Gastrokolonialisme: Pelajaran Pangan dari Hawaii untuk Indonesia

Dias Ashari
Ditulis oleh Dias Ashari diterbitkan Rabu 22 Okt 2025, 19:17 WIB
Mengutip dari Sebumi, sebab pada akhirnya  perjuangan melawan kelaparan bukan sekedar mengisi perut, melainkan mengembalikan martabak di meja makan kita sendiri (Sumber: Freepik)

Mengutip dari Sebumi, sebab pada akhirnya perjuangan melawan kelaparan bukan sekedar mengisi perut, melainkan mengembalikan martabak di meja makan kita sendiri (Sumber: Freepik)

Sejak tahun 1945 Indonesia memang sudah merdeka dari penjajahan kolonialisme, penjajahan dari segala perbudakan dan senjata yang bisa membuat manusia mati. Tapi apakah Indonesia benar-benar telah merdeka ? sesederhana merdeka dari pangan yang kita konsumsi sehari-hari.

Istilah gastrokolonialisme pertama saya dengar dari seorang peneliti bernama Craig Santos Perez yang berasal dari Guam yang membuka banyak perspektif mengenai bagaimana gambaran impor massal dan pangan olahan murah yang merusak ketahanan pangan serta kesehatan masyarakat wilayah Pasifik.

Gastrokolonialisme merupakan sebuah terminologi yang menggambarkan kondisi masyarakat luas yang tidak menyadari sudah dikuasai dan dikendalikan oleh pangan ultra-olahan. Bahkan pemahaman ini secara tidak sadar juga telah mempengaruhi diri saya terhadap pilihan konsumsi pangan saat ini.

Sebelum abad ke-19, sebelum kapal dagang dari perusahaan Amerika datang, masyarakat Kepulauan Hawaii termasuk ke dalam masyarakat yang sudah memiliki kemandirian terhadap pengelolaan pangan lokal di sepanjang wilayah Pasifik. Lahan sumbur yang terdapat di Hawaii telah menembuhkan sejumlah tanaman kalo (talas), 'ulu (sukun), serta melimpahnya tambak ikan pesisir (loko i'a) yang menopang kehidupan berkelanjutan.

Namun kedatangan kolonialisme dan militerisasi telah memporak-porandakan keseimbangan tersebut. Lahan pangan masyarakat yang selama ini telah menghidupi, dialihfungsikan menjadi berbagai kebun tebu dan sejumlah pohon nanas demi memenuhi permintaan pasar global.

Tak hanya merenggut lahan dan pangan lokal masyarakat, orang Hawaii juga kehilangan bahasa daerah setempat, spiritualitas yang mereka yakini dan cara makan serta cara pandang mereka dalam memilih pangan untuk makanan sehari-hari.

Berdasarkan informasi yang tersebar dalam dunia digital sekitar 85-90 % makanan yang terdapat di Hawaii adalah hasil impor. Kondisi menjadikannya sebagai salah satu negara bagian yang paling bergantung pada impor pangan di Amerika Serikat. Hal ini disebabkan dari isolasi geografis Hawaii yang sangat jauh dari dataran utama, keterbatasan lahan karena telah beralih fungsi dan tingginya permintaan pangan akibat kebutuhan industri pariwisata.

Kemandirian pangan yang diwariskan oleh para leluhur seketika menghilang dan tergantikan dengan ketergantungan total kepada pasar global dan kapal logistik dari dataran Amerika.

Pangan impor yang terlihat sebagai hal sepele justru memiliki dampak terhadap tubuh manusia. Dilansir dari National Library of Medicine bahwa penduduk asli Hawaii memiliki status kesehatan terburuk dibandingkan dengan semua kelompok etnis di Negara bagian Hawaii. Salah satu faktor yang mempengaruhi disparitas kesehatan ini adalah prevalensi kelebihan berat badan atau obesitas.

Pada tahun 2009, Departeman Kesehatan Hawaii mencatat statistik yang menghawatirkan bahwa penduduk asli Hawaii memiliki tingkat prevalensi sebanyak 69.6 % untuk kelebihan berat badan atau obesitas. Penyakit ini disusul dengan penyakit jantung, hipertensi dan gagal ginjal terutama menyerang kalangan komunitas lokal termiskin di Hawaii.

Menurut Kawika Winter seorang Ekolog dari He'eia National Estuarine Research Reserve menemukan kerentanan pangan yang sudah hilang pada masyarakat Hawaii.

Orang-orang Hawaii menjadi sangat rentan pangan setelah kehilangan hubungan dengan tanah, pengetahuan dan teknologi yang dulu memberi makanan para leluhur mereka.

Menurutnya di Hawaii harga tanah melambung tinggi, sejumlah supermarket telah dipenuhi dengan produk impor dan generasi mudanya lebih mengenal pangan olahan seperti spam musubi, nasi, telur dan daging kaleng dibandingkan dengan poi (talas tumbuk) dan 'ulu puhi (sukun bakar) sebagai makanan warisan leluhur mereka.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukannya hampir setiap tahun warga Hawaii telah menghabiskan lebih dari 7 juta kaleng spam musubi. Makanan yang pada mulanya hanya digunakan pada kondisi darurat saat terjadinya perang militer kini telah bergeser menjadi ikon kuliner. Baginya kondisi ini adalah wajah gastrokolonialisme yaitu penjajahan yang bekerja lewat makanan.

Kini kolonialisme datang bukan membawa senjata tapi dengan membawa tepung, gula dan kebijakan impor. Kolonialisme telah menaklukkan masyarakat lewat selera dan iklan, mengikis sejumlah akar budaya makan yang sejak dulu telah menopang kemandirian pangan masyarakat.

Kehadiran gastrokolonialisme telah menaklukan sistem yang kini telah mengikis akar budaya makan yang dulu menjadi penopang kemandirian, termasuk Indonesia. Negara kita termasuk wilayah yang memilki kondisi alam yang bisa menopang kemandirian pangan sejak dulu kala. Melimpahnya pangan dilautan, suburnya tanah yang bisa menumbuhkan berbagai jenis tumbuhan dan sumber daya energi yang belum tentu negara lain miliki.

Tapi hari ini fenomena yang terjadi di Hawaii ternyata begitu dekat dengan kondisi yang sedang terjadi di Indonesia. Cerita di Hawaii membawa kemiripan dengan Indonesia, negeri kepulauan yang juga hidup dari laut dan pangan lokalnya. Bahkan dalam lima dekade terakhir pola makan sebagian masyarakat Indonesia berubah dengan cepat. Keberadaan mie instan dan roti gandum menggantikan sagu, sukun, talas, singkong dan ubi-ubian.

Misalnya di Maluku, Nusa Tenggara dan Papua, keberadaan pangan tradisional yang telah menopang ekologi sudah mulai tersisihkan oleh program pembangunan yang memuja sawah dan beras sebagai simbol kemajuan. Proyek cetak yang dianggarkan oleh pemerintah di lahan gambut justru telah berulang kali mengalami kegagalan. Tapi upaya berulang tersebut juga merusak ekologi dan pemerintah masih terus ingin berusaha mengubah itu semua demi nama kemajuan.

Beras menjadi ukuran kemajuan, komponen gaji dan bantuan sosial. Anak-anak di wilayah tersebut pun tumbuh dengan perut yang tak kenyang sebelum makan nasi. Pola pikir seperti ini sudah jauh tertanam di masyarakat Jawa Barat. Sebagian dari masyarakat kita merasa belum "Makan" sebelum memakan nasi, padahal paginya sudah mengkonsumsi bubur, lontong, kupat dan olahan sarapan lainnya. Bahkan kebiasaan masyarakat Jawa Barat banyak menggabungkan makanan kaya karbohidrat dalam satu piring makanan. Misalnya memakan mie dengan nasi, memakan nasi dengan seblak, memakan bakwan dengan nasi dan masih banyak hal serupa.

Sementara pangan lokal dianggap sebagai makanan orang miskin. Mengkonsumsi olahan makanan lokal seringkali diidentikan dengan pola hidup diet dan seringkali menjadi bulan-bulanan masyarakat lain. Kondisi ini kadang menimbulkan masyarakat malu dan kembali konsumsi pangan olahan lain yang terasa lebih familiar di masyarakat. Maka inilah bentuk gastrokolonialisme paling halus di mana kebijakan negara memperkuat hierarki rasa dan membuat masyarakat malu terhadap makanannya sendiri.

Contoh Menu MBG dari gandum (Sumber: Instagram)
Contoh Menu MBG dari gandum (Sumber: Instagram)

Ironi ketika Indonesia masih melakukan impor beras ketika dikenal sebagai negara agraris. Indonesia menjadi negara impor terbesar beras dan sejumlah gandum kurang lebih 10 juta ton per tahun. Kondisi makin rawan ketika anak-anak sekolah sebagai generasi penerus bangsa kini dinormalisasi melalui sajian pangan olahan berbahan impor dalam Program Makanan Bergizi Gratis (MBG). Setelah harga gandum dan beras naik maka wajah rapuh dari sistem pangan nasional akan tampak.

Dibalik keragaman pangan lokal justru tersimpan pengetahuan ekologis yang dapat menjaga keseimbangan tanah dan air. Ketika pangan lokal mulai ditinggalkan maka rusak juga sistem ekologinya. Ancaman musim kelaparan bisa saja datang di tanah yang dulu dikenal berlimpah pangan dan sumber daya alam.

Hari pangan yang jatuh pada tahun 2025 ini ternyata bertepatan dengan 80 tahun berdirinya Organisasi Pangan dan Pertanian (FAQ) yang mengusung tema pentingnya kolaborasi lintas generasi dan sektor untuk mentransformasi sistem pangan lokal agar adil, bergizi serta berkelanjutan.

Dari cerita Hawaii yang dilansir dari sebumi.id , kita bisa belajar bahwa perjuangan dalam melawan kelaparan bukan sekedar menuntaskan isi perut, melainkan mengembalikan martabat di meja makan kita sendiri.

Menurut saya siapa kita di hari ini adalah bagian dari perwujudan apa yang kita makan selama hidup. Makanan yang kita pilih hari ini sangat mencerminkan identitas pribadi dan kolektif kita dalam banyak hal. Kita hari ini yang obesitas adalah cerminan dari pola makan tidak sehat yang sudah dipupuk beberapa tahun ke belakang. Kita hari ini dengan segala tantangan penyakit baru yang belum diketahui obatnya adalah cerminan pilihan kita terhadap makanan yang dianggap sepele. (*)

Disclaimer

Tulisan ini merupakan artikel opini yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Pandangan yang disampaikan dalam artikel ini tidak mewakili pandangan atau kebijakan organisasi dan redaksi AyoBandung.id.

Dias Ashari
Tentang Dias Ashari
Menjadi Penulis, Keliling Dunia dan Hidup Damai Seterusnya...
Nilai artikel ini
Klik bintang untuk menilai

Berita Terkait

News Update

Ayo Netizen 22 Okt 2025, 21:06 WIB

Setahun Pendidikan Bermakna, Menanam Peradaban Lewat Tindakan Nyata

Menyoroti langkah Kemendikdasmen dalam membangun peradaban melalui kebijakan yang berdampak nyata bagi generasi muda.
Foto mengajar di SD Tewang Kadamba, Kalteng. (Foto: Eka)
Ayo Biz 22 Okt 2025, 20:30 WIB

Membangun Wisata yang Tak Merusak tapi Menghidupkan Alam dan Budaya Lokal

Di tengah tekanan kerja dan digitalisasi, banyak orang mencari pelarian ke alam. Tapi bukan sekadar alam liar, mereka menginginkan pula kenyamanan, estetika, dan pengalaman.
Di tengah gempuran wisata urban dan digital, LGE tetap mengusung semangat pelestarian budaya lokal Sunda, mulai dari nama tempat, makanan tradisional, hingga permainan rakyat. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Netizen 22 Okt 2025, 20:10 WIB

Enam Akar Asal-usul Agama

Jauh sebelum berdiri gereja, kuil, atau masjid, manusia telah lebih dulu menatap langit, gunung, petir, dan kematian dengan perasaan yang campur aduk.
The Histomap of Religion: The Story of Man’s Search for Spiritual Unity (John B. Sparks, 1952) (Sumber: UsefulCharts, https://www.youtube.com/watch?v=5EBVuToAaFI) | Foto: Arfi Pandu Dinata)
Ayo Netizen 22 Okt 2025, 19:17 WIB

Gastrokolonialisme: Pelajaran Pangan dari Hawaii untuk Indonesia

Tanpa kita sadari justru kita masih dijajah secara halus lewat orientasi pangan lokal yang semakin tergantikan dengan kampanye makanan olahan
Mengutip dari Sebumi, sebab pada akhirnya  perjuangan melawan kelaparan bukan sekedar mengisi perut, melainkan mengembalikan martabak di meja makan kita sendiri (Sumber: Freepik)
Ayo Biz 22 Okt 2025, 18:44 WIB

Pasar Syariah Belum Kompetitif? Begini Tantangan dan Solusi Investasi Islam di Indonesia

Dengan mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, potensi pengembangan instrumen keuangan yang sesuai prinsip syariah dinilai sangat besar.
Dengan mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, potensi pengembangan instrumen keuangan yang sesuai prinsip syariah dinilai sangat besar. (Sumber: Freepik)
Ayo Netizen 22 Okt 2025, 17:04 WIB

Review Anime 'Chainsaw Man The Movie: Reze Arc', Romantisme dan Aksi dalam Visual Memukau

Film animasi produksi studio MAPPA yaitu "Chainsaw Man The Movie: Reze Arc" mengguncang layar lebar dengan cerita dan visual yang bagus.
Poster film Chainsaw Man The Movie: Reze Arc (Sumber: imdb.com)
Ayo Biz 22 Okt 2025, 16:31 WIB

Gowes Bukan Gaya-gayaan: Sepeda Bisa Jadi Solusi Urban Sustainability di Bandung

Tren bersepeda yang semula dianggap gaya-gayaan kini mulai menunjukkan potensi sebagai solusi urban sustainability yang nyata.
Tren bersepeda yang semula dianggap gaya-gayaan kini mulai menunjukkan potensi sebagai solusi urban sustainability yang nyata. (Sumber: Ayobandung.id)
Ayo Netizen 22 Okt 2025, 15:31 WIB

Bandung dan Paradoks Kota Hijau: Potensi Besar yang Belum Tergarap

Bandung, kota kreatif dengan sejuta potensi, kini berhadapan dengan paradoks hijau.
Bandung, kota kreatif dengan sejuta potensi, kini berhadapan dengan paradoks hijau. (Sumber: Unsplash/Ikhsan Assidiqie)
Beranda 22 Okt 2025, 15:10 WIB

Insinerator Digencarkan, Tapi Bukan Solusi Tuntas Atasi Krisis Sampah di Kota Bandung

Wali Kota Bandung, Muhammad Farhan, pun mengakui bahwa penggunaan insinerator tak bisa serampangan.
Salah satu insinerator di tempat pembuangan sampah di Kota Bandung. (Sumber: Pemkot Bandung)
Ayo Jelajah 22 Okt 2025, 13:38 WIB

Saat Hacker Bjorka Bikin Polisi Kelimpungan Tiga Kali

Bjorka bikin polisi kelimpungan tiga kali. Dari Cirebon sampai Minahasa, negara sibuk memburu bayangan di layar komputer.
Ilustrasi hacker Bjorka.
Ayo Netizen 22 Okt 2025, 12:48 WIB

Film Rangga & Cinta: Mengenang Kembali Kisah Romansa Masa Remaja

Film Rangga & Cinta dikemas dengan nuansa awal 2000-an yang autentik.
 Salah satu adegan film Rangga & Cinta (Sumber: X/@habisnontonfilm)
Ayo Netizen 22 Okt 2025, 11:51 WIB

Mengokohkan Sistem Manajemen Kinerja: Pilar Penggerak Profesionalitas ASN

Penguatan sistem manajemen kinerja ASN bukan sekadar urusan teknis, tetapi langkah strategis membangun birokrasi berdampak.
Aparatur Negeri Sipil (ASN). (Sumber: Pemkot Magelang)
Ayo Netizen 22 Okt 2025, 10:10 WIB

Menakar Ulang Feodalisme Pesantren

Esai ini ditulis dalam rangka memperingati hari santri.
Ilustrasi santri yang sedang belajar di pesantren. (Sumber: Pexels/Mufid Majnun)
Ayo Netizen 22 Okt 2025, 09:12 WIB

Selusin 'Fun Fact' buat Kita yang Sering Salah Kaprah Menyama-nyamakan Setiap Agama

Masalahnya, cara pandang itu sering banget dipakai buat bikin dunia agama terlihat rapi dan gampang dipahami.
Buku Pengantar tentang Agama-Agama (Sumber: Dokumentasi Pribadi | Foto: Arfi Pandu Dinata)
Ayo Netizen 22 Okt 2025, 05:21 WIB

Khalifah di Era Konsumerisme: Menemukan Keseimbangan dengan Menjaga Lingkungan

Modernitas telah membawa manusia hidup dalam era konsumerisme.
Tugas kita hari ini adalah menanam benih peradaban bumi yang hijau. Sekecil apapun itu karena menjaga bumi adalah bagian dari ibadah seorang Hamba kepada Pencipta-Nya. (Sumber: Freepik)
Ayo Netizen 21 Okt 2025, 20:51 WIB

Menjaga Etika Jurnalistik

Trans7 telah mempertontonkan ketidaktahuannya akan sebuah tradisi yang sudah turun temurun dilakukan tanpa ada yang protes. 
media harus bekerja keras lagi mencari strategi untuk mendapat respons positif dari masyarakat. (Sumber: Pexels/cottonbro studio)
Ayo Biz 21 Okt 2025, 20:12 WIB

Angkat Tema ‘Sovereign AI: Menuju Kemandirian Digital”, AMSI Gelar Indonesia Digital Conference (IDC) 2025

IDC mengangkat tema “Sovereign AI: Menuju Kemandirian Digital”, yang menyoroti pentingnya kedaulatan dan kemandirian industri media dalam menghadapi gelombang transformasi digital berbasis AI.
Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) kembali menyelenggarakan ajang tahunan Indonesia Digital Conference (IDC) 2025 di The Hub Epicentrum, Jakarta Selatan. (Sumber: AMSI)
Ayo Biz 21 Okt 2025, 18:39 WIB

Industri Pariwisata Jawa Barat, Lokomotif Ekonomi yang Menanti Lompatan Strategis

Pertumbuhan sektor pariwisata Jawa Barat tidak bisa dilepaskan dari kontribusi berbagai komponen industri, terutama perhotelan dan restoran.
Pertumbuhan sektor pariwisata Jawa Barat tidak bisa dilepaskan dari kontribusi berbagai komponen industri, terutama perhotelan dan restoran. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Kavin Faza)
Ayo Netizen 21 Okt 2025, 17:19 WIB

Rebel Ridge dan Beratnya Mengungkap Penyimpangan Aparat Penegak Hukum

Rebel Ridge menyingkap sisi gelap aparat penegak hukum dan menggambarkan beratnya perjuangan rakyat sipil melawan ketidakadilan.
Poster Rebel Ridge (Sumber: Foto: Netflix Media Center/Poster Rebel Ridge (2024))
Ayo Biz 21 Okt 2025, 16:55 WIB

Menanam Cuan Tanpa Riba: Jalan Panjang Investasi Syariah di Tengah Dinamika Pasar Modern

Investasi telah menjadi strategi penting dalam mengelola pendapatan dan membangun masa depan finansial yang lebih stabil.
Investasi telah menjadi strategi penting dalam mengelola pendapatan dan membangun masa depan finansial yang lebih stabil. (Sumber: Freepik)