Bencana yang kini sering melanda beberapa wilayah yang berada di Indonesia khususnya yang kini melanda Sumatra mulai dari Riau, Sumatra Barat, hingga Jambi yang mendapat banyak atensi dari publik.
Namun, di tengah arus simpati tersebut, muncul satu pertanyaan mendasar. Ketika sorotan kamera merekam aksi perusahaan yang membagikan bantuan logistik, benarkah kehadiran dari aksi perusahaan tersebut murni dari panggilan kemanusiaan? Atau sekedar strategi Corporate Social Responsibility (CSR) yang dikeluarkan dari perusahaan?
Kecurigaan ini muncul bukan tanpa alasan. Menurut data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), dari tahun 2016 hingga 2025, tutupan hutan seluas 1,4 juta hektare akan hilang di wilayah Sumatra bagian utara dan barat.
Sebuah fakta yang menyedihkan adalah bahwa sementara tangan kanan korporasi mengirimkan paket sembako ke tenda pengungsian, tangan kirinya telah melucuti sumber daya alam yang seharusnya melindungi warga. Komunikasi krisis melihat masalah ini sebagai praktik greenwashing untuk menutupi "dosa ekologis" yang merupakan penyebab utama bencana di hilir.
Ironi ini terlihat jelas pada fakta di lapangan. Kita melihat bagaimana raksasa industri kayu di Sumatra Utara, seperti PT Toba Pulp Lestari (TPL) atau PT Sumatera Riang Lestari (SRL), sigap menerjunkan alat berat dan logistik untuk membantu evakuasi korban banjir.
Namun, publik perlu sadar bahwa di balik spanduk kemanusiaan itu, Kementerian Kehutanan justru menyegel sebagian area konsesi mereka karena dugaan pelanggaran tata kelola hutan yang memperparah daya rusak banjir tersebut. Ini adalah paradoks: tangan yang menyuapkan nasi bungkus adalah tangan yang sama yang diduga merusak wadah air alami kita.
Baca Juga: Keberlangsungan Suatu Negara dalam Bayang-Bayang Deformasi Kekuasaan
Oleh karena itu, cerita kepedulian ini harus diperbaiki secara menyeluruh. Kita harus berhenti merayakan pembagian bantuan sebagai tindakan kemanusiaan semata dan mulai menuntut pertanggungjawaban yang signifikan. CSR harus dikembalikan ke inti, yaitu komitmen moral untuk mencegah kerusakan ekosistem sejak awal, bukan sekadar pembagian keuntungan amal sesaat.
Pemerintah harus berani melakukan audit lingkungan yang ketat terhadap perusahaan pemberi bantuan, bukannya terlena oleh spanduk bantuan yang indah. Ingatlah bahwa bantuan terbaik bagi orang Sumatra adalah kebijakan lingkungan yang menjamin bahwa rumah mereka tidak lagi tenggelam; bantuan instan yang cepat tidak cukup. (*)
