AYOBANDUNG.ID -- Sebuah komunitas bisa lahir dari hal sederhana, yakni lewat kecintaan yang tulus dan keinginan untuk berbagi. Begitulah Komunitas Semut Foto (KSF) memulai langkahnya. Bukan dari panggung besar, melainkan dari ruang kecil yang dipenuhi semangat belajar bersama.
Pada 29 Juni 2012, dua sahabat bernama Nugraha dan Rivan memutuskan untuk membentuk wadah yang bisa menampung siapa saja yang ingin mengenal dunia fotografi. Tanpa batas usia, tanpa syarat keanggotaan, dan tanpa biaya, KSF berdiri sebagai ruang inklusif yang merayakan keberagaman dalam seni visual.
“Asal muasal kita mendirikan komunitas ini karena saya dan pak Rivan senang fotografi dan ingin berbagi ilmu dengan siapapun yang seneng fotografi untuk sama-sama kita belajar bareng,” ujar Nugraha saat berbincang dengan Ayobandung.
Berbasis di Bandung, kota yang dikenal sebagai pusatnya industri kreatif, KSF tumbuh menjadi komunitas yang tak hanya mengajarkan teknik fotografi, tetapi juga membangun koneksi antarmanusia.
Dari anak usia 10 tahun hingga lansia berumur 84 tahun, semua diterima sebagai bagian dari keluarga besar Semut Foto. Filosofi mereka sederhana, di mana fotografi adalah milik semua orang.
Di tengah banyaknya komunitas fotografi yang bermunculan, KSF memilih jalur edukatif yang konsisten. Mereka rutin menggelar pelatihan gratis, terbuka untuk umum, dan tidak memungut iuran. Pendekatan ini menjadikan KSF sebagai ruang aman bagi pemula maupun fotografer berpengalaman.
“Intinya kita ingin berbagi pembelajaran fotografi untuk semua dan bisa belajar bersama,” jelas Nugraha.
Selama lebih dari satu dekade, KSF telah menyatukan ratusan anggota dari berbagai daerah di Indonesia, bahkan luar negeri. Mereka membentuk tujuh divisi fotografi yang mencerminkan keragaman minat dan gaya visual dari model & makeup wedding artist, makro, landscape, bunga, abstrak, foto jurnalistik, dan food photography. Setiap divisi memiliki agenda pelatihan dan eksplorasi tersendiri.

Meski berstatus nirlaba dan bergerak secara swadaya, KSF tak lepas dari tantangan finansial. Kegiatan hunting foto ke luar daerah sering kali terkendala dana.
“Memang belum banyak daerah luar Bandung yang kita eksplor karena kita terkendala biaya agenda. Soalnya kita mempertimbangkan budget kalau hunting ke luar pasti membutuhkan dana yang cukup besar,” ujar Nugraha.
Namun, keterbatasan ini justru mendorong KSF untuk memaksimalkan potensi lokal. Mereka rutin mengadakan pelatihan dan hunting di berbagai sudut Bandung, dari pasar tradisional hingga lanskap alam, dengan pendekatan yang mendalam dan tematik.
Hasilnya, anggota tak hanya belajar teknik fotografi, tetapi juga memahami konteks sosial dan budaya dari objek yang mereka bidik.
Dari sisi bisnis, KSF menjadi katalis bagi para anggotanya yang ingin menjadikan fotografi sebagai sumber penghasilan.
Beberapa alumni komunitas kini berkarier sebagai fotografer profesional, wedding artist, hingga content creator. KSF membuka peluang kolaborasi dengan brand lokal, UMKM, dan media untuk proyek visual yang berdampak.
Dalam beberapa tahun terakhir, KSF mulai merancang program mentoring dan showcase karya anggota sebagai bentuk apresiasi dan promosi. Komunitas ini telah menunjukkan potensi ekonomi kreatif yang bisa dikembangkan lebih jauh melalui strategi monetisasi dan kemitraan.
Di era digital yang serba cepat, KSF juga menghadapi tantangan adaptasi teknologi. Mereka mulai mengintegrasikan platform media sosial dan aplikasi editing untuk mendukung pembelajaran daring. Namun, esensi komunitas tetap dijaga, di mana interaksi langsung, diskusi terbuka, dan semangat gotong royong.
Dengan semangat semut yang tak kenal lelah, komunitas ini terus merangkak, menjelajah, dan membangun jejak visual yang tak hanya indah dipandang, tetapi juga bermakna.
“Member KSF itu secara keseluruhan ada ratusan orang, tersebar dari member yang tinggal di luar negeri, Ambon, sampai Papua juga ada,” pungkas Nugraha.
Alternatif produk kebutuhan fotografi atau UMKM serupa: