AYOBANDUNG.ID - Pada awalnya, ia cuma desas-desus di forum gelap. Tapi begitu namanya muncul di BreachForums pada awal September 2022, orang-orang tahu sesuatu sedang terjadi. Seseorang dengan nama âBjorkaâ menawarkan 1,3 miliar data registrasi kartu SIM milik warga Indonesia. Jumlahnya tidak masuk akal. Tapi di dunia siber, angka besar seperti itu justru terasa masuk akal.
Data itu disebut berasal dari sistem pemerintah. Hasil kebijakan wajib registrasi nomor telepon yang mewajibkan warga mengaitkan kartu SIM dengan KTP dan KK sejak 2017. Itu artinya, semua orang bisa saja telanjang digital di depan mata siapa pun yang mau membayar. Nama, alamat, nomor identitas, nomor kartu keluarga, semuanya tersedia.
Bjorka menjualnya murah, dan dengan cepat ia jadi legenda baru di dunia maya Indonesia. Ia bukan sekadar peretas, melainkan semacam seniman provokasi digital. Ia mengolok-olok pejabat, membocorkan data menteri, dan mengacaukan sistem informasi lembaga-lembaga negara sambil mengomentari isu politik yang sedang panas. Di tengah kenaikan harga BBM dan demonstrasi mahasiswa, ia seperti muncul untuk menabuh drum kekacauan.
Selamaa bulan September 2022, ia menyerang banyak target: Kominfo, Pertamina, PLN, bahkan BIN. Data pejabat negara dibocorkan satu per satu. Nama-nama besar seperti Joko Widodo, Luhut Pandjaitan, Erick Thohir dan Puan Maharani ikut menjadi korban doxxing, lengkap dengan sindiran-sindiran politik yang tajam. Di tengah naiknya harga BBM dan gelombang protes publik, Bjorka seperti memainkan peran antagonis yang justru mendapat simpati rakyat.
Orang-orang di internet memujanya. Ia seolah menjadi âRobin Hood digitalâ karena berani menelanjangi pemerintah. Padahal, apa yang ia lakukan tidak sesuci itu. Ia menjual data, menangguk uang, dan tetap bermain di wilayah abu-abu antara aktivisme dan kriminalitas. Tapi di negeri yang pemerintahnya gagap teknologi, citra heroik itu mudah sekali melekat.
Kominfo, BSSN, dan Polri kebakaran jenggot. Data publik bocor, pejabat jadi bahan olok-olok, dan kepercayaan masyarakat runtuh. Bjorka seperti menampar wajah negara dengan keyboard.
Baca Juga: Gaduh Kisah Vina Garut, Skandal Video Syur yang Bikin Geger
Dan negara pun mulai membalas.
Tak lama setelah kehebohan itu, seorang remaja di Cirebon tiba-tiba jadi tersangka bayangan. Namanya Muhammad Said Fikriyansyah. Umurnya baru tujuh belas tahun, tinggal di desa, dan masih sekolah. Tapi di dunia maya, rumor adalah bahan bakar paling murah untuk histeria. Tuduhan itu bermula dari akun Instagram @volt_anonym yang menyebut adanya kesamaan antara username msff di forum gelap dengan inisial remaja itu.
Remaja asal Desa Sumber itu langsung jadi sasaran. Namanya viral, fotonya beredar di grup-grup WhatsApp, dan keluarganya ketakutan. Polisi akhirnya turun tangan. Ia menyangkal semuanya: tak punya kemampuan hacking, tak punya perangkat canggih, bahkan internet di rumahnya sering putus.
Kasus Cirebon ini memperlihatkan satu hal: publik dan aparat sama-sama bingung membedakan rumor dan fakta di dunia digital. Bjorka tetap berkeliaran, sementara seorang remaja nyaris jadi tumbal.

Beberapa hari berselang, giliran seorang pemuda 21 tahun di Madiun bernama Muhammad Agung Hidayatullah ditangkap. Ia disebut sebagai admin atau âasistenâ Bjorka karena menjual kanal Telegram yang dipakai sang hacker. Tapi ternyata, Agung hanyalah pedagang es dari Desa Banjarsari Kulon, Kecamatan Dagangan.
Penangkapannya jadi bahan tertawaan publik. Bjorka muncul lagi secara daring, membocorkan data baru, seolah ingin menegaskan bahwa polisi salah orang. Pemerintah mencoba menambal citra dengan membentuk tim gabungan yang melibatkan Polri, BIN, Kominfo, dan BSSN. Tapi hasilnya nihil.
Baca Juga: Sejarah Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung, dari Zaman SBY Sampai Bikin Jepang Kecele
Bjorka menghilang, lalu muncul lagi dengan kebocoran data paspor jutaan warga. Ia lenyap, lalu datang kembali dengan data pelanggan PLN, KPU, hingga BIN. Ia seperti arwah yang keluar masuk jaringan pemerintah sesukanya.
Di balik semua itu, rumor terus beredar. Ada yang bilang ia tinggal di Polandia. Ada yang bilang ia bukan satu orang, tapi jaringan. Ada juga yang percaya bahwa ia hanya simbolânama kosong yang bisa dipakai siapa pun untuk membuktikan betapa rapuhnya sistem keamanan negara.
Terlepas dari apa pun kebenarannya, Bjorka telah membuat Indonesia terlihat seperti rumah digital dengan pintu terbuka lebar. Siapa pun bisa masuk, membawa apa pun, dan keluar tanpa ketahuan.
Tiga tahun berlalu. Orang sudah mulai lupa soal Bjorka. Sampai akhirnya, pada akhir September 2025, polisi mengumumkan mereka telah menangkapnya di Minahasa, Sulawesi Utara.
Pelakunya disebut berinisial WFT, 22 tahun, dropout sekolah menengah, belajar komputer sendiri. Polisi menyebut ia sebagai pengendali akun Bjorka di dark web dan pelaku peretasan jutaan data nasabah bank swasta. Ia juga dituduh memeras manajer bank dengan data itu. Polisi berpose di depan kamera, memamerkan wajah pelaku dan barang bukti komputer butut yang katanya digunakan untuk menyerang sistem keuangan.
Semua media memuat berita itu besar-besaran. "Bjorka Tertangkap di Sulawesi,â tulis judul-judulnya. Negara seperti menemukan pahlawan baruâbukan karena menangkap penjahat siber, tapi karena berhasil menutupi luka harga diri digitalnya.
Tapi euforia itu tak bertahan lama.
Beberapa hari setelah pengumuman penangkapan, dunia maya kembali geger. Akun Bjorka muncul lagi. Kali ini dengan serangan yang jauh lebih memalukan.
Ia membocorkan data pribadi 341 ribu personel Polri: nama, pangkat, satuan tugas, nomor ponsel, dan alamat email. Data itu benar. Para pakar keamanan siber membenarkan keasliannya. Polisi kehilangan muka. Orang yang baru saja ditangkap di Minahasa ternyata bukan Bjorka.
Kebocoran itu seperti tamparan telak di wajah institusi penegak hukum. Polisi yang baru saja bersorak karena mengklaim kemenangan, mendadak menjadi korban. WFT tetap ditahan, tapi publik tahu ia hanya kambing hitam berikutnya.
Bjorka seperti tahu cara paling kejam untuk mempermalukan negara. Ia menunggu momen ketika aparat merasa paling percaya diri, lalu menyerang dari balik layar dengan ketenangan yang sinis.
Sebuah unggahan lantas muncul di situs gelap: data pribadi 341.000 personel Polri bocor. Nama, pangkat, satuan, nomor ponsel, alamat emailâsemuanya tumpah ke publik.
Sejak itu, tak ada lagi yang benar-benar yakin apakah Bjorka adalah satu orang, kelompok, atau bahkan semacam persona yang bisa diambil siapa pun. Ia bisa muncul di mana saja, dengan gaya berbeda, tapi tetap membawa pesan yang sama: sistem keamanan negara ini tidak lebih kuat dari pagar bambu di musim hujan.
Baca Juga: Hikayat Ledakan Bom ATM Dipatiukur Bandung 2011, Kado Pahit Ultah Polisi
Tiga kali polisi kelimpungan, tiga kali pula negara belajar bahwa memburu hacker bukan seperti mengejar pencuri ayam. Bjorka tidak bisa ditangkap dengan cara konvensional. Ia bukan sosok yang duduk di depan satu komputer menunggu disergap. Ia bayangan di jaringan, bergerak di antara celah sistem yang dibiarkan bocor bertahun-tahun.
Setiap kali pemerintah merasa telah menang, ia muncul lagi dan membuktikan sebaliknya. Bjorka menjadi simbol kegagalan sistem keamanan digital Indonesiaânegara yang gemar mengumpulkan data warganya, tapi tak tahu bagaimana melindunginya.
Ia bukan sekadar hacker. Ia semacam cermin. Di dalamnya, kita melihat wajah negara yang kikuk, aparat yang panik, dan sistem yang bolong di mana-mana. Ia muncul, membuat gaduh, lalu menghilang.
Dan entah di mana sekarang, mungkin ia sedang tersenyum di balik layar, membaca berita tentang dirinya sendiri, sementara aparat masih sibuk memeriksa komputer orang yang tak bersalah.