Olahraga lari adalah aktivitas sederhana yang dapat dilakukan siapa saja, kapan saja, dan di mana saja. Tidak memerlukan lapangan khusus, tidak butuh aturan rumit, dan bisa dilakukan secara individu maupun berkelompok. Justru karena kesederhanaannya, lari menjadi salah satu olahraga yang selalu hidup di berbagai zaman, termasuk di Kota Bandung.
Namun, meskipun aktivitas dasarnya sama, cara masyarakat Bandung berlari pada era tahun 1980-an dan 2020-an sangatlah berbeda. Perbedaan ini dipengaruhi oleh perubahan kondisi kota dalam ruang tata dan wilayah, perkembangan teknologi yang mengiringinya, serta transformasi gaya hidup Masyarakat yang dinamis berubah.
Dalam tulisan ini, saya mengajak pembaca untuk menengok perbedaan dua zaman tersebut, mulai dari suasana Kota Bandung pada masanya, lokasi favorit berlari, peralatan yang digunakan, hingga tradisi unik yang mengiringinya. Dengan menengok ke belakang dan membandingkannya dengan masa kini, kita bisa melihat bagaimana olahraga lari bukan hanya sekadar aktivitas fisik, tetapi juga cermin perubahan sosial dan budaya masyarakat Bandung yang modern.
Mereka yang pernah hidup di Bandung pada tahun 1980-an tentu masih mengingat betapa sejuk dan tenangnya kota ini. Jalanan belum seramai sekarang, kendaraan bermotor tidak sebanyak di masa sekarang, dan pepohonan besar nan hijau masih tumbuh rimbun di banyak wilayah kota.
Suasana inilah yang membuat Bandung layak disebut sebagai kota yang nyaman untuk berjalan kaki maupun berlari menyusuri jalanan kota yang pernah menjadi tempat dilaksanakan Konferensi Asia Afrika pada tahun 1955.
Pada masa tersebut, olahraga lari bukanlah bagian dari gaya hidup modern seperti sekarang. Ia lebih merupakan aktivitas mingguan yang menyehatkan dan menyenangkan, sering kali dilakukan pada pagi hari di akhir pekan. Pelari tidak perlu khawatir akan macet atau polusi udara, karena jalanan masih lengang dan udara begitu bersih.
Gedung-gedung ikonik seperti Gedung Sate dan Alun-alun Bandung menjadi tujuan favorit, bukan hanya karena lokasinya strategis, tetapi juga karena area tersebut luas, asri, dan sering dijadikan titik kumpul warga. Masyarakat kota Bandung yang berada di Kawasan Tengah dan Barat cenderung berlari menuju Alun-alun Bandung. Sedangkan yang di kawasan Timur berlari ke Gedung Sate atau Lapangan Gasibu.
Empat dekade sudah berlalu, penampakan Kota Bandung telah berubah drastis. Modernisasi dan pertumbuhan penduduk menjadikan kota ini padat, ramai, dan sering kali macet. Lalu lintas yang semerawut dan polusi udara membuat lari di sembarang tempat tak lagi senyaman dulu.
Kota Bandung dinobatkan sebagai kota termacet di Indonesia oleh TomTom Traffic Index 2024, hal ini terungkap melalui laporan yang baru dirilis pada pertengahan tahun 2025. Data tersebut menunjukkan waktu tempuh rata-rata 32 menit 37 detik untuk 10 km, di mana warga diperkirakan kehilangan waktu sekitar 108 jam per tahun karena kemacetan. Penyebab utamanya adalah jumlah kendaraan pribadi yang tinggi dan infrastruktur jalan yang tidak seimbang dengan pertumbuhan kendaraan.
Namun, perubahan ini tidak menyurutkan semangat warga Kota Bandung untuk tetap berlari. Justru, lahirlah konsep baru bahwa olahraga lari sebagai gaya hidup sehat modern menyusuri jalanan di kota yang pernah dijuluki Paris Van Java ini.

Salah satu perbedaan paling mencolok antara lari di tahun 1980-an dan 2020-an adalah soal peralatan. Pada era 1980-an, pelari cukup mengenakan kaos oblong, celana pendek, dan sepatu olahraga seadanya. Tidak ada yang peduli merek, model, atau teknologi sepatu.
Bahkan sering juga memakai seragam olahraga sekolah yang penting nyaman dipakai, tidak memperhatikan gaya penampilan. Tidak ada para fotografer yang mengabadikan kegiatan para pelari mingguan ini sebab pada zaman itu, para fotografer hanya memotret orang-orang yang berkunjung ke alun-alun Bandung sebagai wisatawan bukan pelari mingguan.
Sebaliknya, pada tahun 2020-an, lari tidak lepas dari perangkat modern serba digital dan tercatat. Sepatu lari kini dilengkapi teknologi bantalan udara, material ringan, bahkan ada yang diklaim bisa meningkatkan kecepatan. Jam tangan pintar atau smartwatch menjadi teman wajib, lengkap dengan sensor detak jantung, GPS, hingga perhitungan kalori.
Aplikasi seperti Strava atau Garmin Connect merekam setiap langkah, jarak, dan kecepatan, menjadikan lari bukan hanya aktivitas fisik, melainkan juga kompetisi digital bahkan secara social sebagai eksistensi diri. Pada saat ini pelari-pelari sering diabadikan oleh para fotografer yang berjejer sepanjang jalan tempat berlari misalnya seperti yang sering terlihat di jalan dago bahkan sebagian ruas jalan dago selalu digunakan arena Car Free Day setiap dua minggu sekali.
Perbedaan lainnya adalah pada malam hari menjelang lari esok paginya merupakan hal menarik serta membedakan olahraga lari pada dua zaman tersebut tradisi yang menyertainya sangan berbeda. Pada 1980-an, malam sebelum lari sering kali diisi dengan kegiatan berkumpul di rumah teman. Malam minggu menjadi ajang menginap, bercanda, dan ngobrol hingga larut malam.
Keesokan paginya, meskipun badan masih tidak fit karena telat tidur atau bahkan belum mandi sekalipun, berlari di hari minggu pagi adalah keharusan jadi mereka tetap berlari bersama. Kesederhanaan dan kebersamaan menjadi ciri khasnya.
Sementara itu, pada 2020-an, tradisi berubah. Malam sebelum lari sering kali digunakan untuk mempersiapkan peralatan mengisi baterai smartwatch, memilih outfit yang sesuai, hingga menyiapkan aplikasi lari. Banyak pelari modern juga mengikuti komunitas resmi, yang mengatur jadwal latihan, target jarak, bahkan rencana ikut lomba maraton. Nuansa kebersamaan tetap ada, namun lebih terstruktur dan formal.
Terlepas dari semua perbedaan, ada tali koneksi yang menghubungkan lari di kedua zaman ini dalam hal tujuan yang sama, yaitu menjaga kesehatan tubuh. Pada tahun 1980-an, kesehatan dipahami secara sederhana, tubuh segar, bugar, dan bisa beraktivitas dengan baik.
Lari adalah cara murah dan mudah untuk mewujudkannya. Pada tahun 2020-an, meskipun ada tambahan target digital seperti āpaceā atau ā10 ribu langkah per hari,ā esensinya tetap sama untuk mendapatkan tubuh yang sehat adalah modal utama untuk menjalani kehidupan.
Perbandingan wajah zaman antara olahraga lari di Bandung pada tahun1980-an dan 2020-an memperlihatkan dua wajah yang berbeda. Pada tahun 1980-an, lari adalah aktivitas sederhana, penuh kebersamaan, dan dilakukan tanpa peralatan canggih. Suasana kota yang sejuk dan lengang membuat aktivitas ini terasa natural.
Pada tahun 2020-an, lari menjadi bagian dari gaya hidup modern, dengan dukungan teknologi, outfit stylish, dan target terukur. Kota yang padat dan penuh polusi tak menyurutkan semangat, justru melahirkan komunitas-komunitas lari yang semakin berkembang. Beberapa komunitas lari di Bandung diantaranya Indo Runners Bandung, Freerunners Bandung, Fakerunners Bandung dan PMS Running Club juga Sobat Sabtu.
Dua era ini berbeda dalam cara, tradisi, dan suasana, namun tetap memiliki tujuan yang sama: menjadikan tubuh sehat dan jiwa segar. Perubahan zaman hanya mengubah cara, bukan makna. Lari tetaplah lari, entah dilakukan dengan kaos oblong di pagi Bandung yang sejuk tahun 1980-an, atau dengan smartwatch canggih di tengah hiruk pikuk Bandung modern tahun 2020-an, yang terpenting, semangat bergerak tetap hidup dan diwariskan lintas generasi. (*)