Sebagai bangsa yang merdeka, Indonesia sudah memiliki 3 unsur dari suatu negara yaitu wilayah, pemerintahan, dan juga rakyat. Masyarakat dalam suatu negara memerlukan pemerintahan yang berdaulat untuk bisa mengatur dan mewujudkan keteraturan dalam kehidupan bermasyarakat. Keteraturan dalam masyarakat tidak terlepas dari yang namanya kinerja suatu pemerintahan.
Namun, sering kali ada pengaruh buruk dalam jalannya suatu pemerintahan yang dikenal dengan istilah deformasi kekuasaan. Menurut artikel Kompas yang ditulis oleh Farhan Abdul pada tahun 2024, Deformasi kekuasaan adalah penyimpangan kekuasaan yang berubah menjadi menjadi alat untuk kepentingan pribadi, kelompok, atau pihak tertentu.
Deformasi kekuasaan bukan lagi menjadi mimpi buruk , melainkan suatu kenyataan dalam kehidupan bernegara. Dengan menggunakan kacamata masyarakat, kita bisa mengambil salah satu contoh dari jalannya pemerintahan di Indonesia.
Sering kali kita mengenal istilah politik balas budi, politik dinasti, dan politik popularitas sebagai wujud dari penyimpangan tersebut. Indonesia sangat terikat dengan yang namanya popularitas dan kepentingan pribadi dalam menduduki posisi pemerintahan. Dengan tujuan seperti itu, seringkali kita melihat Pemerintah Indonesia tidak bisa mewujudkan kinerja optimal dalam menyelenggarakan Kesejahteraan Rakyat .
Fenomena seperti politik balas budi, politik dinasti, politik popularitas dan berbagai macam politik sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat . Politik sudah dipandang sebagai kepentingan kelompok tertentu yang dekat dengan kekuasaan. Melalui opini yang dikemukakan oleh Dr. Lusi Andriyani, sebagai Ketua program Studi Magister Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) pada tahun 2023, kita bisa melihat salah satu contoh dimana politik dinasti yang lebih mementingkan kepentingan kelompoknya daripada kepentingan bersama.
Akibatnya, kita bisa melihat kondisi nyatanya sekarang dimana benih-benih kekecewaan masyarakat tumbuh semakin besar seiring hilangnya kepercayaan terhadap jajaran pemerintahan yang tidak kunjung mewujudkan cita-cita masyarakat yang adil. Masyarakat mulai bertanya-tanya, dimanakah bukti nyata akan keadilan sejati yang dikoar-koarkan oleh pemerintah ketika mereka berbicara di depan publik.
Pengabaian Aspirasi Publik
Seperti yang dinyatakan sebelumnya, pemerintah kita memang seringkali diisi oleh pihak-pihak yang hanya berputar di dalam setiap pejabat yang sudah menjabat sebelumnya. Bahkan, demi mendapatkan dukungan masyarakat, pemerintah mulai melibatkan pihak-pihak dunia hiburan yang ketika menduduki jabatan pemerintah saja tidak bisa berbuat apapun.
Akibatnya, masyarakat tidak bisa merasakan dampak pembangunan yang optimal serta sulit untuk bisa menjadi bagian dari institusi pemerintahan. Kesulitan itu bisa kita lihat melalui jalannya sistem pemilu yang mengesampingkan orang biasa dan tak dikenal. Padahal, demokrasi semestinya menjadi bentuk negara yang menyediakan peluang bagi setiap masyarakat Indonesia untuk bisa memilih dan terpilih dalam setiap pemilu.
Menurut pendapat yang dikemukakan seorang psikolog bernama Intan Erlita pada tahun 2024, setiap wakil rakyat ataupun pejabat seringkali tidak menyadari bahwa mereka harus memiliki kesiapan diri yang berbeda dari orang pada umumnya. Kesiapan tersebut menuntut mental dan tanggungjawab yang kuat dan juga membara. Bara api itu akan terus menyala selama sumber api itu tetap mempertahankan esensinya. Sebaliknya, bara api itu akan mati jika sumbernya tidak hadir lagi di dalamnya, hal itu bisa kita hubungkan dengan keadaan negara kita yang terus dirusak oleh penyimpangan yang ada . Penyimpangan ini seringkali diterapkan dalam banyak proses yang bisa mengancam keberadaan negara kita yang bersumber pada rakyat. Prosesnya melalui berbagai macam bentuk seperti revisi undang-undang hingga persidangan di mahkamah.
Contoh yang bisa kita lihat secara nyata adalah UU Cipta Kerja No. 6 tahun 2023 . Sejak awal, undang-undang ini memang telah mendapat penolakan dari berbagai kalangan masyarakat Indonesia, tetapi sejak awal DPR maupun pemerintah sudah memiliki tekad yang kuat untuk mengesahkan UUD ini dengan segala kondisi yang ada. Bentuk pertama dari undang-undang ini adalah RUU ( rancangan undang-undang ) yang menggunakan metode gabungan atau bisa disebut Omnibus Law. Meskipun hal ini sudah ditetapkan oleh DPR, rakyat merasa bahwa ada suatu perubahan besar dari hirarki yang sebenarnya telat kita anut dalam UU No 12/2011). Pada akhirnya, Mahkamah Konstitusi menuntut DPR untuk memperbaiki, nyatanya melalui perpu tahun 2022 hingga kini, RUU itu masih bisa berdiri dengan wujud undang-undang di atas setiap penolakan masyarakat . Hal ini menunjukkan penyimpangan ataupun keengganan pemerintah untuk mendengarkan aspirasi publik yang seharusnya menjadi sumber evaluasi pemerintah. Padahal, dalam negara yang demokratis, suara masyarakat adalah fondasi terpenting.
Penyimpangan Kekuasaan
Deformasi memang akan berdampak pada banyak bidang karena memang jika deformasi itu ada dalam suatu pemerintahan, bidang-bidang dalam pemerintahan itupun akan turut terlibat. Kita bisa mengambil contoh dalam bidang politik dan juga bidang hukum. Dalam bidang politik, kita mengenal politik balas budi, politik dinasti, politik popularitas. Di dalam politik dinasti, kekuasaan tidak membuka peluang yang adil bagi masyarakat umum untuk ikut serta dalam proses politik dikarenakan sifatnya yang cenderung tertutup rapat. Lalu, politik balas budi memungkinkan Kekuasaan berubah menjadi alat transaksi dan pertukaran kepentingan, sehingga kebijakan pemerintah menjadi tidak objektif, tidak transparan, dan tidak berpihak pada masyarakat luas. Terakhir, politik popularitas yang merupakan deformasi kekuasaan karena disini jabatan publik tidak lagi digunakan sebagai instrumen pelayanan, tetapi menjadi panggung eksistensi dan kepentingan individu.
Di dalam hukum, kita melihat serangkaian kebijakan demi jalannya kehidupan masyarakat yang teratur. Melalui pemangku kepentingan, negara menciptakan aturan yang sejalan dengan kehidupan masyarakat. Akan sangat berbahaya jika hukum dijadikan sebagai alat kekuasaan dan disalahgunakan. Kekuasaan justru harus dibatasi oleh hukum yang mengandung sanksi sebagai salah satu faktor pendukung efektivitas hukum dengan memberi efek jera.
Ancaman Deformasi Kekuasaan
Kita memang tidak bisa menghakimi secara langsung setiap pejabat dengan latar belakang yang berbeda. Tetapi, Pemerintah perlu lebih hati-hati menanggapi setiap kejadian yang menyulut emosi masyarakat. Jangan sampai pemerintah secara gampang malah berbalik menyalahkan masyarakat atas dampak kemarahan rakyat. Pemerintah dibentuk atas dasar persetujuan rakyat dan untuk kepentingan rakyat itu sendiri. Namun, seringkali pemerintah tidak memberi solusi dan tuntunan yang tepat sehingga banyak pejabat yang bertindak seenaknya saja dan tidak berfungsi semestinya.
Salah satu wujud kemarahan itu bisa kita lihat melalui berita dalam beberapa bulan ini. Ada seorang pejabat bernama Uya kuya dengan latar belakang profesi yang datang dari dunia hiburan. Uya kuya adalah anggota DPR RI yang tampak asyik berjoget ketika menghadiri Sidang Tahunan MPR dan Sidang Bersama DPR - DPD Tahun 2025. Masyarakat menilai aksi joget anggota dewan sangat tidak pantas mengingat momen Sidang Tahunan seharusnya berjalan sakral dan jadi kesempatan untuk memikirkan nasib rakyat. Akan tetapi, dengan segala kritikan yang ada, Uya kuya justru malah menanggapi penilaian itu dengan omongan,
“Lah, kita artis. Kita DPR kan kita artis,” katanya.
Salah satu artikel Tempo yang ditulis oleh Eka Yudha Saputra pada tahun 2025 turut menanggapi pernyataan ini sebagai sebuah pernyataan yang hanya semakin menambah ataupun menyulut emosi sebagian besar masyarakat indonesia
Baca Juga: Kota Bandung: Hak Trotoar, Pejalan Kaki, dan PKL
Pemerintah tidak boleh membiarkan setiap penyimpangan yang ada semakin berakar dalam pemerintah kita. Masyarakat pastinya akan memantau setiap pergerakan wakil rakyat yang bekerja di suatu pemerintahan. Keseriusan dan kemampuan pejabat tersebut akan dipertanyakan rakyat karena jika mereka tidak mampu, masyarakat khawatir Indonesia tidak akan menjadi negara yang diimpikan setiap orang. Setiap motivasi, tujuan, dan latar belakang seorang pejabat akan sangat berpengaruh dalam pekerjaannya. Pemerintah perlu menyelidiki dan mengawasi secara berkala kinerja anggotanya, rakyat pun tidak boleh asal memilih wakilnya dalam suatu pemerintahan. Kedua hal tersebut, jika dilaksanakan secara efektif akan menciptakan negara demokrasi yang dicita-citakan bersama serta mencegah deformasi atau penyalahgunaan kekuasaan kedepannya.
Deformasi jangan sampai mengacaukan fungsi negara yang seharusnya. Deformasi memang tidak akan langsung berhenti seketika. Namun, bisa dikatakan bahwa deformasi bisa mengacaukan fungsi negara itu jika diabaikan. Deformasi akan selalu menjadi mimpi buruk yang akan terus menghantui rakyat karena seringkali memberi efek yang tidak diinginkan atau merugikan masyarakat luas. Oleh karena itu, pemerintah perlu menghapuskan segala bentuk ciri deformasi dengan memperkuat transparansi dan akuntabilitas dalam setiap proses pengambilan kebijakan, mendorong partisipasi publik dan pengawasan masyarakat dalam jalannya pemerintahan serta menerapkan pendidikan politik dan pembinaan etika bagi para pejabat dan calon pemimpin bangsa. Langkah-langkah tersebut diharapkan bisa mencegah deformasi merasuki jalannya pemerintah kita kedepannya.
Pada prinsipnya, deformasi di Indonesia sendiri bisa terlihat pengaruhnya secara bertahap. Setiap penyimpangan awalnya dianggap remeh oleh pihak-pihak pemangku kepentingan. Namun, justru yang remeh seperti ini bisa berujung pada dampak yang lebih besar dan bisa jadi akan lebih sulit diatasi. Melalui berbagai kasus sebelumnya, setiap penyimpangan diawali atas dasar pertidaksetujuan rakyat terhadap berbagai keputusan pemerintah. Oleh karena itu, pemerintah perlu betul-betul memikirkan langkah yang tepat agar masyarakat bisa turut terlibat secara optimal dalam jalannya pemerintahan suatu negara . Jangan sampai kita membiarkan KKN (korupsi, kolusi, nepotisme) terus berkembang dalam negara kita tercinta ini. (*)
