AYOBANDUNG.ID - Jika sebuah kota bisa bercerita lewat bangunan, maka Terminal Cicaheum adalah salah satu mulut paling cerewet di Bandung. Ia pernah riuh, berisik, bau bensin, penuh teriakan kernet, kembalian receh, dan harapan yang dibungkus tas plastik. Dari sanalah banyak orang pertama kali menginjakkan kaki di Kota Kembang, dengan mimpi sederhana yang cukup kuat untuk dibawa naik bus antarkota.
Terminal Cicaheum dibangun pada 1974 di atas lahan seluas hampir 1,2 hektar, di timur Bandung yang kala itu belum semacet sekarang. Pemerintah kota sedang getol merapikan transportasi, membayangkan masa depan kota yang tertib, modern, dan terencana. Setahun kemudian, pada 23 Agustus 1975, terminal ini resmi dibuka pada masa Wali Kota R. Otje Djundjunan. Bandung akhirnya punya terminal antarprovinsi pertama yang serius, bukan sekadar halaman luas tempat bus berhenti lalu pergi.
Sejak awal beroperasi, Terminal Cicaheum memosisikan diri sebagai terminal antarprovinsi pertama di Bandung. Fungsi ini segera membuatnya ramai bukan main. Angkutan kota berpencar ke penjuru Bandung, bus antarkota menyisir Jawa Barat bagian timur, sementara bus antarpulau mengangkut penumpang hingga ke Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali. Cicaheum menjadi tempat pertemuan orang kampung dan orang kota, antara yang pulang membawa oleh-oleh dan yang datang membawa harapan.
Pada masa jayanya, terminal ini seperti tidak pernah tidur. Pagi, siang, malam, bahkan dini hari, selalu ada pergerakan. Mesin bus mendengus, kernet berseru, dan penumpang berlarian mengejar keberangkatan yang katanya tinggal lima menit lagi. Terminal Cicaheum Bandung bukan sekadar fasilitas publik, melainkan lanskap sosial yang hidup.
Ekosistem ekonomi pun tumbuh dengan sendirinya. Warung kecil berderet, pedagang asongan menyelinap di antara bus, dan penjual tiket membaca wajah calon penumpang lebih tajam dari jadwal keberangkatan. Bahkan angkot pun menjadikan Cicaheum sebagai magnet. Hingga akhir 2010-an, rute angkot yang melewati terminal ini termasuk yang terpadat di Bandung, dengan ratusan kendaraan per rute. Dari sinilah uang receh berputar cepat, berpindah tangan berkali-kali sebelum matahari tenggelam.
Baca Juga: Hikayat Cibiru, dari Kawasan Timur Pinggiran Kota Bandung yang jadi Pusat Keramaian
Bagi para perantau, Terminal Cicaheum adalah gerbang nasib. Banyak yang pertama kali menginjakkan kaki di Bandung lewat tempat ini. Dari Tasikmalaya, Garut, Ciamis, Kuningan, hingga Indramayu, orang datang bukan sekadar bepergian, tapi mengadu peruntungan. Ada yang pulang membawa cerita sukses, ada pula yang bertahan dengan warung kecil dan hidup pas-pasan di sekitar terminal. Namun satu hal pasti, terminal ini memberi peluang hidup bagi ribuan orang, langsung maupun tidak langsung.
Tapi seperti hikayat pada umumnya, masa kejayaan jarang bertahan selamanya. Memasuki dekade 2010-an, perubahan datang dari arah yang tak terduga. Transportasi digital mulai merangsek masuk ke rutinitas kota. Ojek berbasis aplikasi menawarkan kemudahan, kecepatan, dan rute langsung tanpa harus singgah ke terminal. Penumpang yang dulu terbiasa naik angkot dari Cicaheum mulai berpindah pilihan. Terminal yang semula ramai perlahan kehilangan denyutnya.
Dampaknya terasa berlapis. Angkot menunggu lebih lama, bus berangkat dengan kursi kosong, dan pedagang menghitung ulang keuntungan harian. Terminal Cicaheum masih beroperasi, melayani sejumlah rute angkot dalam kota dan perbatasan, tetapi atmosfernya berubah. Jika dulu manusia berebut kendaraan, kini kendaraanlah yang menunggu manusia.
Lalu datanglah pandemi COVID-19, sebuah babak yang terasa seperti halaman gelap dalam hikayat ini. Mobilitas dibatasi, bus berhenti beroperasi, dan terminal yang biasanya gaduh mendadak sunyi. Selama hampir dua tahun, Terminal Cicaheum mengalami mati suri. Ketika pembatasan mulai dilonggarkan, keadaan tak pernah benar-benar kembali seperti semula. Jumlah penumpang anjlok tajam, armada menyusut, dan perusahaan otobus satu per satu berguguran.
Baca Juga: Hikayat Kiaracondong, Tujuan Urbanisasi Kaum Pekerja Zaman Baheula
Pada pertengahan dekade 2020-an, wajah Terminal Cicaheum jauh berbeda dibanding masa lalunya. Dari puluhan perusahaan bus, tinggal sekitar 20-an yang bertahan. Penumpang harian merosot dari ribuan menjadi ratusan. Warung-warung tutup, kios kosong, dan pedagang yang tersisa bertahan sekadar agar dapur tetap mengepul. Terminal tetap berdiri, tetapi lebih sering terdengar kosong daripada riuh.

Di tengah penurunan itu, muncul kabar yang menggetarkan. Pemerintah merencanakan alih fungsi Terminal Cicaheum menjadi depo Bus Rapid Transit (BRT) Cekungan Bandung. Terminal ini diproyeksikan menjadi bagian dari sistem transportasi massal perkotaan berbasis BRT dengan pendekatan Transit Oriented Development dan kendaraan listrik. Bus antarkota dan antarpulau akan dipindahkan, sementara Cicaheum difokuskan melayani bus perkotaan.
Secara konsep, rencana ini terdengar modern dan menjanjikan. Namun bagi mereka yang hidup bergantung pada denyut terminal, kabar tersebut terasa seperti vonis. Terminal Cicaheum bukan hanya titik transportasi, melainkan ruang hidup. Di sinilah penghasilan dicari, keluarga dibiayai, dan rutinitas dijalani puluhan tahun. Penolakan pun muncul, bukan semata karena menolak perubahan, melainkan karena ketakutan kehilangan sumber hidup.
Baca Juga: Hikayat Pangalengan, Kota Teh Kolonial yang jadi Ikon Wisata Bandung Selatan
Hikayat Preman dan Preman Pensiun
Hikayat Terminal Cicaheum juga tidak lepas dari sisi gelapnya. Pada dekade 1980-an dan 1990-an, terminal ini dikenal sebagai wilayah keras. Premanisme tumbuh subur di tengah keramaian. Pemalakan, intimidasi, dan kekerasan menjadi bagian dari risiko sehari-hari. Kisah-kisah pemalakan menjadi makanan rutin yang menyelinap ke telinga warga Bandung kala itu. Terminal ini pernah menjadi simbol wajah kota yang kusut, tempat hukum sering kalah oleh keberanian dan jumlah.
Dalam berita Berita Yudha terbitan 22 Agustus 1994 misalnya, lima anggota komplotan bertopeng “Ninja” ditangkap aparat ketika tengah memeras pedagang dan sopir angkot di Terminal Cicaheum beberapa hari sebelumnya. Mereka semau adalah remaja berusia 18 hingga 31 tahun. Dari tangan para tersangka, polisi menyita perhiasan emas, uang tunai, serta senjata tajam berupa dua samurai, tiga clurit, dan sebilah golok yang diduga kerap mereka gunakan dalam aksi-aksi sebelumnya.
Penggerebekan berlangsung setelah polisi menerima laporan adanya delapan orang bertopeng yang berkeliaran sambil mengancam warga. Empat anggota Polsekta Cibeunying Kidul segera menuju terminal. Melihat kedatangan aparat, kelompok itu kabur. Sial bagi mereka, pelarian berujung di gang buntu. Beberapa tembakan peringatan dilepaskan sebelum lima orang berhasil diringkus.
Baca Juga: Hikayat Komplotan Bandit Revolusi di Cileunyi, Sandiwara Berdarah Para Tentara Palsu

Fenomena premanisme di Terminal Cicaheum ini bahkan diabadikan dalam budaya populer Indonesia. Serial televisi komedi "Preman Pensiun" yang sempat populer di Indonesia menggunakan Terminal Cicaheum sebagai salah satu lokasi syutingnya. Serial ini mengangkat tema tentang kehidupan para mantan preman yang mencoba hidup normal, dan pemilihan Terminal Cicaheum sebagai lokasi syuting menunjukkan betapa kuatnya asosiasi antara terminal ini dengan fenomena premanisme di masa lalu.
Dipilih sebagai lokasi syuting utama sinetron Preman Pensiun sejak musim pertama tahun 2015, terminal ini merepresentasikan kehidupan jalanan yang gritty, penuh premanisme, konflik kekuasaan, dan interaksi sosial autentik. Citra terminal di masa lalu yang ramai, hectic, dan sarat preman sesuai dengan tema cerita karya Aris Nugraha tentang pensiunan preman seperti Kang Mus, yang mengelola bisnis di terminal sambil menghadapi saingan seperti Cecep, Bubun, dan Bang Edi.
Dalam cerita, terminal ini digambarkan sebagai arena konflik preman, di mana karakter seperti Kang Mus, Cecep, Bubun, Gobang, dan Jamal berebut kendali atas bisnis terminal, termasuk pungutan liar dan perebutan kekuasaan. Lokasi ikonik seperti Warung Bi Yayah sering juga menjadi set adegan. Syuting Preman Pensiun 10 masih berlangsung di sini hungga edisi teranyar 2025. Kamera televisi, kru produksi, dan penonton tak langsung ikut menjaga terminal tetap hidup di ingatan publik. Sebuah ironi yang jenaka sekaligus pahit: ketika fungsi aslinya menyusut, terminal justru abadi lewat fiksi.
Baca Juga: Hikayat Wajit Cililin, Simbol Perlawanan Kaum Perempuan terhadap Kolonialisme
Kini, Terminal Cicaheum berada di persimpangan sejarah. Ia lahir sebagai simbol keteraturan transportasi, tumbuh menjadi pusat ekonomi rakyat, lalu perlahan menyepi oleh inovasi dan krisis global. Rencana alih fungsi menjadi depo BRT menjanjikan babak baru, tetapi juga menutup banyak pintu lama. Seperti hikayat klasik, tidak semua tokohnya bisa ikut ke halaman berikutnya.
Jika suatu hari nanti bus antarpulau benar-benar tak lagi berhenti di Cicaheum, yang tersisa bukan hanya bangunan dan jalur kedatangan. Yang tertinggal adalah ingatan kolektif tentang tempat di mana orang datang dan pergi, jatuh dan bangkit, berteriak dan berdoa. Terminal Cicaheum Bandung barangkali akan berubah rupa, tetapi kisahnya sudah terlanjur menjadi bagian dari sejarah kota ini, lengket seperti debu di bangku tunggu dan aroma kopi di warung kecil yang pernah berjaya.
