Sejarah Bandung dari Kinderkerkhof sampai Parijs van Java

Hengky Sulaksono
Ditulis oleh Hengky Sulaksono diterbitkan Kamis 18 Sep 2025, 13:18 WIB
Lukisan Situ Patenggang Ciwidey di Kabupaten Bandung karya Franz Wilhelm Junghuhn tahun 1856. (Sumber: Wikimedia)

Lukisan Situ Patenggang Ciwidey di Kabupaten Bandung karya Franz Wilhelm Junghuhn tahun 1856. (Sumber: Wikimedia)

AYOBANDUNG.ID - Di Bandung bagian utara, dulu ada sebidang tanah yang lebih sering jadi bisik-bisik daripada cerita resmi. Namanya Kinderkerkhof. Orang Belanda menyebut begitu karena memang isinya makam anak-anak mereka sendiri. Jangankan jadi kota besar, Bandung di awal abad ke-19 masih lebih mirip kampung udik.

Jalanan becek, rumah penduduk seadanya, dan udara sejuk yang ternyata tak cukup menolong bayi-bayi kulit putih agar bisa panjang umur. Jadi jangan bayangkan sejak awal Bandung penuh kembang dan kafe. Awalnya, kota ini malah lebih akrab dengan suara tangisan orang tua Eropa yang kehilangan buah hatinya.

Dalam Sejarah Kota Bandung dari “Bergdessa” (Desa Udik) Menjadi Bandung “Heurin Ku Tangtung” (Metropolitan), Peneliti Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung, Nandang Rusnandar mengutip sejumlah risalah kolonial yang menyinggung nasib malang anak-anak Belanda di Priangan.

Penyakit tropis yang tak kenal ampun—malaria, disentri, demam berdarah—lebih lihai merenggut nyawa ketimbang dokter-dokter yang dibawa dari negeri jauh. Alhasil, kuburan kecil itu jadi bukti nyata kalau tinggal di tanah jajahan tak selalu enak. Orang Belanda boleh punya gedung-gedung bagus, tapi anak-anak mereka tetap saja tak jarang harus lebih cepat masuk tanah.

Bandung sendiri waktu itu belum disebut kota. Orang menyebutnya bergdessa, artinya desa udik. Letaknya memang strategis, diapit sungai dan dikelilingi tanah subur. Tapi lebih banyak orang lewat daripada menetap. Jalan utamanya pun bukan jalan raya yang mulus, melainkan tanah merah yang bikin kaki kotor. Baru setelah Herman Willem Daendels membangun Groote Postweg pada 1810, segalanya berubah. Jalan raya raksasa itu membelah Jawa dari Anyer sampai Panarukan, melewati Priangan, termasuk Bandung. Sejak itulah perhatian pemerintah kolonial lebih serius menoleh ke daerah ini.

Baca Juga: Sejarah Bandung, Kota Impian Koloni Eropa yang Dijegal Gubernur Jenderal

Bupati Bandung kala itu, Wiranatakusumah II, kebagian tugas memindahkan pusat kabupaten dari Dayeuhkolot ke lokasi baru yang dekat dengan jalur Postweg. Perintah datang, maka pindah. Dari sinilah berdiri Bandung yang baru, dengan alun-alun, pendopo, dan masjid agung yang jadi pakem tata kota Jawa. Cikal bakal kota lahir, walau bau anyir tanah kuburan anak-anak Belanda belum hilang juga dari angin utara.

Dia menyinggung dalam catatan risalah Belanda, orang Eropa yang datang awalnya kepincut Bandung karena udaranya sejuk. Mereka berharap hidup lebih nyaman dibanding Batavia yang pengap dan penuh malaria. Nyatanya, Bandung pun tidak ramah untuk semua. Anak-anak mereka tetap berjatuhan. Di sinilah psikologi kota mulai terbentuk: Bandung indah, tapi diam-diam menyimpan tragedi. Orang Eropa tetap betah karena dibanding Batavia, Bandung terasa lebih ringan. Setidaknya orang dewasa bisa bertahan hidup lebih lama.

Seiring waktu, kota ini mulai ditata rapi. Jalan-jalan lurus dibuka, rumah-rumah Belanda dibangun agak berjauhan dari kampung pribumi. Konsep tata ruang ala kolonial menempatkan alun-alun di tengah, diapit pendopo dan masjid agung. Itu sebabnya sampai sekarang kalau orang cari pusat Bandung, pasti ketemunya alun-alun di depan Masjid Raya. Dari situlah segala hiruk-pikuk menyebar.

Suasana di sekitar Sociëteit Concordia (Gedung Merdeka) tahun 1935. (Sumber: KITLV)
Suasana di sekitar Sociëteit Concordia (Gedung Merdeka) tahun 1935. (Sumber: KITLV)

Kawasan Braga, yang belakangan disebut-sebut sebagai simbol “Parijs van Java”, awalnya tak lebih dari jalan kampung yang becek. Nandang mengutip catatan bagaimana jalan itu pelan-pelan berubah setelah pedagang Eropa mendirikan toko-toko, restoran, sampai kafe. Kalau dulu anak-anak Belanda ramai di pemakaman kecil, kini mereka yang selamat bisa tumbuh besar dan nongkrong di Braga, sambil minum kopi atau belanja. Perubahan itu menunjukkan bagaimana kota yang awalnya dikenal lewat kuburan kecil bisa berganti wajah jadi tempat hiburan.

Kendati begitu, bayangan Kinderkerkhof tak hilang begitu saja. Kota ini tumbuh bersama kenangan pahit itu. Gedung-gedung kolonial berdiri megah, tapi di baliknya ada trauma yang jarang diceritakan. Itulah sebabnya Bandung tidak pernah benar-benar polos. Di satu sisi ia cantik, di sisi lain ada lapisan muram yang jadi fondasi.

Baca Juga: Sejarah Bandung dari Paradise in Exile Sampai jadi Kota Impian Daendels

Saat memasuki abad ke-20, Bandung makin mantap jadi kota orang Eropa. Jalur kereta api dari Batavia ke Bandung dibuka, dan itu menambah citra Bandung sebagai tempat liburan sekaligus hunian favorit orang Belanda. Braga makin ramai, toko-toko mode berjejer, bioskop berdiri. Tak salah kalau kemudian muncul julukan “Parijs van Java”. Di sepanjang Braga, orang bisa melihat perempuan Belanda berjalan dengan gaun, lelaki berkepala topi fedora, sambil mampir ke toko roti.

Gedung-gedung art deco muncul di mana-mana. Gedung Merdeka yang dulu jadi Societeit Concordia, Savoy Homann, sampai Villa Isola—semua menjadi saksi bagaimana Bandung jadi panggung gaya hidup Eropa di tanah jajahan. Kalau mau cari kota yang paling “Eropa” di Hindia Belanda, jawabannya bukan Batavia, melainkan Bandung.

Tapi lagi-lagi, ingatan soal kuburan anak-anak tetap ada. Orang boleh menyebut Braga sebagai miniatur Paris, tapi sejarah mencatat bahwa kota ini lahir bersama kuburan. Kontradiksi itu membuat Bandung berbeda: ia tak hanya hasil rekayasa tata kota kolonial, tapi juga hasil kompromi antara penyakit, udara, dan nasib buruk yang dialami para pendatang.

Disebutkan Nandang dalam risalahnya menyusun cerita Bandung seperti perjalanan panjang dari bergdessa hingga heurin ku tangtung. Dari desa udik yang jadi perlintasan, lalu jadi kota kabupaten, kemudian naik kelas jadi kota Eropa dengan segala simbol kemewahannya. Lalu pada akhirnya menjadi kota besar yang penuh sesak. Semua itu berawal dari masa ketika anak-anak Belanda lebih dulu masuk liang kubur sebelum sempat merayakan hidup di tanah Priangan.

Baca Juga: Sejarah Julukan Garut Swiss van Java, Benarkah dari Charlie Chaplin?

Bandung pada masa kolonial memang punya wajah ganda. Di satu sisi, ia jadi pusat hiburan, kota mode, dan simbol modernitas. Di sisi lain, ia menyimpan jejak tragis yang tak tercatat di brosur wisata. Kota yang dipuja dengan julukan manis ternyata pernah dikenal lewat kuburan anak-anak.

Begitulah Bandung: lahir dari sebuah desa udik, dibentuk oleh tangan penguasa kolonial, dibalut dengan gemerlap Eropa, dan dibayang-bayangi nisan kecil di utara kota. Sejarahnya tak melulu soal Braga yang glamor, tapi juga soal tanah becek yang dipenuhi air mata. Dari situlah Bandung tumbuh, sampai akhirnya jadi kota yang dikenal dengan segala julukannya: Kinderkerkhof di awal, lalu Parijs van Java ketika sudah dewasa.

Artikel Rekomendasi Untuk Anda

Nilai artikel ini
Klik bintang untuk menilai

News Update

Ayo Netizen 12 Nov 2025, 11:44 WIB

West Java Festival, Konser Musik atau Acara Budaya?

West Java Festival 2025 tak lagi sekadar konser. Mengusung tema 'Gapura Panca Waluya'.
West Java Festival 2025 (Foto: Demas Reyhan Adritama)
Ayo Netizen 12 Nov 2025, 11:06 WIB

Burayot, Camilan Legit Khas Priangan yang Tersimpan Rahasia Kuliner Sunda

Bagi orang Sunda, burayot bukan sekadar pengisi perut. Ia adalah bagian dari kehidupan sosial.
Burayot. (Foto: Dok. Ayobandung.com)
Ayo Netizen 12 Nov 2025, 10:45 WIB

Tak Pernah Takut Coba Hal Baru: Saskia Nuraini Sang Pemborong 3 Piala Nasional

Saskia Nuraini An Nazwa adalah siswi berprestasi tingkat Nasional yang menginspirasi banyak temannya dengan kata-kata.
Saskia Nuraini An Nazwa, Juara 2 lomba Baca Puisi, Juara 3 lomba unjuk bakat, juara terbaik lomba menulis puisi tingkat SMA/SMK tingkat Nasional oleh Lomba Seni sastra Indonesia dengan Tema BEBAS Jakarta. (Sumber: SMK Bakti Nusantara 666)
Ayo Netizen 12 Nov 2025, 10:24 WIB

Bandung Macet, Udara Sesak: Bahaya Asap Kendaraan yang Kian Mengancam

Bandung yang dulu dikenal sejuk kini semakin diselimuti kabut polusi.
Kemacetan bukan sekadar gangguan lalu lintas, tapi cerminan tata kelola kota yang belum sepenuhnya adaptif terhadap lonjakan urbanisasi dan perubahan perilaku mobilitas warganya. (Sumber: Ayobandung.id)
Ayo Netizen 12 Nov 2025, 09:47 WIB

Ketika Integritas Diuji

Refleksi moral atas pemeriksaan Wakil Wali Kota Bandung.
Wakil Wali Kota Bandung, Erwin. (Sumber: Pemprov Jabar)
Ayo Netizen 12 Nov 2025, 09:36 WIB

Perpaduan Kenyal dan Lembut dari Donat Moci Viral di Bandung

Setiap gigitan Mave Douchi terasa lembut, manisnya tidak giung, tapi tetap memanjakan lidah.
Donat mochi lembut khas Mave Douchi dengan tekstur kenyal yang jadi favorit pelanggan (Foto: Zahwa Rizkiana)
Ayo Jelajah 12 Nov 2025, 08:39 WIB

Sejarah Letusan Krakatau 1883, Kiamat Kecil yang Guncang Iklim Bumi

Sejarah letusan Krakatau 1883 yang menewaskan puluhan ribu jiwa, mengubah iklim global, dan menorehkan bab baru sejarah bumi.
Erupsi Gunung Krakatau 1883. (Sumber: Dea Picture Library)
Ayo Biz 11 Nov 2025, 21:04 WIB

Mama Inspiratif dan Perjuangan Kolektif Mengembalikan Sentuhan Nyata dalam Pengasuhan

Tak sedikit orang tua yang merasa gamang menghadapi kenyataan bahwa anak-anak kini tumbuh dalam dunia yang tak bisa lepas dari layar.
Ilustrasi. Tak sedikit orang tua yang merasa gamang menghadapi kenyataan bahwa anak-anak kini tumbuh dalam dunia yang tak bisa lepas dari layar. (Foto: Freepik)
Ayo Biz 11 Nov 2025, 18:39 WIB

Dari Studio Kecil hingga Panggung Nasional, Bandung Bangkit Lewat Nada yang Tak Pernah Padam

Bandung bukan hanya kota dengan udara sejuk dan arsitektur kolonial yang memesona tapi juga 'rahim' dari gelombang musik yang membentuk identitas Indonesia sejak era 1960-an.
Bandung bukan hanya kota dengan udara sejuk dan arsitektur kolonial yang memesona tapi juga 'rahim' dari gelombang musik yang membentuk identitas Indonesia sejak era 1960-an. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Kavin Faza)
Ayo Jelajah 11 Nov 2025, 17:22 WIB

Hikayat Buahbatu, Gerbang Kunci Penghubung Bandung Selatan dan Utara

Pernah jadi simpul logistik kolonial dan medan tempur revolusi, Buahbatu kini menjelma gerbang vital Bandung Raya.
Suasana Buahbatu zaman baheula. (Sumber: Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Daerah Pemerintah Provinsi Jawa Barat)
Ayo Biz 11 Nov 2025, 17:00 WIB

Proyeksi Ekonomi Jawa Barat 2025: Menakar Potensi dan Risiko Struktural

Pertumbuhan ekonomi Jawa Barat tahun 2025 diproyeksikan tetap solid, meski dibayangi oleh dinamika global dan tantangan struktural domestik.
Pertumbuhan ekonomi Jawa Barat tahun 2025 diproyeksikan tetap solid, meski dibayangi oleh dinamika global dan tantangan struktural domestik. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Irfan Al-Faritsi)
Ayo Netizen 11 Nov 2025, 15:20 WIB

Bakmi Tjo Kin Braga Jadi Ikon Kuliner yang Tak Lekang Waktu

Sejak 1920 Bakmi Tjo Kin telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kuliner Bandung, sebuah warung tua yang bernuansa klasik ini terletak di Jalan Braga No. 20
Tampak Depan Warung Bakmi Tjo Kin (Foto: Desy Windayani Budi Artik)
Ayo Netizen 11 Nov 2025, 14:38 WIB

Bandung, Antara Heritage dan Hype

Bangunan heritage makin estetik, tapi maknanya makin pudar. Budaya Sunda tersisih di tengah tren kafe dan glamping.
Salah satu gedung terbengkalai di pusat Kota Bandung. (Sumber: Pexels/Muhamad Firdaus)
Ayo Netizen 11 Nov 2025, 14:21 WIB

Mengintip Cara Pengobatan Hikmah Therapy yang 'Nyentrik' di Bandung

Praktik pijat organ dalam di Bandung yang memadukan sentuhan, doa, dan ramuan herbal sebagai jalan pemulihan tubuh dan hati.
Ibu Mumut berada di ruang depan tempat praktik Hikmah Therapy. (Sumber: Dokumentasi Pribadi | Foto: Fira Amarin)
Ayo Netizen 11 Nov 2025, 14:00 WIB

Potret Inspiratif Cipadung Kidul dari Sales Keliling hingga Kepala Seksi Kelurahan

Budi Angga Mulya, Kepala Seksi Pemerintahan Cipadung Kidul, memaknai pekerjaannya sebagai bentuk pengabdian.
Kepala Seksi Pemerintah Kelurahan Cipadung Kidul, Budi Angga Mulya (Foto: Zahwa Rizkiana)
Ayo Netizen 11 Nov 2025, 13:05 WIB

Menapak Jejak Pandemi dalam Galeri Arsip Covid-19 Dispusipda Jawa Barat

Dispusipda Jawa Barat menghadirkan Galeri Arsip Covid-19 sebagai ruang refleksi dan edukasi bagi masyarakat.
Koleksi Manekin Alat Pelindung Diri (APD) dikenal dengan nama baju Hazmat yang mengenakan tenaga kesehatan dalam menangani Covid 19 (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Fereel Muhamad Irsyad A)
Ayo Netizen 11 Nov 2025, 11:25 WIB

ASN Frugal Living, Jalan Selamat ASN dari Jerat Cicilan dan Inflasi?

Dengan frugal living, ASN dapat menjaga integritas dan stabilitas keuanganny
Ilustrasi ASN. (Sumber: Pexels/Junior Developer)
Ayo Netizen 11 Nov 2025, 10:41 WIB

Goyobod Legendaris Harga Kaki Lima Kualitasnya Bintang Lima

Goyobod Nandi sudah berjualan sejak 1997 yang tetap bertahan hingga sekarang.
Ilustrasi es goyobod. (Sumber: Wikimedia Commons | Foto: Afrogindahood)
Ayo Netizen 11 Nov 2025, 09:47 WIB

Bandung Lautan Macet Saat Liburan Akhir Pekan

Bandung yang sering dielu-elukan karena memiliki beberapa spot yang bisa mendatangkan ketenangan.
Sejumlah kendaraan terjebak kemacetan di Jembatan Layang Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, Kota Bandung, Jumat 19 September 2025. (Sumber: ayobandung.id | Foto: Irfan Al-Faritsi)