Lanskap media massa kembali mendapat ujian berat. Kali ini pada platform televisi, yaitu stasiun Trans 7. Berawal dari Trans 7 dengan program Xpose Uncensored menampilkan tentang kehidupan di lingkungan Pondok Pesantren Lirboyo. Pada program itu, ada adegan santri memberi salam kepada kiai yang sedang duduk, dan ucapan narator yang tendensius.
Trans 7 rupanya lupa, kalau program yang ditayangkannya itu tidak hanya melawan arus, namun benar-benar mempertanyakan kebiasaan di pesantren yang sudah lama dilakukan. Trans7 telah mempertontonkan ketidaktahuannya akan sebuah tradisi yang sudah turun temurun dilakukan tanpa ada yang protes.
Kontan saja, Trans7 dengan program ini mendapat banyak kritik keras dari berbagai kalangan, mulai dari santri, alumni pesantren, para kiai, dan berbagai organisasi keagamaan. Tidak hanya mengkritik, kemudian muncul juga gerakan dengan tagar #BoikotTrans7 yang tersebar media sosial, sebagai respons kekecewaan santri dan pengelola pesantren atas kesalahan yang telah dilakukan Trans7.
Persoalan ini pun mendapat perhatian lebih luas, mulai dari partai politik dan DPR RI pun ikut terlibat, dengan tujuan agar persoalan ini tidak meluas sehingga bisa memicu konflik lebih besar. Terlepas di sengaja atau tidak, terlepas keteledoran atau ketidaktahunnya, yang jelas tayangan ini telah memancing reaksi keras dari kalangan pesantren, santri, dan para kiai.
Beruntung, tanpa basa basi Trans7 memberikan respons cepat. Secara terbuka Trans7 menyampaikan permintaan maaf, dan mengakui kesalahannya, dan akan bertanggung jawab sepenuhnya atas kekisruhan di masyarakat dampak dari tayangannya, meskipun kontennya berasal dari Production House (PH). Tidak hanya itu, Trans7 pun dengan penuh tangungjawab mendatangi Pondok Pesantren Lirboyo untuk meminta maaf secara langsung.
Trans 7 dan pengelola progam, tanpa disadari kalau konten tentang budaya dan agama (pesantren) cukup beresiko, dan sangat sensitif. Kalau tidak hati-hati dan pertimbangan yang matang, niatannya ingin menghadirkan sisi lain dari sebuah fenomena pesantren yang sekarang sedang ramai memahas bangunan pesnatren yang ambruk, malam menjadi senjata yang mematikan diri media sendiri. Narasi yang dibangun Trans7 malah memicu kemarahan publik. Kecerobohan itu terlihat dari judulnya, "Santrinya Minum Susu Aja Kudu Jongkok, Emang Gini Kehidupan Pondok?" seolah-olah menstigmatisasi, mendiskriditkan, dan tidak menghormati tradisi pesantren.
Trans7 kurang berhati-hati dan tidak melakukan klarifikasi sebelum produk tersebut ditayangkan. Trans7 tidak melakukan konfirmasi kepada pihak pesantren, yang dianggap memiliki otoritas dan kapasitas untuk menjelaskan budaya dan kebiasaan di pondok pesantren. Trans 7 tidak melakukan asas cover both sides dalam menyajikan suara dari kedua pihak (pesantren dan pihak luar pondok pesantren).

Menurut Entman (1993) Trans 7 membingkai fakta dalam sudut pandang orang luar pesantren, sementara framing yang dibuatnya relatif negatif sehingga merusak citra pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam. Trans7 yang memiliki kekuatan dalam melakukan agenda setting, dan bagaimana isu disajikan. Jika pesantren ditampilkan seperti itu, maka publik yang tidak mendapatkan second opinion, atau penjelasan lain tentang pesantren, maka publik akan memiliki pandangan buruk tentang pesantren, padahal kontribusi pesantren sangatlah besar, baik dalam kemerdekaan dan pembangunan negara Indonesia.
Setuju dengan yang dikatakan Siebert, Peterson & Schramm (1956) bahwa Trans 7 harus menghormati nilai dan moral yang ada di masyarakat, dan pesantren ada dalam sebuah masyarakat. Trans7 semestinya peka akan nilai-nilai dan kultural pesantren. Tidak hanya mengejar sensasi atau rating.
Krisis kepercayaan publik terhadap Trans 7 sudah menyebar. Aksi boikot pun tidak hanya ke Trans 7, melainkan ke Transmart. Di era digital, media sudah banyak ditinggalkan massa dan pecintanya, karena beralih ke media sosial. Di antara strategi media dalam mempertahankan eksistensinya ialah media harus berjuang keras mempertahankan kualitas produk jurnalistiknya. Dengan adanya kasus ini, maka besar kemungkinan media akan semakin ditinggalkan peminatnya, karena Trans7 telah menodai spirit jurnalistik berkualitas.
Baru juga media mainstream bergeliat, dengan diterpa kasus seperti ini, media harus bekerja keras lagi mencari strategi untuk mendapat respons positif dari masyarakat. Oleh karena itu, hati-hati dalam menampilkan sebuah produk. Mengikuti tren dan sesuatu yang sedang viral harus, tetapi jangan lupa memperhatikan kaidah dan etika dalam bekerja membuat produk jurnalistik. (*)