Di tengah gemerlap Jalan Braga, di mana kafe-kafe bergaya modern berjajar berdampingan, wisatawan berfoto di setiap sudutnya, terselip lah sebuah warung sederhana yang seolah menentang arus tren kuliner kekinian: Sambel Pecel Braga.
Tidak ada lampu neon mencolok, tidak ada juga dekorasi Instagramable. Hanya sebuah warung kecil dengan kipas angin berputar perlahan, meja dan kursi sederhana, serta aroma sambal pecel yang begitu kuat hingga menyelinap keluar, menyapa pejalan kaki di luar, seolah mengundang siapa saja untuk berhenti sejenak.
Menu yang disajikan tampak biasa saja: ayam goreng, bebek goreng, lalapan segar, dan sambal khas yang sudah akrab bagi siapa pun yang lahir dan besar di Indonesia. Namun, kesederhanaan itu justru menjadi kekuatan warung ini. Menu yang disantap di sini bukan sekadar makanan, melainkan perjalanan rasa yang membawa pengunjung kembali ke kenangan lama, ke meja makan keluarga, dan rasa yang menenangkan.
“Orang yang sudah pernah datang, biasanya kembali lagi karena sudah tahu rasanya. Sambel pecel ini itu familiar dan bikin kangen banget. Makanya, apalagi di akhir pekan, warung selalu ramai,” ungkap Ramdan, salah seorang pegawai warung.
Baca Juga: Strategi Bersaing Membangun Bisnis Dessert di Tengah Tren yang Beragam
Tak hanya ramainya pengunjung lama, warung ini juga menjadi pilihan mereka yang ingin makan tanpa repot menebak rasa di luar sana.
“Aku makan di sini karena nggak mau pusing nebak-nebak rasa yang ada kafe luar sana. Aku sudah tahu rasanya sambel pecel gimana, kan. Untungnya di braga ada, jadi pilihnya di sini. Menurut aku, makanannya juga enak-enak,” Desi, salah seorang pengunjung, bercerita.
Sejak berdiri pada 2019, Sambel Pecel Braga telah menjadi destinasi kuliner yang berbeda dari hiruk- pikuk kota. Ia tidak berusaha memikat dengan gimmick atau kemasan modern. Kejujuran rasa dan kesederhanaan suasana menjadi magnet tersendiri. Di warung kecil ini, lidah menemukan rumahnya, dan hati menemukan sedikit ketenangan di tengah kota yang tidak pernah tidur. Sambel Pecel Braga membuktikan bahwa, terkadang, kesederhanaan lah yang paling mengikat manusia pada rasa, memori, dan tempat yang selalu ingin mereka datangi lagi. (*)
