan malam dengan rasa di Kota Bandung, (05/11/2025). (Foto: Zaki Al Ghifari)
Ayo Netizen 15 Des 2025, 16:09 WIB

Lampu Lalu Lintas Bermasalah, Ancaman Kecelakaan yang Perlu Ditangani Cepat

Lampu lalu lintas di perempatan Batununggal dilaporkan menampilkan hijau dari dua arah sekaligus yang memicu kebingungan dan potensi kecelakaan.
Kondisi lalu lintas yang berantakan di perempatan Batununggal, Kota Bandung (4/12/25) (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Amelia Ulya)
Ayo Netizen 15 Des 2025, 15:56 WIB

Terjangkau namun Belum Efisien, Trans Metro Pasundan di Mata Mahasiswa

Mahasiswa di Bandung memilih bus kota sebagai transportasi utama, namun masih menghadapi kendala pada rute, jadwal, dan aplikasi.
Suasana di dalam bus Trans Metro Pasundan di sore hari pada hari Selasa (2/12/2025). (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Dheana Husnaini)
Ayo Netizen 15 Des 2025, 15:16 WIB

Bandung di Tengah Ledakan Turisme: Makin Cantik atau Cuma Viral?

Artikel ini menyoroti fenomena turisme Bandung yang makin viral namun sekaligus makin membebani kota dan lingkungannya.
Sekarang Bandung seperti berubah jadi studio konten raksasa. Hampir setiap minggu muncul cafe baru dan semuanya berlomba-lomba tampil seestetik mungkin agar viral di TikTok. (Sumber: Dokumentasi Penulis)
Ayo Netizen 15 Des 2025, 14:36 WIB

Jalan Baru Literasi dan Numerasi di Indonesia: Berkaca pada Pendidikan Finlandia

Rendahnya kemampuan literasi dan numerasi siswa Indonesia berdasarkan data PISA dan faktor penyebabnya.
Butuh kerjasama dan partisipasi dari berbagai pihak dalam rangka mewujudkan pendidikan terbaik bagi anak-anak negeri ini. (Sumber: Pexels/Agung Pandit Wiguna)
Ayo Netizen 15 Des 2025, 14:28 WIB

Tahu Bakso di Pasar Sinpasa Summarecon Bandung: Lezatnya Paduan Tradisi dan Urban Vibes

Di sekitar Pasar Modern Sinpasa Summarecon Bandung, salah satu tenant mampu menarik perhatian siapa saja yang lewat: tahu bakso enak.
Tahu Bakso Enak. (Sumber: dokumentasi penulis)
Ayo Netizen 15 Des 2025, 12:06 WIB

Polemik Penerapan Restorative Justice di Indonesia sebagai Upaya Penyelesaian Perkara

Polemik restorative justice dibahas dengan menggunakan metode analisis normatif, namun pada bagian penjelasan contoh digunakan juga analisis sosiologis.
Ilustrasi hukum. (Sumber: Pexels/KATRIN BOLOVTSOVA)
Ayo Netizen 15 Des 2025, 10:19 WIB

Babakan Siliwangi Perlu Cahaya: Jalur Populer, Penerangan Minim

Hampir setiap malam di wilayah Babakan Siliwangi penerangan yang minim masih menjadi persoalan rutin.
Suasana Babakan Siliwangi saat malam hari (4/12/2025) dengan jalanan gelap, mural warna-warni, dan arus kendaraan yang tak pernah sepi. (Sumber: Bunga Citra Kemalasari)
Ayo Netizen 15 Des 2025, 10:00 WIB

Kunci 'Strong Governance' Bandung

Strong governance adalah salah satu kebutuhan nyata Bandung kiwari.
Suasana permukiman padat penduduk di pinggir Sungai Cikapundung, Tamansari, Kota Bandung. (Sumber: Ayobandung | Foto: Irfan Al Faritsi)
Ayo Netizen 15 Des 2025, 08:31 WIB

Benarkah Budidaya Maggot dalam Program 'Buruan Sae' Jadi Solusi Efektif Sampah Kota Bandung?

Integrasi budidaya maggot dalam Program Buruan Sae menjadi penegasan bahwa pengelolaan sampah dapat berjalan seiring dengan pemberdayaan masyarakat.
Budidaya maggot di RW 9 Lebakgede menjadi upaya warga mengolah sampah organik agar bermanfaat bagi lingkungan sekitar. (Sumber: ayobandung.id | Foto: Ikbal Tawakal)
Beranda 15 Des 2025, 07:48 WIB

Pembangunan untuk Siapa? Kisah Perempuan di Tengah Perebutan Ruang Hidup

Buku ini merekam cerita perjuangan perempuan di enam wilayah Indonesia, yakni Sumatera, Sulawesi, NTT, NTB, serta dua titik di Kalimantan, yang menghadapi konflik lahan dengan negara dan korporasi.
Diskusi Buku “Pembangunan Untuk Siapa: Kisah Perempuan di Kampung Kami” yang digelar di Perpustakaan Bunga di Tembok, Bandung, Minggu (14/12/2025).
Beranda 15 Des 2025, 07:32 WIB

Diskusi Publik di Dago Elos Angkat Isu Sengketa Lahan dan Hak Warga

Dari kegelisahan itu, ruang diskusi dibuka sebagai upaya merawat solidaritas dan memperjuangkan hak atas tanah.
Aliansi Bandung Melawan menggelar Diskusi Publik bertema “Jaga Lahan Lawan Tiran” pada 12 Desember 2025 di Balai RW Dago Elos, Kota Bandung. (Sumber: ayobandung.id | Foto: Halwa Raudhatul)
Ayo Biz 15 Des 2025, 07:16 WIB

Berawal dari Kegelisahan, Kini Menjadi Bisnis Keberlanjutan: Perjalanan Siska Nirmala Pemilik Toko Nol Sampah Zero Waste

Toko Nol Sampah menjual kebutuhan harian rumah tangga secara curah. Produk yang ia jual sudah lebih dari 100 jenis.
Owner Toko Nol Sampah, Siska Nirmala. (Sumber: ayobandung.id | Foto: Toni Hermawan)