AYOBANDUNG.ID - Di atas kertas, namanya terdengar mulia: energi baru dan terbarukan. Ramah lingkungan, bersih, berkelanjutan. Tapi di Gunung Karang, Kabupaten Bandung Barat, energi ini tidak hadir dalam wujud matahari yang hangat atau angin sepoi-sepoi. Ia datang dalam rupa dinamit, debu, dan deru ekskavator. Ia menyisakan bukan hanya bolong di tanah, tapi juga lubang di hati warga.
Energi ini katanya menyelamatkan bumi. Tapi di Karangsari dan Sarinagen, ia lebih dulu merusak rumah dan mengusir emak-emak dari dapur. Bukan karena mereka ingin pindah haluan jadi aktivis, tapi karena baju mereka tak bisa lagi dijemur. Debu dari batu yang digiling beterbangan, menempel di pakaian yang mestinya harum sabun, bukan aroma andesit.
Di ruang-ruang seminar pembangunan, energi ini dielu-elukan sebagai simbol peradaban masa depan. Di Gunung Karang, ia lebih mirip monster dari zaman purba yang mengunyah bukit dan meludahkannya dalam bentuk longsor. Listrik masa depan itu ternyata butuh tumbal masa kini.
Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Upper Cisokan digadang-gadang sebagai solusi energi hijau bagi Jawa-Bali. Tapi bagi emak-emak di lereng gunung, proyek ini cuma bikin genting beterbangan dan kaca jendela bergetar seperti sedang konser metal. Bahkan kalaupun itu energi bersih, tak seharusnya membersihkan warga dari tanah kelahiran mereka.
Senin pagi, 28 April 2025. Matahari baru setinggi galah. Sejumlah emak-emak dari Desa Karangsari dan Sarinagen menyerbu lokasi tambang batu andesit di Gunung Karang. Aksinya bukan kirab budaya, bukan juga program PKK. Ini adalah bentuk protes keras warga.
Lia, 52 tahun, dengan suara serak akibat debu, mengaku jengkel. "Kami tadi mayoritas ibu-ibu spontan mendatangi lokasi tambang minta blasting dan penggilingan batu dihentikan. Kita minta dampak debu dan getaran dituntaskan dulu, kalau itu sudah selesai baru proyek boleh jalan lagi," katanya.
Debu batu beterbangan, masuk ke sela genting, menempel di lantai, merusak pakaian bersih yang dijemur. "Gilingan batu ini terbang kemana-mana terbawa angin. Kami minta ini bisa diminimalisir supaya tak lagi masuk ke rumah dan pakaian yang sedang dijemur," lanjut Lia.
Tapi bukan cuma debu. Blasting alias ledakan bikin kaca rumah bergetar, tembok retak, genting beterbangan. Sudah seperti sedang tinggal di wilayah perang.
"Sudah hampir satu tahun ini berjalan, kami sudah beberapa kali sampaikan agar tanggulangi dulu dampak, tapi mereka gak mengindahkan. Puncaknya hari ini, warga terpaksa demo ke lokasi," ujar Lia. Satu tahun bersabar. Dan akhirnya meledak juga—bukan cuma batu, tapi juga kesabaran emak-emak.
Sejumput Problema PLTA
PLTA Upper Cisokan adalah proyek besar yang masuk dalam daftar Proyek Strategis Nasional (PSN) dan ditujukan untuk menyuplai energi bersih berkapasitas 1.040 megawatt ke wilayah Jawa-Bali. Secara dokumen, ini adalah langkah untuk mencapai target bauran energi baru dan terbarukan sebesar 25% pada tahun 2025.
Tapi, di balik jargon energi bersih dan transisi ramah lingkungan, proyek ini menyisakan banyak persoalan serius di tingkat akar rumput.
Yang paling menonjol adalah dampaknya terhadap masyarakat dan lingkungan di sekitar lokasi proyek. Gunung Karang, yang menjadi salah satu lokasi penambangan batu andesit untuk proyek, merupakan kawasan yang selama ini jadi sumber air bersih bagi warga di dua desa.
Gunung ini menyimpan sejumlah mata air yang digunakan warga secara turun-temurun. Warga membangun bak penampung air sederhana dan mengalirkan air ke rumah masing-masing dengan pipa, karena kawasan tempat tinggal mereka memang terkenal sulit mendapatkan air tanah.
Dimulainya aktivitas tambang membuat warga resah. Mereka khawatir pengerukan batu nanti akan berdampak langsung pada kelestarian mata air. Ada tujuh titik penampung air yang ditemukan Gunung Karang. Air ini tidak hanya penting untuk kebutuhan harian, tetapi juga menyirami puluhan hektare sawah. Apabila mata air terganggu, keberlangsungan pertanian warga juga terancam.
Warga meminta agar proyek tambang tidak dilanjutkan sebelum ada jaminan bahwa mata air tetap aman. Mereka tak ingin menjadi korban dari proyek yang dijalankan tanpa mitigasi.
Kekhawatiran warga juga diamini oleh Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Barat. Direktur Walhi Jabar, Wahyudin Iwank, menyebut proyek ini dari awal sudah tidak transparan, termasuk dalam dokumen perizinan dan kajian dampaknya terhadap lingkungan.
Pembukaan akses jalan proyek saja sudah dilakukan secara serampangan, sehingga memicu longsor saat musim hujan. Walhi mendesak agar proyek ini dihentikan sementara sampai ada kepastian mitigasi dampak lingkungan dan hak-hak warga terpenuhi.
“Lihat saja, jalan menuju proyek ini kerap longsor karena sejak awal ugal-ugalan. Tak kajian lingkungan secara serius,” kata Iwank.
Sementara itu, di kawasan lain yang langsung bersinggungan dengan proyek bendungan, dampaknya lebih nyata. Kampung Lembur Sawah, Desa Sukaresmi, Kecamatan Rongga, menjadi salah satu lokasi paling terdampak.
Kampung ini terletak sangat dekat dengan proyek PLTA Upper Cisokan, bahkan sebagian wilayahnya direncanakan akan ditenggelamkan untuk menjadi bagian dari bendungan. Sejak akhir 2022, warga sudah harus terbiasa dengan pemandangan ekskavator dan truk proyek yang hilir mudik, serta suara ledakan dari pengerjaan terowongan.
Bagi Waning, 50 tahun, salah satu warga Kampung Lembur Sawah, proyek ini bukan hanya soal perubahan pemandangan atau kerusakan alam, melainkan juga penggusuran ruang hidup.
Ia dan keluarganya dipaksa melepas rumah, sawah, dan kebun yang menjadi sumber kehidupan. Sebagian besar warga sudah eksodus ke kampung-kampung tetangga seperti Babakan Bandung dan Tegalalaja, bahkan ada yang berpindah hingga ke Cianjur.
Data yang dihimpun per September 2024, dari sekitar 70 kepala keluarga, masih ada 27 yang bertahan karena belum mendapatkan ganti rugi atau tak memiliki cukup dana untuk pindah.
Waning termasuk yang bertahan. Meski rumah dan sawahnya sudah masuk area pembebasan, ia tak sanggup membangun kehidupan baru hanya dengan Rp200 juta ganti rugi. Uang itu tampak besar di atas kertas, tetapi dalam kenyataan tidak cukup untuk membeli lahan baru, membangun rumah, serta memulai pekerjaan baru.

Selain digusur, warga yang bertahan di Lembur Sawah juga menghadapi masalah akses air. Karena pembangunan jalan ke proyek memotong aliran air ke sawah, para petani kehilangan sumber irigasi yang selama ini menopang sistem tanam mereka. Yang dulunya bisa panen tiga kali setahun, kini bergantung pada musim hujan.
"Karena dibuat jalan ke proyek bendungan di area hutan, sumber air ke sawah jadi terhalang jalan. Otomatis sawah gak ada sumber air,” kata Ketua RW 01 Lembur Sawah, Asep Suherman.
Proyek ini disebut-sebut dibiayai oleh pinjaman dari International Bank for Reconstruction and Development (IBRD) dan Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB), dengan nilai mencapai 610 juta. Sayangnya, duit sebanyak itu tidak mampu menutup ragam persoalan di lapangan. Ganti rugi hanya diberikan untuk tanah, itupun terkesan sekenanya. Pendampingan bagi warga terdampak? Ada, tapi jangan tanya soal keseriusannya.
Permasalahan lain yang tak kalah besar adalah kerusakan hutan. PT PLN telah mengantongi izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) seluas 409 hektar untuk proyek ini. Sesuai aturan, mereka wajib mengganti dua kali lipat lahan hutan yang digunakan, yakni 818 hektar. Namun laporan Forum Komunikasi Kader Konservasi Indonesia (FK3I) Jawa Barat menunjukkan bahwa hingga Desember 2021, PLN baru menyediakan sekitar 152 hektar lahan pengganti. Bahkan lahan pengganti itu pun belum ditanami ulang, sehingga fungsinya sebagai kawasan hutan belum kembali.
Perubahan fungsi hutan ini sangat merisaukan. Kawasan Cisokan merupakan habitat berbagai flora dan fauna langka, seperti macan tutul, trenggiling, kukang Jawa, dan surili. Kini, satwa tersebut makin sulit ditemui, diduga karena terganggu suara alat berat dan rusaknya habitat. Yang lebih sering turun justru babi hutan dan monyet, yang mulai mencari makan ke kebun warga karena sumber makannya di hutan terganggu.
”Sejak 6 bulan terakhir babi dan monyet sering masuk ke kebun. Mungkin karena lokasi cari makannya terganggu jadi turun ke kebun,” kata Rohmat, 55 tahun, petani hutan asal Desa Sukaresmi.
Pembangkit Listrik Baru, Emang Perlu?
Pada tahun 2023, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat kelebihan pasokan listrik (oversupply) di sistem Jawa-Bali sebesar 4 gigawatt (GW), turun dari 7 GW pada tahun sebelumnya. Artinya, meskipun ada penurunan, masih terdapat surplus energi yang signifikan.
Proyeksi pertumbuhan ekonomi dan kebutuhan energi di masa depan tetap menjadi pertimbangan. ESDM memprediksi bahwa pertumbuhan permintaan listrik sekitar 5-6% per tahun, sehingga kelebihan pasokan ini diperkirakan akan terserap dalam 2-3 tahun ke depan.
Problem listrik luber ini mulai muncul setelah pemerintah meluncurkan program pembangunan pembangkit listrik 35 GW yang dimulai sejak 2015. Program ambisius itu diluncurkan pemerintah didasarkan pada asumsi pertumbuhan ekonomi 7-8% per tahun.
Waktu itu, optimisme nasional memang sedang di atas langit. Semua terasa mungkin. Tapi seperti semua hal yang terlalu percaya diri, kenyataan datang membawa kertas ujian.
Ekonomi Indonesia ternyata cukup tahu diri. Tumbuhnya sabar, sekitar 5% saban tahun. Kadang lebih rendah. Tapi pembangunan pembangkit sudah kadung jalan. Seperti orang pesan nasi padang satu talenan, padahal yang makan cuma dua orang. Hasilnya? Listrik luber. Melimpah. Nangkring di gardu, tak tahu mau ke mana.
PLN, yang mestinya senyum dapat pasokan stabil, malah megap-megap. Soalnya, mereka harus tetap membayar listrik yang tak dipakai. Itu namanya take or pay. Artinya: kalau listriknya dipakai, PLN bayar. Kalau enggak dipakai? Tetap bayar.
Situasi ini bukan hanya salah perhitungan. Tapi salah perhitungan yang mahal.Pada tahun 2023, margin cadangan listrik di Jawa-Bali mencapai 44%, jauh di atas standar ideal 20-30%. Situasi ini bikin PLN harus membayar listrik walau tidak terpakai, entah sampai kapan.