AYOBANDUNG.ID - Kawasan Cibiru yang kini berdiri sebagai gerbang timur Kota Bandung, tampak seperti kawasan urban yang sibuk dan padat. Namun sebelum ada bundaran ramai, bus AKAP yang berdesakan, dan mahasiswa yang mondar-mandir mencari kos murah, wilayah ini pernah menjadi kampung kecil yang namanya saja sudah membawa rasa penasaran. Bukan karena warnanya benar biru, melainkan karena sebuah pohon misterius yang memunculkan air dari akarnya. Cerita itu mengalir seperti sungai kecil di kaki Gunung Manglayang, menyusuri zaman kolonial hingga kehidupan modern yang penuh suara klakson.
Sejak dulu Cibiru seperti anak kampung yang pelan-pelan naik kelas, dari wilayah terpencil menjadi kecamatan resmi, lalu berubah menjadi pusat pendidikan dan lalu lintas. Di balik itu semua, banyak lapisan sejarah yang seru untuk diulik. Inilah perjalanan Cibiru yang diceritakan dengan gaya tempo dulu yang agak jenaka, tetapi tetap berpijak pada fakta dan toponimi yang tercatat dalam berbagai sumber seperti T. Bachtiar dalam Toponimi Susur Galur Nama Tempat di Jawa Barat, peta lama 1811, arsip kolonial tentang Priangan, serta dokumen administratif dari era pasca-kemerdekaan.
Konon, jauh sebelum Cibiru berubah menjadi kecamatan ramai yang dilalui bus kota, angkot, dan motor yang tidak kenal pelan, nama itu sudah terbentuk dari dua kata: Ci yang berarti air, dan Biru yang berasal dari pohon biru atau Ki Biru. Pohon ini bukan sembarang pohon. Akar pohonnya mengeluarkan mata air yang dipakai penduduk untuk kebutuhan harian. Kampung yang tumbuh di sekitar pohon itu pun dinamai Cibiru.
Baca Juga: Hikayat Pangalengan, Kota Teh Kolonial yang jadi Ikon Wisata Bandung Selatan
Catatan ahli toponimi Jawa Barat, Titi Bachtiar, warna biru tidak banyak dipakai di masa lalu. Orang Sunda lama lebih akrab dengan warna hijau. Warna biru pun ketika muncul biasanya punya makna simbolis tertentu, seperti kesucian atau kebersihan. Hal itu membuat nama Cibiru lebih masuk akal jika bersumber dari pohon biru, bukan warna biru.
Pohon biru yang dimaksud adalah Garuga pinnata, seperti dicatat K. Heyne pada 1927. Pohon ini bisa tumbuh tinggi sampai 30 meter, berbatang lurus, dan bagian dalam kayunya menampilkan warna kebiruan yang unik. Kayunya tidak terlalu keras, tetapi punya keunggulan tertentu jika disimpan di bawah atap. Keberadaan pohon biru ini pula yang diyakini memberi nama bagi sejumlah tempat lain seperti Biru, Pasirbiru, dan Kampung Biru di Jawa Barat.
Tapi ada cerita alternatif. Dalam peta 1811 ditemukan nama Cipiru, yang diduga berasal dari pohon piru atau hakur. Hingga kini pohon piru masih bisa ditemukan di beberapa ruas jalan Cibiru. Ada kemungkinan nama Cipiru berubah menjadi Cibiru melalui penyebutan lisan penduduk yang terus bergulir dari generasi ke generasi.
Terlepas dari versi mana pun yang disukai, keduanya sama-sama menunjukkan bahwa Cibiru berakar dari tradisi penamaan Sunda berdasarkan pohon dan sumber air. Sesuatu yang terasa sederhana, tetapi justru itulah yang membuatnya bertahan ratusan tahun.
Sebelum Cibiru dikenal sebagai bagian timur Kota Bandung, ia adalah kawasan kampung yang berada dalam lanskap Priangan. Sejak abad ke 17 VOC sudah menaruh perhatian pada daerah ini karena kesuburan tanahnya. Di masa itu, wilayah sekitar Cibiru sudah terhubung oleh kegiatan perkebunan kecil dan jalur pergerakan antarkampung.
Baca Juga: Sejarah Kopo Bandung, Berawal dari Hikayat Sesepuh hingga Jadi Distrik Ikon Kemacetan
Perubahan besar terjadi pada 1786, ketika dibangun jalur penghubung Batavia, Bogor, Cianjur, Bandung, Sumedang, dan Cirebon. Jalur ini bukan jalan kecil yang hanya dilewati pedagang, melainkan rute penting untuk mobilitas administrasi dan militer.
Kemudian datang masa Daendels, ketika pada 1809 sang gubernur jenderal mendapat tugas membangun infrastruktur pertahanan memanjang dari Anyer ke Panarukan. Jalan Raya Pos yang rampung pada 1810 itu dialihkan ke Bandung, karena jalur utara terlalu berawa. Cibiru berada di jalur itu. Artinya, sejak awal abad ke 19, Cibiru sudah menjadi saksi ribuan kaki, roda pedati, dan pasukan yang lewat.
Pada 1850, Bandung ditunjuk sebagai pusat Residentie Priangan. Pusat pemerintahan pindah dari Cianjur ke Bandung setelah bencana alam menghancurkan kota lama. Ini membuat wilayah sekitarnya, termasuk Cibiru, semakin ramai dan mendapat perhatian pembangunan.
Pada 1882, Cibiru ditetapkan sebagai satu dari empat onderdistrict di Distrik Ujungberung Wetan. Pusat administrasinya kemudian digeser mendekati Jalan Raya Pos, sebab di situlah denyut kehidupan bergerak paling cepat.
Jalur kereta api dari Batavia ke Bandung dibangun pada 1880 dan semakin mempercepat hubungan dagang serta pertumbuhan kota. Bandung berkembang pesat, industri tumbuh, migran Tiongkok berdatangan, dan Cibiru sebagai pintu timur ikut merasakan efek domino pembangunan yang tidak bisa dihindari.
Begitu masuk abad 20, Bandung berubah menjadi kota modern. Gedung pemerintahan dibangun, kawasan permukiman dibuka, dan gagasan pindahnya ibukota Hindia Belanda ke Bandung sempat beredar. Walau rencana itu tidak pernah terjadi, infrastruktur yang dipersiapkan untuknya tetap berdiri dan menjadikan Bandung kota besar. Cibiru mendapat imbasnya sebagai jalur masuk dan keluar kota.
Baca Juga: Jejak Sejarah Ujungberung, Kota Lama dan Kiblat Skena Underground di Timur Bandung
Pada masa pendudukan Jepang dan revolusi kemerdekaan tentu juga menandai perubahan sosial. Walaupun catatan khusus tentang Cibiru tidak banyak, sudah pasti kawasan ini ikut bergejolak sebagai bagian dari Bandung Raya yang mengalami peristiwa Bandung Lautan Api pada 1946.

Setelah memasuki era Indonesia merdeka, nama Cibiru semakin menguat secara administratif. Desa Cibiru menjadi bagian Kecamatan Ujungberung. Beberapa kepala desa memimpin wilayah ini sebelum adanya pemekaran pada 1984 yang menghasilkan Desa Cibiru Kulon dan Cibiru Wetan.
Perubahan besar terjadi pada 1987 melalui PP Nomor 16 yang mengatur batas wilayah antara Kota Bandung dan Kabupaten Bandung. Dalam regulasi itulah Cibiru resmi menjadi kecamatan di wilayah Kota Bandung. Desa Cibiru Kulon berubah menjadi Kelurahan Pasir Biru, masuk dalam struktur administratif Kota Bandung. Kecamatan Cibiru kemudian meliputi enam kelurahan yang kita kenal sekarang: Pasir Biru, Cipadung, Palasari, Cisurupan, dan Kebon Kangkung.
Ketinggian wilayahnya yang berada antara 681 hingga 761 meter membuat Cibiru memiliki iklim yang sejuk, sesuatu yang masih menjadi daya tarik bagi pendatang. Tidak berlebihan jika dikatakan Cibiru adalah pintu timur Bandung, sebab posisi geografisnya membuat setiap orang dari arah timur pasti melintas di wilayah ini sebelum masuk ke pusat kota.
Baca Juga: Sejarah Cicalengka, Gudang Kopi Kompeni dengan Sejuta Cerita di Ujung Timur Bandung
Salah satu bab paling penting dalam sejarah Cibiru adalah lahirnya pusat pendidikan tinggi Islam. Pada 1960-an, para ulama dan tokoh masyarakat Jawa Barat memperjuangkan berdirinya Institut Agama Islam Negeri. Hasilnya, IAIN Sunan Gunung Djati berdiri pada 1968. Beberapa fakultas awal dibuka di Bandung dan Garut.
Pada awal 1970-an, kampus berpindah beberapa kali sebelum akhirnya menetap di Jalan Cipadung, yang kini dikenal sebagai Jalan A.H. Nasution. Lokasi ini berada di wilayah Cibiru. Sejak saat itu, wajah Cibiru berubah. Warung kopi muncul di pinggir jalan, toko fotokopi lahir bak jamur, dan kos-kosan tumbuh seperti lumbung padi di musim panen.
Pada 1990-an, fakultas-fakultas baru ditambahkan, termasuk Fakultas Dakwah dan Fakultas Adab. Program pascasarjana juga dibuka. Cibiru semakin ramai oleh mahasiswa dari berbagai daerah di Indonesia. Jika pada 1970-an angkot menjadi raja jalanan, kini ojek dan ojek daring menjadi bintang baru di sekitar kampus.
Salah satu transformasi paling monumental terjadi pada 2005 ketika IAIN Sunan Gunung Djati resmi berubah menjadi Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung. Perubahan status ini membuat kampus memperluas cakupan akademiknya, menghadirkan berbagai fakultas baru di bidang sains, sosial, dan teknologi. Kawasan Cibiru pun semakin mengental identitasnya sebagai kawasan pendidikan.
Baca Juga: Sejarah Bandung dari Kinderkerkhof sampai Parijs van Java
Selain UIN, ada juga UPI Kampus Cibiru yang berdiri secara resmi sebagai bagian dari UPI pada tahun 2002. Walau berdiri tahun 2000-an, cikal bakalnya sudah ada dari dari Sekolah Pendidikan Guru (SPG/SGO) yang asetnya diserahkan ke UPI (IKIP Bandung) pada tahun 1990, menjadi cikal bakal program studi seperti PGSD. Kehadiran kampus membuat Cibiru berubah cepat. Warung makan tumbuh, kos-kosan dibangun, jalan semakin padat, dan ekonomi kawasan meningkat.
Tidak hanya UPI, kampus lain di sekitarnya juga mempengaruhi perkembangan urban Bandung Timur. Arus mahasiswa, dosen, pegawai, dan aktivitas akademik membuat Cibiru tidak lagi sekadar pintu masuk Bandung, tetapi juga pusat keramaian baru yang punya identitas sendiri.
Kini Cibiru menjadi perpaduan menarik antara sejarah panjang, tradisi Sunda, peninggalan kolonial, dan dinamika urban modern. Jalan Raya Pos masih menjadi jalur utama. Cerita tentang pohon biru masih dikenang. Kawasan pendidikan tumbuh pesat. Permukiman terus melebar. Semua unsur itu membuat Cibiru bukan sekadar wilayah di timur Bandung, tetapi bagian dari denyut nadi kota yang terus bergerak.
