AYOBANDUNG.ID -- Gunung bukan lagi sekadar tempat pelarian dari rutinitas. Bagi generasi milenial dan Gen Z Indonesia, mendaki telah menjelma menjadi simbol gaya hidup, pencarian jati diri, dan eksistensi sosial. Aktivitas ini bukan hanya soal menaklukkan alam, tapi juga tentang membentuk identitas dan komunitas.
Founder sekaligus owner brand lokal Mahameru, Muchammad Thofan menyaksikan langsung bagaimana tren ini mengubah lanskap bisnis apparel outdoor. Ia menambahkan bahwa tren olahraga seperti lari, hiking, dan naik gunung akan terus bergulir dan saling bergantian, menciptakan siklus yang tak pernah habis.
“Kalau menurut saya sih, kalau pasar outdoor lebih luas. Pasar ini paling luas dan tidak ada matinya untuk olahraga,” ujarnya saat berbincang dengan Ayobandung.
Brand lokal Mahameru sendiri berdiri pada 2012, bertepatan dengan meledaknya film “5cm” yang mengangkat kisah pendakian Gunung Semeru. Momen itu menjadi titik balik, menggeser tren anak muda dari distro mall ke jalur pendakian.
“Begitu ada film 5cm, produk outdoor dan orang naik gunung tambah banyak,” kenang pria yang karib disapa Opey itu.
Fenomena Fear of Missing Out (FOMO) menjadi pemicu utama. Generasi muda yang terbiasa hidup dalam arus media sosial merasa perlu ikut serta dalam tren mendaki demi eksistensi digital.
“Orang yang FOMO naik gunung atau hiking dari segi bisnis apparel outdoor sangat positif sebagai pangsa pasar, karena saya selalu lihat ini potensi pasar yang bagus,” jelas Opey.
Awalnya, kata Opey, banyak yang mendaki demi konten atau gengsi. Namun seiring waktu, pengalaman mendaki membentuk kecintaan yang lebih dalam terhadap alam.
“Mungkin proses awal dia mengenal naik gunung lewat jalur FOMO. Tapi lama-lama karena menikmati dan udah expert, pasti dia juga mungkin beri produk yang makin bagus dan mementingkan kualitas,” tambahnya.
Perubahan perilaku konsumen ini berdampak langsung pada sektor apparel outdoor. Dari yang semula membeli produk murah karena keterbatasan modal, mereka mulai beralih ke produk berkualitas.
“Karena keseringan, keenakan, jadi hobi baru, terus dia juga mungkin punya penghasilan, pasti nabung untuk beli produk yang berkualitas,” ujar Opey.
Kualitas menjadi kata kunci. Produk yang tahan lama, nyaman, dan punya desain fungsional kini menjadi incaran. Tak hanya itu, ada pula aspek pride atau kebanggaan yang melekat.
“Contoh kita punya koleksi terbaru dan terbaik dari brand A, brand B, ini produknya bagus, harganya lumayan. Di sana kan terbentuk pride meskipun awalnya lewat jalur FOMO,” katanya.
Pride ini bukan sekadar soal merek, tapi juga identitas. Mengenakan apparel outdoor berkualitas menjadi simbol bahwa seseorang bukan lagi pendaki musiman, melainkan bagian dari komunitas yang menghargai alam dan petualangan.
Hal ini membuka peluang besar bagi pelaku usaha lokal untuk mengembangkan produk yang tak hanya fungsional, tapi juga emosional. Mahameru, sebagai brand lokal, memanfaatkan momentum ini dengan cermat.
Opey percaya bahwa dengan jumlah penduduk Indonesia yang berkisar 286 juta jiwa, pasar outdoor sangat besar dan menjanjikan. “Saya membuat brand Mahameru di tahun 2012 untuk segmen apparel outdoor para pecinta alam atau orang yang sering naik gunung,” ujar Opey.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) dalam publikasi “Statistik Wisata Alam dan Petualangan 2024” menunjukkan bahwa 63% wisatawan domestik usia 18–35 tahun memilih aktivitas berbasis alam seperti hiking, camping, dan trekking sebagai bentuk rekreasi utama. Angka ini meningkat 21% dibandingkan lima tahun sebelumnya, menandakan pergeseran preferensi generasi muda terhadap wisata berbasis pengalaman dan eksplorasi.
Karakter masyarakat Indonesia yang cenderung komunal dan suka ikut tren memperkuat dinamika ini. Ketika satu teman mendaki, yang lain pun ikut. Ketika satu influencer mengenakan jaket gunung, followers pun tertarik. Apparel outdoor menjadi simbol gaya hidup aktif dan sadar lingkungan.
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) juga mencatat bahwa sektor wisata petualangan, termasuk hiking dan pendakian, menyumbang kontribusi signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi kreatif lokal. Dalam laporan “Outlook Ekonomi Kreatif 2025”, subsektor apparel outdoor termasuk dalam kategori yang mengalami pertumbuhan tahunan di atas 12%, terutama didorong oleh permintaan generasi muda.
Tren ini mendorong inovasi dalam desain dan teknologi produk. Brand seperti Mahameru dituntut untuk terus beradaptasi dengan kebutuhan pasar yang semakin cerdas dan selektif. Mulai dari bahan anti-air, desain ergonomis, hingga warna yang sesuai dengan estetika media sosial, semua menjadi pertimbangan penting.
Komunitas pendaki pun menjadi saluran pemasaran yang efektif. Review jujur, rekomendasi dari sesama pendaki, dan pengalaman langsung menjadi faktor penentu dalam keputusan pembelian. Di sinilah brand lokal punya keunggulan, di mana kedekatan emosional dan pemahaman terhadap kultur lokal.
Dengan tren yang terus berkembang, apparel outdoor bukan lagi bisnis musiman. Namun bisnis ini telah menjadi bagian dari gaya hidup yang berkelanjutan. Dari FOMO menjadi filosofi, dari gaya hidup menjadi peluang bisnis, naik gunung telah membawa generasi muda Indonesia ke puncak-puncak baru, baik secara personal maupun ekonomi. “Saya akui brand Mahameru pun memang berawal dari tren lalu pasarnya terbentuk,” tegas Opey.
Pasar outdoor kini tak hanya didorong oleh kebutuhan fungsional, tapi juga oleh narasi personal. Setiap pendakian menjadi cerita, setiap perlengkapan menjadi bagian dari identitas. Brand seperti Mahameru tak hanya menjual produk, tapi juga menjual pengalaman dan kebanggaan.
Opey pun percaya bahwa selama semangat eksplorasi dan FOMO masih hidup di kalangan anak muda, industri outdoor akan terus tumbuh dan berkembang. Gunung bukan lagi sekadar tujuan, tapi juga peluang. “Menurut saya pasar sangat ada, jelas besar,” ujarnya.
Link pembelian produk apparel outdoor Mahameru: