AYOBANDUNG.ID - Bandung sejak lama dipandang istimewa. Letaknya di dataran tinggi, udaranya sejuk, tanahnya subur, dan dikelilingi panorama pegunungan. Gambaran itu membuat orang-orang Eropa di masa kolonial terpesona. Mereka membayangkan Bandung bisa disulap menjadi koloni ideal, bahkan ada wacana menjadikannya pusat pemerintahan di Priangan. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Mimpi itu terbentur kebijakan pemerintah kolonial sendiri yang lebih suka menutup pintu.
Dalam Sejarah Kota Bandung dari Bergdessa (Desa Udik) Menjadi Bandung Heurin Ku Tangtung (Metropolitan), peneliti Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung, Nandang Rusnandar, mencatat bahwa wacana memindahkan pusat pemerintahan Priangan ke Bandung sudah muncul sejak awal abad ke-19. Seorang pejabat kolonial bernama Adries de Wilde, pada 1819, mengusulkan agar ibu kota Karesidenan Priangan dipindahkan dari Cianjur ke Bandung. Baginya, Bandung lebih menjanjikan, lebih strategis, dan tentu lebih nyaman untuk orang Eropa ketimbang Cianjur yang dianggap “terlalu biasa”.
Seiring waktu, imajinasi itu disambut pula oleh tokoh lain seperti Dr. R. van Hoevell yang pada pertengahan abad ke-19 membayangkan Bandung bisa menjelma menjadi kota besar di dataran tinggi. Orang Eropa memang senang berandai-andai tentang kota impian di tanah tropis: jalan lebar, rumah-rumah bergaya neoklasik, dan kebun-kebun bunga yang rapi. Bandung, dengan udara dinginnya, tampak sangat cocok untuk itu.
Baca Juga: Jejak Bandung Kota Kreatif Berakar Sejak Zaman Kolonial
Tapi kolonialisme bukanlah dunia dongeng. Mimpi para pejabat itu justru dijegal oleh keputusan penguasa tertinggi di Batavia. Pada 9 Januari 1821, Gubernur Jenderal G.A. Baron van der Capellen mengeluarkan perintah resmi (Staatsblad No. 6/1821) yang menutup wilayah Priangan bagi orang Eropa maupun Tionghoa. Alasannya jelas: pemerintah ingin melindungi sistem tanam paksa kopi yang baru berkembang di Priangan agar tidak diganggu pedagang swasta.
Kebijakan ini membuat Bandung seperti seorang gadis desa cantik yang sengaja dikurung agar tak dinikahi orang asing. Alih-alih tumbuh menjadi kota kolonial modern, Bandung tetap menjadi bergdessa atau kampung udik yang sibuk dengan urusan sendiri. Orang Sunda punya istilah heurin ku tangtung: sumpek oleh aktivitas lokal, tapi bukan keramaian kosmopolitan seperti yang dibayangkan pejabat Eropa.
Kendati begitu, Bandung tidak mati. Kehidupan lokal tetap berdenyut. Pasar berkembang, jalur perdagangan dari desa-desa sekitar menghidupkan aktivitas ekonomi, dan masyarakat Sunda terus menata ruang hidupnya. Di bawah kepemimpinan Bupati R.A. Wiranatakusumah IV pada 1846–1874, Bandung justru mengalami kemajuan pesat. Ia berhasil menjadikan Bandung sebagai pusat kegiatan ekonomi yang semakin ramai, meski tanpa sentuhan “glamour” kolonial.
Larangan itu akhirnya dicabut. Residen Priangan Van Steinment mengumumkan lewat Java Bode pada 11 Agustus 1852 bahwa wilayah Priangan kembali terbuka untuk orang Eropa dan Tionghoa. Saat pintu isolasi resmi dibuka, Bandung sudah siap menerima arus baru. Pasar makin hidup, jalan-jalan diperlebar, dan rumah-rumah bergaya kolonial mulai berdiri berdampingan dengan rumah-rumah tradisional Sunda.
Tak butuh waktu lama, Bandung kembali dilirik sebagai calon pusat pemerintahan. Gubernur Jenderal Charles Ferdinand Pahud pada 1856 memerintahkan agar ibu kota Karesidenan Priangan dipindahkan dari Cianjur ke Bandung. Namun, kebijakan itu baru benar-benar terlaksana pada masa Residen Van der Moore tahun 1864. Faktor alam ikut mempercepat: Gunung Gede meletus, menghancurkan Cianjur dan membuat kota itu dianggap tidak lagi aman sebagai pusat pemerintahan. Maka, Bandung resmi naik kelas menjadi ibu kota Priangan.

Baca Juga: Hikayat Jalan Braga yang Konon Pernah Dijuluki Jalan Culik
Jejak Bandung Sebelum Jadi Kota
Jika ditarik jauh ke belakang, Bandung sebenarnya sudah muncul dalam catatan sejak abad ke-17. Tahun 1641, seorang Mardijker bernama Yulian de Silva menuliskan dalam Dagregister tentang “negeri bernama Bandong” yang hanya berisi 25–30 rumah dengan seratusan jiwa. Pada masa itu, masyarakat Sunda menyebut wilayah ini sebagai Tatar Ukur, di bawah kekuasaan Dipati Ukur.
Pada awal abad ke-18, pejabat VOC Abraham van Riebeek singgah di Bandung dalam perjalanannya mendaki Gunung Papandayan dan Tangkubanparahu. Van Riebeek pula yang membawa benih kopi ke Priangan, sebuah keputusan yang kelak membuat kopi menjadi komoditas utama sekaligus sumber penderitaan para buruh kebun.
Pada pertengahan abad ke-18, beberapa orang Eropa mulai tinggal di Bandung. Korporal Belanda bernama Arie Top ditempatkan di sana pada 1741. Setahun kemudian datang pula kakak-beradik Ronde dan Jan Geysbergen yang membuka hutan dan mendirikan penggergajian. Mereka memberi julukan sinis: Paradise in Exile. Surga, iya. Tapi tetap pengasingan, karena Bandung kala itu masih dikelilingi rawa dan hutan belantara.
Baca Juga: Sejarah Bandung dari Paradise in Exile Sampai jadi Kota Impian Daendels
Lompatan besar datang di awal abad ke-19. Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels, yang terkenal keras kepala, membangun Jalan Raya Pos dari Anyer sampai Panarukan. Jalur itu melintasi Priangan dan tentu saja melewati Bandung. Ia memerintahkan Bupati Bandung, R.A. Wiranatakusumah II, untuk memindahkan pusat kabupaten dari Krapyak ke tepi Sungai Cikapundung. Pada 25 September 1810, Bandung diresmikan sebagai ibu kota kabupaten yang baru.
Daendels dikenal perfeksionis. Ia bahkan menancapkan tongkat di tanah dan memerintahkan agar ketika ia kembali, sebuah kota sudah berdiri di sana. Dari situlah, Bandung lahir sebagai kota, meski awalnya hanyalah kabupaten kecil di tengah rawa-rawa.
Setelah resmi menjadi ibu kota Priangan pada 1864, Bandung perlahan berkembang jadi kota modern. Jalan-jalan besar dibuka, sekolah dan kantor pemerintahan didirikan, dan permukiman Eropa mulai tumbuh. Kota yang dulu dianggap tidak lebih dari kampung udik akhirnya benar-benar berubah.
Ironisnya, Bandung yang sempat dikurung kebijakan Gubernur Jenderal kini justru menjadi kota yang dielu-elukan. Pada awal abad ke-20, Bandung mendapat julukan Parijs van Java, sebuah sebutan yang menandai modernitas sekaligus pesona estetikanya. Kota ini menjadi tempat tinggal para tuan tanah, pusat pendidikan, hingga laboratorium gaya hidup orang Eropa di Hindia Belanda.