AYOBANDUNG.ID - Pada pagi 10 September 1884, kereta khusus yang membawa Residen Priangan berhenti dengan anggun di sebuah titik yang saat itu masih asing bagi sebagian pejabat kolonial. Gerbong berkayu itu membuka pintunya, para tetamu turun sambil mengibaskan mantel mereka, dan mendapati sebuah stasiun mungil yang sudah berdandan habis-habisan dengan bunga dan bendera.
Hari itu, Cicalengka resmi masuk peta kereta api Priangan sebagai pemberhentian kelima. Di balik seremonial kecil yang wangi karangan bunga itu, terselip sejarah panjang tentang tanah yang lebih tua daripada rel-rel besi yang baru dipasang beberapa hari sebelumnya. Bahkan sebelum kereta api memutuskan mampir, Cicalengka sudah sibuk melayani VOC.
Orang-orang Priangan zaman dulu belum mengenal istilah branding, tetapi tanah Cicalengka sudah lebih dulu memasarkan dirinya sebagai kawasan yang subur dan cocok untuk tanaman yang membuat Belanda tergila-gila: kopi. Sebelum Kabupaten Bandung terbentuk, sebelum jalanan penuh motor dua-tak, Cicalengka hanyalah bagian dari Tatar Ukur. Ketika Ukur runtuh dan reorganisasi besar terjadi antara 1633-1641, wilayah itu sempat masuk Kabupaten Parakanmuncang.
Setelah Inggris mengambil alih Jawa sejenak dan Thomas Stamford Raffles membubarkan Parakanmuncang pada 1813, Cicalengka pun dimasukkan ke Kabupaten Bandung. Ada kalanya sejarah bekerja seperti pegawai kecamatan yang rajin memindahkan berkas antar-meja, dan Cicalengka termasuk salah satu berkas yang paling sering dipindah.
Baca Juga: Hikayat Cileunyi, Kampung Sunyi yang jadi Kawasan Sibuk di Bandung Timur
Tanah subur di kaki Gunung Manglayang membuat Cicalengka jadi tempat ideal bagi tanaman kopi. VOC, yang hatinya selalu berdebar setiap melihat potensi keuntungan, menetapkan sistem Preangerstelsel pada 1706. Sistem ini memaksa penduduk menanam kopi demi kejayaan perusahaan dagang yang sok tampak resmi padahal lebih mirip korporasi rakus zaman sekarang. Dalam satu peta abad ke-19, tercatat sebuah gudang kopi di Ciayunan, diapit tiga desa: Cicalengka Wetan, Babakan Peuteuy, dan Cicalengka Kulon.
Dari gudang ini, kopi naik pedati kerbau ke Karangsambung di Sumedang, kemudian menuju pelabuhan di utara. Perjalanan panjang biji-biji kopi ini mungkin tak sepanas obrolan warkop hari ini, tetapi sama-sama memindahkan sesuatu yang membuat orang terjaga.
Ketika Reorganisasi Priangan digulirkan pada 1871, Cicalengka mendapat status baru sebagai afdeeling. Artinya, pejabat Belanda sekelas asisten residen ditempatkan di sini, mendampingi bupati Bandung. Gelar patih mandiri pun muncul antara 1871-1901. Pada masa inilah Cicalengka menjadi semacam kantor cabang kolonial dengan hirarki lengkap, lengkap dengan tempat tinggal pegawai-pegawai penting yang rajin mengurus administrasi sekaligus hidup nyaman di rumah-rumah Indische.
Di salah satu rumah kepatihan itu, sejarah Indonesia diam-diam sedang disusun oleh seorang gadis kecil yang kelak menjadi tokoh besar. Dewi Sartika, setelah ayahnya wafat, diasuh oleh pamannya yang menjadi patih di Cicalengka. Ia tinggal di kompleks kepatihan antara 1894-1902. Di usia sekitar sepuluh tahun, ia sudah membuat heboh: anak-anak pembantu kepatihan tiba-tiba bisa baca-tulis dan mengucapkan beberapa kata Belanda.
Di masa itu, kemampuan seperti itu terlalu mewah bagi sebagian besar anak bumiputera. Namun seorang anak perempuan mampu mengajarkannya. Cicalengka mungkin tak menyangka sedang menjadi tempat tumbuhnya embrio pendidikan perempuan pribumi.
Baca Juga: Sejarah Dago, Hutan Bandung yang Berubah jadi Kawasan Elit Belanda Era Kolonial
Kompleks kepatihan yang kemudian berubah menjadi SMPN 1 Cicalengka pernah dihuni patih-patih ternama seperti Demang Wiradi Koesoema dan Aria Soeria Karta Adiningrat. Kelak di kompleks yang sama berdiri sekolah Eropa bernama Europeesche Lagere School. Dari sinilah lahir tokoh besar seperti Djuanda dan Umar Wirahadikusumah, yang masa depannya mungkin belum terbayang ketika mereka masih berlari-lari kecil di halaman sekolah itu.
Revolusi Kereta dan Bara Perang
Setelah peresmian stasiun 1884, jalur Cicalengka-Garut mulai dibangun pada 1887. Proyek dibagi dua seksi, sepanjang 20 kilometer untuk Cicalengka-Leles dan 30 kilometer lebih untuk Leles-Garut. Rel-rel itu bukan sekadar besi yang ditanam, tetapi garis yang menghubungkan Cicalengka dengan dunia yang lebih luas.
Catatan laporan transportasi kolonial pada 1923, sekitar 430.000 penumpang menggunakan Stasiun Cicalengka. Angka itu meningkat ratusan kali lipat dari awal pembukaan stasiun. Stasiun menjadi tempat lalu-lalang manusia yang mencari nafkah, menjemput harapan, atau sekadar ingin tahu seperti apa rasanya naik kereta buat pertama kali.

Di sinilah jejak Soekarno pernah tertinggal. Pada 1929, ketika ia ditangkap di Yogyakarta dan akan dibawa ke Bandung, pemerintah kolonial memutuskan menurunkannya diam-diam di Stasiun Cicalengka. Alasannya sederhana: mencegah kerumunan massa di Stasiun Bandung. Dari Cicalengka, Soekarno dibawa dengan mobil ke Banceuy. Sejarah besar kadang melewati jalur tikus, dan Cicalengka kebetulan mendapat kehormatan menjadi pintu kecil itu.
Ketika proklamasi kemerdekaan berkumandang pada 17 Agustus 1945, Cicalengka langsung bersiap. Kawedanan Cicalengka membentuk Badan Keamanan Rakyat, dan seorang pemuda bernama Umar Wirahadikusumah memulai karier militernya di sini. Ia membentuk TKR Cicalengka dan memimpin pelucutan senjata pasukan Jepang. Orang-orang muda Cicalengka waktu itu mungkin masih bingung membedakan bau mesiu dan bau getah karet, tetapi mereka tahu satu hal: Republik perlu bertahan.
Saat Agresi Militer Belanda I meletus pada 1947, Cicalengka menjadi salah satu jalur strategis. Wilayah timur Bandung ditembus Divisi B dan Divisi C Belanda. Sebagai perbatasan kawasan yang diduduki musuh, Cicalengka menjadi medan lalu-lalang pasukan, tempat informasi bergerak cepat, dan ruang di mana ketegangan menebal seperti kabut pagi di kaki Manglayang.
Baca Juga: Hikayat Cileunyi, Kampung Sunyi yang jadi Kawasan Sibuk di Bandung Timur
Jejak arsitektur kolonial masih tersisa di beberapa sudut Cicalengka. Masjid Besar di alun-alun, diperkirakan berdiri pada abad ke-19, berdiri berdampingan dengan bekas bangunan HIS yang kemudian menjadi SDN Cicalengka VIII. Dulu, alun-alun menjadi panggung ritual kekuasaan, tempat bupati turun pangkat menjumpai rakyat, dan kini berubah menjadi titik di mana tenda jajanan berdesakan saat akhir pekan.
Sayangnya, banyak bangunan tua itu perlahan surut dari ingatan publik. Rumah Indische yang dulu tinggi langit-langitnya kini sering tak dikenali lagi setelah dipasangi papan reklame atau dicat dengan warna yang membuat arsitek kolonial mungkin terbangun di alam kuburnya.
Pada 2024, bangunan lama Stasiun Cicalengka akhirnya dibongkar untuk proyek jalur ganda. Komunitas Lingkar Literasi Cicalengka melakukan petisi dengan dua ribu tanda tangan, tetapi bangunan berusia 140 tahun itu tetap rata dengan tanah pada akhir Agustus 2024. Bagi mereka yang peduli sejarah, peristiwa itu seperti kehilangan album foto keluarga yang baru saja ditemukan kembali tapi langsung terbakar tanpa sempat diselamatkan. Apalagi hingga kini belum ada pendataan serius tentang benda cagar budaya di Cicalengka.
Cicalengka kini menjadi salah satu kecamatan paling sibuk di Kabupaten Bandung. Berjarak 34 kilometer dari pusat Kota Bandung, stasiunnya tetap riuh, terutama pagi dan sore ketika para pekerja, pelajar, serta mahasiswa hilir mudik. Jalur komuter membuat Cicalengka terasa dekat dengan kota, meski denyut hidupnya tetap punya warna sendiri.
Baca Juga: Hikayat Pangalengan, Kota Teh Kolonial yang jadi Ikon Wisata Bandung Selatan
Di pasar, orang masih berteriak soal harga cabai, di pinggir jalan ojek masih bersiul melihat calon pelanggan, dan di sudut alun-alun anak-anak sekolah menunggu angkot sambil menatap layar ponsel.
Di balik keseharian itu, Cicalengka sesungguhnya adalah museum terbuka yang papan keterangannya mulai memudar. Cicalengka memiliki masa lalu yang cukup bertenaga untuk dijadikan bahan tiga novel, drama panggung, atau satu seri dokumenter panjang. Tetapi masa lalu itu perlahan tertutup oleh papan reklame, toko minimarket yang gemar menggusur bangunan lama, dan keputusan proyek yang buru-buru. Setiap kali bangunan bersejarah tak terselamatkan, sepotong memori publik ikut hilang.
