Sadar gak, sih? Kalau kita kadang sering lupa betapa pentingnya menjaga lingkungan. Sesederhana mengurangi penggunaan plastik dengan membawa tas belanja dan memilih tumbler sebagai tempat minum ternyata berperan penting untuk penyelamatan bumi.
Menghemat energi dengan menggunakannya sesuai kebutuhan lalu tidak menghambur-hamburkan penggunaan air di mana pun kita berada. Membuang sampah pada tempatnya bukan pada sungai yang menjadi sumber kehidupan di masa depan. Memilah sampah untuk di daur ulang guna mengurangi limbah yang sulit terurai.
Pun memilih menggunakan transportasi publik dan mengurangi penggunaan motor untuk menghemat bahan bakar energi dan mengurangi polusi. Serta menanam pohon demi ketersediaan oksigen di masa depan. Aksi-aksi sederhana yang terlihat sepele ini ternyata berdampak besar bagi bumi.
Masih ingatkah 20 tahun ke belakang ketika masih kecil, kemarau dan musim hujan datang silih berganti dengan keseimbangannya, tidak pernah lebih atau kurang, berjalan sesuai dengan porsinya.
Tapi hari ini kedua musim itu tidak bisa lagi kita prediksi. Dulu manusia bisa hidup selaras dengan alam, membuktikan kita sebagai generasi penerus bisa menikmati pangan dan sumber kehidupan yang masih cukup melimpah. Tapi semejak berkiblat kepada sistem ekonomi Barat, semua perhatian terpusat ke satu titik pusat kekuatan global.
Alam yang selama ini menjadi tempat bernaung dan membuat kita tumbuh sebagai manusia yang ber-peradaban mulai kehilangan makna dan tergantikan oleh angka dan laba. Kehidupan semakin berjalan cepat tanpa jeda tapi sadarkah ? hidup kita semakin jauh dari keseimbangan.
Modernitas yang selama ini kita sombongkan telah menggeser segala hal yang bermakna ilahi menjadi material. Sumber daya alam yang menopang kehidupan kita sebagai manusia tidak lagi disyukuri tapi sudah terlalu banyak dieksploitasi. Mungkin jika bumi bisa berbicara maka sudah pasti begitu banyak kesakitan yang ingin disampaikannya kepada kita selaku manusia yang mendapat mandat menjadi khalifah di muka bumi ini.
Manusia memang diberikan kelebihan dibandingkan dengan mahluk lainnya di muka bumi ini. Tuhan memberikan kita akal dan pikiran yang sudah menciptakan dunia serba maju ini. Tapi satu hal kita tidak bisa menahan nafsu untuk menginginkan lebih dari yang seharusnya.
Kita sebagai manusia ternyata telah kehilangan makna suci dari kehidupan itu sendiri. Kemajuan yang selama ini kita banggakan ternyata berwujud menjadi topeng yang merenggut jarak manusia terhadap Pencipta-Nya.
Peradaban modern memang memberikan kita segala kemudahan dan fasilitas kemewahan. Tapi ternyata ada harga yang harus dibayar dibalik itu semua yaitu peninggalan jejak yang sulit dihapus seperti plastik, logam dan segala racun yang tak bisa terurai. Akankah di masa depan generasi yang menjadi arkeolog memerlukan pelindung radiasi hanya untuk menelusuri jejak sisa kita di masa ini. Kita lupa bahwa sifat berlebih-lebihan adalah warisan dari ketamakan yang dibungkus atas nama kemajuan.
Sadarkah kita? Di era konsumerisme ini kita telah hidup dalam bayangan ilusi kemajuan. Konsumerisme telah mendorong kita memenuhi gaya hidup berdasarkan tren yang hadir lewat media sosial. Mendorong kita untuk membeli barang atau jasa secara berlebihan yang hanya didasarkan pada keinginan dan status sosial bukan berdasarkan kebutuhan.
Kita bekerja untuk membeli, membeli untuk merasa cukup kemudian menginginkan lebih. Kini keberadaan alam tersisih karena nilai kita sebagai manusia sudah diukur berdasarkan daya beli bukan dari makna keberkahan.
Sistem yang menjadi kiblat global telah menciptakan uang dari utang dan kita menyebutnya sebagai kemajuan. Bagaimana kerakusan pemerintah kita untuk memenuhi segala program busuk demi kepentingan dirinya semata telah mendulang utang yang entah kapan kita bisa melunasinya.
Kita lupa dan abai terhadap makna Al-Mizan (keseimbangan) yang sudah Allah tetapkan. Setiap tahunnya aktivitas kita telah melewati batas alam, menumpuk dan mendulang utang ekologis yang tak bisa terbayar bahkan untuk jutaan tahun di masa yang akan datang.

Islam sebagai agama yang mayoritas kita sebagai orang indonesia yakini bahkan telah mengajarkan bagaimana dasar hubungan manusia dengan Allah, manusia dengan manusia lainnya dan manusia dengan alam lewat makna Al-Mizan.
Pemahaman ini ditegaskan kembali lewat Al-Mizan: A Covenant for The Earth (Perjanjian untuk Bumi) yang diluncurkan pada Sidang Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa keenam atau UNEA ke-6 pada 27 Februari 2024 di Nairobi, Kenya. Dokumen tersebut disusun oleh para teolog dan Cendekiawan Muslim terkemuka di seluruh dunia untuk menyajikan perspektif Islam yang komperhesif mengenai tanggung jawab ekologis dan moral.
Dari Al-Qur'an semestinya kita belajar bahwa keadilan terhadap alam adalah bentuk ketaatan pada Sang Pencipta. Bukan justru taat kepada manusia yang di-Tuhankan atas nama perbudakan. Jika ada maka perbudakan hanya pantas terjadi antara Tuhan dengan hambanya bukan manusia dengan manusia.
Sebagai generasi muda Muslim sudah seharusnya kita mulai menyadari bahma iman dan aksi terhadap perlindungan iklim tidak bisa dipisahkan. Sebagaimana sabda Nabi SAW, "Jika hari kiamat tiba sementara di tanganmu ada benih, tanamlah".
Maka ini menjadi tugas kita bersama sebagai manusia untuk menanam benih hijau peradaban untuk bumi yang lebih seimbang. Sekecil apapun tindakan kita untuk menyelamatkan dan menjaga bumi adalah bentuk dari ibadah kita kepada Sang Pencipta. (*)