Saya pribadi mengetahui kuliner yang satu ini dengan sebutan oseng kulit singkong. Namun baru-baru ini saya mengetahui bahwa kuliner ini bernama kadedemes.
Kadedemes dalam suku Sunda artinya kaleuwihan atau berlebihan. Hampir serumpun dengan kata tamarakan yang diartikan makan sembarangan. Istilah ini muncul di masyarakat karena kulit yang dianggap sebagai sampah ternyata masih bisa diolah menjadi hidangan yang nikmat.
Saya selalu takjub dengan kehadiran singkong di muka bumi ini. Segala hal yang melekat dalam dirinya tak luput dari kata bermanfaat. Menurut saya singkong memiliki filosofi "Bertumbuh dan Mengakar", dalam artian bertumbuh menghasilkan manfaat lewat daun dan batangnya juga mengakar lewat singkong yang bermanfaat bagi mahluk hidup lainnya.
Singkong adalah salah satu jenis tumbuhan yang tidak perlu perlakuan khusus dalam merawatnya. Bahkan saya sering menemukan sebagian masyarakat lokal yang tinggal dipinggiran Sungai Citarum memanfaatkan lahan yang kosong untuk menanam pohon singkong.
Tidak perlu setiap hari datang untuk ditinjau, pohon singkong bisa tumbuh dengan cepat dan berguna bagi masyarakat. Singkong juga bisa menjadi nilai ekonomis bagi mereka yang memanfaatkannya. Bahkan menurut pengamatan saya, ketika air Sungai Citarum meluap ketika hujan, sedikit tertahan lebih lama oleh keberadaan pohon singkong hingga air menepi ke jalanan.
Mulai dari daunnya yang sering diolah menjadi lalaban, urap, gulai daun singkong, tumis daun singkong, bakwan hingga dendeng daun singkong bagi mereka yang vegetarian.
Batangnya berguna sebagai bibit perkembangan, bahan baku pembuatan industri papan dan bahan briket arang juga bisa berguna sebagai bahan kayu bakar. Kemudian daging singkong bisa dibuat berbagai macam varian mulai dari kukusan, getuk, tape, urap, keripik hingga bisa diproses menjadi tepung untuk pembuatan kue.
Singkong terdiri dari tiga lapisan kulit, pertama daging umbi yang secara umum sering diolah, kedua lapisan yang cenderung tebal biasanya dianggap menjadi sampah atau tambahan pakan untuk ternak dan lapisan kulit ari (paling luar) yang menyatu dengan tanah dan biasanya dibuang begitu saja.
Di Indonesia Singkong memiliki sejarah yang cukup panjang. Menurut sebuah jurnal yang berjudul Sejarah Pembudidayaan Ketela Pohon di Indonesia yang ditulis oleh Fadly Rahman menyebutkan bahwa singkong diperkirakan mulai dibudayakan sekitar 5000 tahun yang lalu. Hingga akhir abad ke-19, peneliti bersepakat bahwa spesies singkong ini berasal dari Amerika Serikat.
Sementara dalam buku yang ditulis Murdijati Gardjito dengan judul Singkong, Pangan Harapan Masa Depan yang Menyehatkan, menyatakan bahwa singkong merupakan komoditas yang paling dekat dengan masyarakat kelas bawah. Di Indonesia singkong sangat lekat dengan pepatah Jawa "Wong ndeso mangan telo" atau orang desa makannya singkong.
Masih dalam buku yang sama singkong bukan sekedar makanan utama tapi sudah diolah menjadi berbagai aneka macam kudapan di seluruh Indonesia. Indonesia juga merupakan penghasil singkong terbesar kedua di dunia. Makanan yang pada mulanya dianggap rendah kini mulai bertransformasi menjadi kudapan yang sering ditemui di restoran dan dikonsumsi oleh kalangan menengah atas.
Dalam sebuah novel sejarah berjudul Entrok bahkan sang penulis Okky Madasari menyoroti singkong sebagai komoditas utama masyarakat di era tahun 1960-1980-an. Singkong menunjukkan sebagai bahan dasar makanan yang menemani krisis pangan di Indonesia. Bahkan singkong sudah menjadi penopang ekonomi masyarakat di zaman tersebut.
Dalam sebuah jurnal yang ditulis oleh Sopian Wardani berjudul Kearifan Lokal Rasi di Kampung Adat Cirendeu sebagai Daya Tarik Wisata, semenjak tahun 1918 sesepuh adat Cireundeu mengatakan bahwa pada masa penjajahan hampir sebagian hasil panen padi diambil oleh kolonial sehingga banyak masyarakat yang kelaparan.
Kondisi tersebut membuat masyarakat memiliki keputusan tidak bergantung kepada padi sebagai olahan makanan utama. Bahkan sesepuh adat Cirendeu bisa menghasilkan karya dari singkong bernama Rasi atau beras singkong yang diprakarsai oleh Ibu Omah Asnamah.
Menariknya olahan rasi bagi masyarakat adat Cirendeu tidak hanya sekedar tradisi makan tapi memiliki nilai kearifan lokal yang kaya dan mendalam. Rasi juga menjadi daya tarik wisata bagi mereka yang berkunjung ke kampung adat Cirendeu.
Di Bandung sendiri olahan kadedemes sudah sangat sulit untuk ditemui, bahkan berdasarkan informasi yang saya temukan olahan ini hanya ada di salah satu warung nasi yang ada di Banjaran Kabupaten Bandung.
Menurut ibu saya, dalam membuat olahan kadedemes diperlukan beberapa kriteria singkong. Pertama, tangkai singkong yang berwarna sedikit kemerahan lebih berkualitas dibandingkan dengan tangkai yang berwarna hijau saja.
Kedua, kulit terluar singkong yang berwarna putih sedikit kemerahan akan lebih cocok diolah menjadi kadedemes dibandingkan dengan dengan kulit yang dominan putih yang bercita rasa agak pahit. Ketiga, ukuran singkong yang besarnya sama rata lebih enak dibandingkan dengan singkong yang pada bagian atas lebih besar sementara di bagian bawah makin meruncing.
Baca Juga: Lamsijan, Mang Kabayan, dan Langkanya Ilustrator Karakter Kesundaan
Langkah pertama untuk membuat olahan kadedemes adalah dengan mengupas kulit kedua dari singkong lalu dicuci hingga bersih. Selanjutnya bagian kulit tersebut dikukus selama kurang lebih 30 menit hingga empuk. Potong kulit kadedemes menjadi ukuran yang lebih kecil lalu tiriskan.
Untuk menghasilkan olahan yang lebih enak, bumbu kadedemes bisa dibuat dalam dua versi yaitu bumbu ulek dan bumbu cingcang. Pertama goreng bawang merah yang sudah diiris sampai berubah warna dan tercium aroma, sisihkan sementara ke sisi wajan.
Kemudian masukan bumbu halus yang sudah di ulek berisi bawang putih, jahe dan cabe rawit lalu tumis hingga kecoklatan. Setelah itu masukan ikan teri goreng sebagai penambah rasa dalam olahan kadedemes bersama potongan cabai rawit untuk menghasilkan rasa yang lebih segar.
Masukan kadedemes yang sudah di potong-potong lalu tambahkan sedikit air dan penyedap rasa. Tunggu 5-10 menit hingga bumbu meresap sempurna. Kadedemes siap disajikan dengan nasi hangat yang tentunya akan meningkatkan nafsu makan. Nasi hangat yang bercampur dengan lembutnya kulit singkong juga gurih dari ikan teri dan pedasnya cabai menjadi perpaduan yang tak terlupakan.
Meski keberadaannya sudah sangat jarang ditemukan tapi kadedemes merupakan salah satu kekayaan kuliner suku Sunda yang wajib untuk dibanggakan. Melalui kadedemes kita belajar bahwa dari krisis pangan ternyata kadedemes bisa bertransformasi menjadi hidangan yang penuh makna dan kaya akan cita rasa. (*)