AYOBANDUNG.ID -- Dalam lanskap kebijakan energi nasional, suara-suara kritis mulai mengemuka. Salah satunya datang dari Pengamat Kebijakan Publik Universitas Padjadjaran, Yogi Suprayogi, yang menyoroti stagnasi difusi kebijakan energi baru dan terbarukan (EBT) ke daerah.
“Bicara energi, realitas kebijakannya tidak seindah angle elitis. Energi ini realitasnya kita sudah tidak bisa ngandalkan lagi energi fosil,” tegas Yogi dalam IWEB Diskusi Ekonomi (IDE) Vol.5 dengan tema 'Setahun Pemerintahan Baru, Bagaimana Kemandirian Energi Nasional?' di Bandung pada Jumat, 10 Oktorber 2025.
Indonesia memang masih bergantung pada energi fosil. Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan bahwa pada 2024, sekitar 80% bauran energi nasional masih didominasi oleh batu bara, minyak bumi, dan gas alam.
Padahal, Peraturan Pemerintah No. 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional menargetkan kontribusi EBT sebesar 23% pada 2025, angka yang masih jauh dari realisasi.
Yogi menyoroti bahwa selama ini belum ada difusi kebijakan yang konkret, terutama dalam menurunkan kebijakan energi ke level daerah. “Selama ini belum ada difusi kebijakan, salah satunya bagaimana menurunkan energi itu ke daerah-daerah,” ujarnya.
Hal ini mencerminkan lemahnya koordinasi antara pusat dan daerah dalam mendorong kemandirian energi berbasis lokal. Regulasi yang kompleks menjadi penghambat utama.
“Regulasi soal energi baru dan terbarukan ini masih ribet, dan kita masih susah keluar dari energi fosil,” lanjut Yogi.
Banyak daerah yang memiliki potensi energi terbarukan seperti air, angin, dan biomassa, namun terhambat oleh birokrasi dan minimnya insentif fiskal. Di sisi lain, generasi muda mulai menunjukkan preferensi terhadap energi hijau.
“Apalagi di Gen Z kini lebih ada kecenderungan untuk menggunakan energi hijau atau green energy dan sustainable,” kata Yogi.
Tren ini sejalan dengan survei Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang mencatat bahwa 67% anak muda Indonesia mendukung transisi energi bersih. Namun, pertanyaan mendasar tetap menggantung: apakah pemerintah daerah benar-benar tidak bisa mewujudkan kemandirian energi?
“Pertanyaannya sekarang, apakah betul pemerintah daerah tidak bisa melakukan kemandirian energi?” tanya Yogi.
Menurutnya, Undang-Undang Energi sebenarnya membuka ruang bagi daerah untuk mengembangkan energi lokal. “Kalau angle kebijakan, kenapa tidak ada difusinya, padahal dalam UU kebijakan energi adalah sebuah opsi atau pilihan,” tegasnya.
Sayangnya, dalam praktiknya, monopoli energi masih identik dengan fosil. “Kalau kita lihat, selama ini monopoli energi itu identik dengan fosil, dan sampai kapan pun akan seperti ini. Jadi perlu ada perhatian untuk ini,” ungkap Yogi.
Yogi menekankan bahwa pencarian alternatif energi harus menjadi prioritas. Pasalnya, potensi energi air, surya, dan panas bumi di Indonesia sangat besar. “Dan sekarang mulai ada pencarian untuk alternatif energi, dan ini yang perlu kita bahas,” ujarnya.
Menurut data ESDM, potensi energi surya Indonesia mencapai 207,8 GW, sementara energi air mencapai 75 GW. Namun, dominasi pemerintah pusat dalam pengelolaan energi justru menjadi hambatan. “Akhirnya representasi pemerintah itu terlalu hadir di masyarakat, apalagi kalau terlalu memonopoli,” kata Yogi.
Sentralisasi ini membuat daerah sulit bergerak, meskipun memiliki sumber daya dan dukungan sosial yang kuat. Sementara dalam UU Energi, daerah sebenarnya diperbolehkan mengelola energi air. “Dalam UU energi yang dibolehkan di daerah itu energi air, karena dari sisi kesosialan masyarakat kita mampu untuk menghasilkan energi mandiri,” jelas Yogi.
Beberapa daerah seperti Banjarnegara dan Enrekang telah membuktikan bahwa pembangkit listrik mikrohidro bisa menjadi solusi lokal yang efektif. Yogi juga menyoroti kebijakan mobil listrik yang dinilai belum menyentuh akar persoalan.
“Kita melihat sekarang bagaimana perkembangan mobil listrik. Tapi menariknya ketika pemerintah ingin menerapkan mobil listrik, lebih mengembangkan perangkatnya dulu bukan tenaganya dulu. Perlu diskusi untuk membahas bagaimana tata kelolanya yang baik, bagaimana dari hulu ke hilirnya,” kata Yogi.
Paradigma energi nasional, menurut Yogi, harus segera direvisi. Dia menilai, tanpa perubahan paradigma, Indonesia akan terus terjebak dalam ketergantungan dan kerentanan energi. “Apakah kita akan terus menggantungkan energi kita pada fosil atau menghasilkan energi lain?” katanya.
Ia juga mengkritisi minimnya difusi kebijakan EBT ke daerah. “Dari sisi pemerintahan untuk kebijakan EBT tidak terdifusikan ke bawah, terlalu termonopoli. Di Indonesia itu kalau kita ingin mandiri energi itu, kita akan dipersulit. Ada permainan oligarki di sini. Padahal kita Indonesia itu, punya potensi yang sangat besar,” lanjut Yogi.
Oleh karenanya, revisi regulasi menjadi solusi yang ditawarkan. Ia juga menekankan pentingnya pendekatan sosial dalam merancang kebijakan energi. “Pertanyaannya apakah kita bisa melakukan revisi regulasi energi yang anglenya ada condong ke bermanfaatan sosial? Kenapa kita gak coba untuk mendifusi kebijakan itu ke level pemerintah hingga di level daerah,” ujar Yogi.
Yogi juga mengingatkan bahwa penundaan kebijakan bisa membuka celah penyelewengan sebagai refleksi tajam atas kondisi hulu-hilir energi nasional. “Dari segi angle kebijakan kalau menurut saya, paling tidak kita harus buat revisi dari segi kebijakan energi. Dan saya harap UU kebijakan keenergian ini bisa segera terealisasi dan perlu diatur ulang," pungkasnya.
Alternati produk UMKM atau brand lokal serupa: