AYOBANDUNG.ID -- Bandung tak pernah kehabisan suara. Sejak era 90-an hingga kini, kota ini terus memproduksi gelombang musik yang mengguncang skena nasional. Dari Pas Band yang mengusung rock cadas, Mocca dengan nuansa swing pop, hingga The S.I.G.I.T yang membawa semangat garage rock ke panggung internasional, semua lahir dari atmosfer kreatif yang khas.
Di balik udara sejuk dan jalanan berbukit, Bandung menyimpan denyut musik yang tak pernah berhenti. Gelombang ini bukan sekadar tren, melainkan kultur. Anak muda Bandung tumbuh dengan semangat kolektif, studio rumahan, gigs komunitas, dan semangat DIY (do-it-yourself) yang menjadikan musik sebagai medium ekspresi dan identitas. Di tengah arus digital dan algoritma, mereka tetap memilih jalur yang jujur dan personal.
Dari gelombang itu, muncul kembali sebuah nama, Ombram. Band yang digawangi oleh Brahmana Amsal (vokal), Opit Bey (gitar), dan Magi (drum) ini adalah simbol regenerasi, sebuah proyek yang lahir dari pertemuan tak terduga.
Brahmana, sang vokalis, sempat vakum selama dua dekade dari dunia musik. Namun, sebuah telepon dari Magi mengubah segalanya. “Magi telepon dan mengajak bertemu di rumah Opit, dia nyiapin sampling dua lagu, dari materi lagu yang saya buat 20 tahun lalu. Sempat bingung juga, kan saya vakum lama, tapi Opit keukeuh bilang bisa akhirnya kita bikin band lah, Ombram (Opit, Magi, dan Bram),” kenang Brahmana.
Bandung memang punya cara sendiri dalam melahirkan musisi. Bukan lewat industri besar, tapi lewat pertemanan, ruang-ruang kecil, dan semangat berbagi. Ombram pun lahir dari proses yang serupa. “Awalnya gak kepikiran bikin band, tapi Magi punya rencana dan kebetulan Bram juga jadi gabung, akhirnya kita lanjut bikin band ini,” ujar Opit.
Genre yang mereka usung merentang dari rock, soft rock, alternatif, hingga pop. Lagu-lagu seperti “Berteriak,” “Biarkan Aku Sendiri,” dan “Oma” adalah hasil aransemen ulang dari materi lama Brahmana yang diberi napas baru oleh Opit. “Akhirnya ada satu label yang nyangkut, dan kita terima, akhirnya kita ngeband dan garap lagu cuma sebulan kayaknya,” kata Brahmana.
Proses rekaman pun penuh tantangan. Mobilitas Brahmana yang tinggi membuat mereka harus bekerja ekstra. “Kalau bilang kendalanya apa, sebenernya cuman ada di saya sih karena saya masih harus ke 2-3 kota dalam seminggu, makanya kita sering maraton ambil shift vokal sampai 5 lagu sehari,” tambahnya.
Fenomena band-band Bandung yang terus bermunculan tak lepas dari semangat kolektif anak muda. Di mata generasi sekarang, musik bukan sekadar hiburan, melainkan ruang untuk menyuarakan keresahan, harapan, dan identitas. Banyak dari mereka yang tumbuh dengan semangat mandiri, memproduksi lagu dari kamar tidur, lalu menyebarkannya lewat platform digital.
Ombram pun memanfaatkan momentum ini. Lagu-lagu mereka kini tersedia di Spotify dan YouTube, menjangkau pendengar lintas kota dan generasi. “Rencana ke depan kami mengeluarkan kaset yang bisa menjadi barang unik, piringan hitam, dan CD juga,” ujar Brahmana, menandakan bahwa mereka tak hanya bermain di ranah digital, tapi juga ingin menyentuh sisi kolektor dan nostalgia.
Kehadiran Ombram menjadi bukti bahwa Bandung masih menjadi barometer musik alternatif di Indonesia. Mereka bukan hanya membawa lagu, tapi juga cerita tentang persahabatan, konsistensi, dan keberanian untuk kembali setelah lama vakum.
Bagi anak muda Bandung, Ombram adalah cerminan bahwa tak ada kata terlambat untuk berkarya. Bahwa musik bisa menjadi jembatan lintas generasi, dan bahwa kota mereka masih punya banyak cerita untuk disuarakan.
“Ombram itu bukan hanya tentang kami bertiga, tapi tentang semangat untuk terus berkarya, meski waktu sudah berjalan jauh,” pungkas Brahmana.
Alternatif produk musik dan fashion skena serupa: