AYOBANDUNG.ID - Tak banyak kota di Indonesia yang lekat dengan citra kreatif seperti Bandung. Dari mural jalanan, komunitas musik, industri fesyen, hingga kafe estetik yang tumbuh di setiap sudut, Bandung memang seperti tak pernah kehabisan ide. Bahkan, sejak 2015, kota ini resmi masuk dalam jaringan UNESCO Creative Cities Network. Tapi kalau kita kira kreativitas Bandung hanya tumbuh di era milenial, kita keliru besar.
Faktanya, akar kota kreatif itu sudah menjalar sejak lebih dari seabad silam. Bukan dari startup atau kampus, tapi dari tangan-tangan para sukarelawan, pengusaha, seniman, dan pejabat lokal kolonial yang melihat Bandung bukan hanya sebagai kota rehat, tapi juga ruang pertunjukan gagasan. Kota ini tak punya tambang emas atau pelabuhan besar, tapi sejak zaman Hindia-Belanda, ia sudah mampu menjual pesonanya ke orang luarâmelalui kongres, turisme, hingga majalah.
Dalam risalah yang terbit di Paradigma: Jurnal Kajian Budaya tahun 2020 berjudul âMelacak Akar Kreativitas di Kota Bandung Masa Kolonialâ, peneliti sejarah Achmad Sunjayadi menelusuri bagaimana nafas Bandung sebagai kota kreatif sudah mulai terbangun sejak zaman kolonial, dari orang-orang yang datang, tinggal, dan mencintai kota ini dengan cara mereka sendiri.
âKreativitas penduduk Bandung tidak muncul begitu saja seperti yang kita lihat pada masa kini. Akar kreativitas itu terbentuk sejak masa kolonial, pada akhir abad ke-19, bersamaan dengan pembentukan dan dinamika Kota Bandung,â tulis Ahmad.
Kehadiran nafas kota kreatif seperti digambarkan Ahmad, tidak bisa dilepaskan dari peran para Preangerplanters yang sudah bercokol di Bandung antara abad ke-18 dan 19. Pada awalnya, perkembangan Bandung berkaitan dengan Agrarische Wet tahun 1870. Undang-undang itu memberi izin kepada perusahaan swasta Belanda untuk membuka lahan di Hindia-Belanda. Bandung, yang berhawa sejuk dan dikelilingi gunung, jadi ladang emas bagi para preangerplantersâpara pengusaha perkebunan teh, kina, dan karet. Nama-nama seperti Willem van der Hucht, R.E. Kerkhoven, hingga K.A.R. Bosscha menghuni dataran tinggi ini.
Tapi, mereka bukan sekadar berkebun. Di sinilah kreativitas sosial mulai bekerja. Tahun 1871, mereka mendirikan Concordia, semacam perkumpulan elite Eropa di Bandung. Gedung pertemuan itu kemudian berkembang menjadi ruang pertunjukan musik dan dansa, yang kini menjadi bagian dari Gedung Merdeka. Bagi kalangan Eropa, Concordia adalah pusat aktivitas budaya.
Braga pun ikut hidup. Pada 1882, berdiri Toneelvereeniging Braga, perhimpunan sandiwara yang kelak memberi nama bagi jalan Braga. Pada akhir abad ke-19, kawasan itu menjadi kawasan pertokoan mewah. Achmad mencatat, âKomunitas Belanda menjuluki kawasan itu âDe meest Europeesche winkelstraat van IndiĂ«â â jalan pertokoan paling bernuansa Eropa di Hindia-Belanda.â
Tak hanya kalangan Eropa yang aktif. Bupati Bandung, R.A.A. Martanegara, juga mengambil inisiatif. Ia mengganti atap rumah penduduk dari alang-alang ke genting, sebagai upaya memperbaiki kualitas hidup warga. Ini adalah salah satu contoh bahwa kreativitas kota juga lahir dari elite lokal yang peduli estetika dan kesejahteraan.
Salah satu momen penting dalam sejarah kreativitas Bandung adalah saat kota ini ditunjuk menjadi tuan rumah Kongres Pengusaha Perkebunan Gula pada 1899, meskipun tak ada pabrik gula di Priangan.
Penunjukan itu dipertanyakan. Jarak jauh, biaya tinggi, dan secara ekonomi tampak tak masuk akal. Seorang pejabat asosiasi pengusaha gula bahkan ragu acara itu akan berhasil. Tapi argumen dibalas dengan keyakinan.
Redaktur surat kabar De Preangerbode, Jan Fabricius, menulis pembelaan buat Bandung. Ia menulis bahwa meski Bandung tak punya pabrik gula, Batavia dekat dan penuh lembaga keuangan yang bisa menarik pemodal. Akomodasi sudah siap, begitu pula hiburan dan aula rapat. âAda lima penginapan besar dan tiga penginapan kecil yang mampu menampung lebih dari 200 tamu,â tulis Fabricius.
Dan benar saja, pada Maret 1899, para juragan gula dari timur dan tengah Jawa datang. Mereka menumpang mobil dan kereta api. Kongres dibuka di aula Braga, dan sejak itu, Bandung mulai dikenal bukan hanya karena kesejukan udaranya, tapi juga karena kemampuannya menggelar sesuatu yang tak lazim di tempat yang tak terduga.
Kongres itu akhirnya sukses dan menjadi titik balik Bandung sebagai tuan rumah acara berskala nasional.

Untuk mendukung kegiatan seperti itu, Asisten Residen Pieter F. Sijthoff menggagas pendirian Vereeniging Tot Nut van Bandoeng en Omstreken (1898), organisasi sosial yang salah satu tujuannya adalah mempromosikan Bandung sebagai destinasi wisata. Mereka menerbitkan Reisgids voor Bandoeng en Omstreken met Garoet, buku panduan wisata pertama yang mencantumkan rute-rute keliling kota dengan delman dan jalur ke tempat wisata alam seperti Curug Dago, Cihampelas, hingga Pangalengan.
âUpaya yang dilakukan oleh Sijthoff melalui organisasi ini walaupun bersifat lokal (Priangan), dapat dikatakan sebagai salah satu upaya meletakkan dasar kegiatan turisme,â tulis Achmad.
Setelah Bandung berubah status menjadi gemeente (kotapraja) pada 1906, muncul organisasi baru: ComitĂ© tot Behartiging van Bandoengâs Belangen (1915). Inisiatif mereka antara lain membangun sekolah HBS (1916), pabrik gas (1920), serta menyelenggarakan acara besar bernama Jaarbeursâpameran tahunan yang mempertemukan industri, seni, budaya, dan hiburan.
Gedung Jaarbeurs dirancang oleh arsitek legendaris C.P. Wolff Schoemaker, dan menjadi simbol bahwa Bandung bukan hanya kota dagang, tapi juga kota showroom ide dan produk kreatif.
Pada 1925, lahir Vereeniging Bandoeng Vooruit, perhimpunan yang bertujuan memajukan Bandung dan memperluas jangkauan turisme. Mereka membangun akses jalan mobil ke kawah Tangkuban Perahu, memproduksi film promosi tentang Bandung bersama Willy Mullens (1927), bahkan menerbitkan majalah bulanan Mooi Bandoeng dengan oplah 5.000 eksemplar.
Iklan mereka saat itu mencolok, seolah sepenuh jiwa dan raga sangat percaya diri mempromosikan Bandung.
âBezoek[t] Bandoeng! En zân vulkanen.â Kunjungi Bandung! Dan gunung berapinya.
Perhimpunan ini juga merancang panduan mendaki Tangkuban Perahu, mendirikan Kebun Binatang Bandung, hingga membuat acara reli mobil Bandoeng Sterrit pada 1941. âKegiatan itu kembali membuktikan bahwa inisiatif dari pemerintah dan sekelompok masyarakat di Bandung membuat perhimpunan ini berhasil menyelenggarakan kegiatan untuk kesejahteraan warganya,â tulis Ahmad.
Seluruh aktivitas ini adalah contoh nyata bahwa kota Bandung telah menciptakan ekosistem kreatif yang melibatkan masyarakat, elite pemerintah, dan pemodal swasta. âMasyarakat Bandung ketika itu dapat dikatakan sudah menciptakan lingkungan dan atmosfer kreatif,â tulis Achmad. Bahkan menurutnya, mereka âmengubah lingkungan di sekitar kota tempat tinggal mereka yang dikelilingi oleh gunung untuk dijadikan daya tarik pariwisata.â
Dia juga menunjukkan bahwa ragam organisasi seperti Nut van Bandoeng, Bandoeng Vooruit, dan Bandoeng Permai termasuk dalam kategori organisasi sukarela, sesuai definisi Max Weber. Mereka bukan badan resmi pemerintah, tapi digerakkan oleh warga kota sendiriâbaik Eropa, pribumi, maupun kelompok campuranâyang ingin membangun Bandung sesuai visi mereka.
Ketika Bandoeng Vooruit vakum di masa pendudukan Jepang, ia hidup kembali pada 1952 sebagai Bandoeng Permai. Mereka melanjutkan promosi kota, menghidupkan kembali Mooi Bandoeng, hingga mempercantik taman dan penunjuk arah. Narasi Bandung sebagai kota indah, nyaman, dan layak dikunjungi tak pernah putus, hanya berganti aktor.
Kreativitas Bandung, jika dilihat dari sejarahnya, bukan sesuatu yang lahir dari proyek pemerintah pusat atau investor besar. Ia tumbuh dari kegelisahan warga, dari imajinasi para tokoh lokal, dan dari upaya kolektif untuk menjadikan kota ini layak dicintaiâoleh warganya sendiri dan orang luar dari segala penjuru mata angin.
Karena itu, ketika UNESCO menetapkan Bandung sebagai bagian dari jejaring kota kreatif dunia, itu bukan lompatan, tapi kelanjutan. Dari jalan delman ke film promosi, dari kongres gula ke majalah wisata, Bandung sudah lama tahu: kreativitas bukan hasil, tapi proses. Dan mereka sudah memulainya bahkan sebelum Indonesia berdiri.