Dalam kerangka Indeks Profesionalitas Aparatur Sipil Negara (IP ASN), ekosistem profesionalitas ASN dibangun oleh empat dimensi, yaitu: kinerja, kualifikasi pendidikan kompetensi, dan kedisplinan.
Kinerja menempati posisi sentral dan sekalgus menjadi tolok ukur keberhasilan dan dampak organisasi terhadap publik. Birokrasi modern menuntut ASN bekerja sebagai result driver yang mampu menghubungkan kebijakan, program, dan dampak nyata bagi masyarakat.
Dalam konteks kebijakan nasional, kini arah reformasi birokrasi menuju Performance Driven Bureaucracy, dari birokrasi berbasis administratif âapa yang dilakukanâ menuju birokrasi berdampak (transformasional). Untuk itu, pemerintah telah berupaya melakukan berbagai pembenahan melalui penerapan e-Kinerja, penyusunan SKP berbasis hasil (outcome-based performance), hingga pelaksanaan coaching dan continuous feedback.
Faktor kritisnya terletak pada konsistensi keterhubungan antara visi, misi, serta sasaran strategis organisasi dengan kinerja individu. Proses cascading kinerja harus dilakukan secara terpadu dan terukur, sehingga SKP mencerminkan kontribusi nyata setiap pegawai terhadap tujuan organisasi. Di sinilah peran pimpinan memastikan keseuaiannya dalam satu result chain yang dapat ditelusuri.
Keterpaduan inilah yang membedakan manajemen kinerja administratif dengan manajemen kinerja strategis. Tanpa keterpaduan arah, kinerja ASN terjebak dalam aktivitas rutin tanpa menghasilkan nilai strategis. Selain keterhubungan target, objektivitas penilaian kinerja juga menjadi isu utama. Dalam praktiknya, banyak pegawai merasa penilaian sikap kerja dan capaian kinerja belum sepenuhnya objektif. Persepsi ini muncul karena peran atasan masih dominan sebagai penilai tunggal.
Ketika indikator sikap tidak diukur dengan jelas dan capaian kinerja diinterpretasikan berdasarkan persepsi, muncul anggapan luas bahwa penilaian belum mencerminkan prestasi dan kompetisi yang sehat antar pegawai. Untuk itu, dibutuhkan mekanisme validasi data, peer review, serta penggunaan bukti objektif berbasis digital, disertai pelatihan bagi pimpinan mengenai performance calibration agar standar penilaian konsisten dan adil.
Baca Juga: Ekosistem Disiplin, Fondasi Kuat Profesionalitas ASN
Kebijakan penyederhanaan birokrasi yang digulirkan pemerintah sejak tahun 2019 menandai wajah baru tata kelola pemerintahan, dari pendekatan struktural-hirarkis menuju pendekatan fungsional-kolaboratif. Transformasi ini mendorong pembentukan kelompok kerja lintas fungsi (squad team), sebagai wadah kolaborasi antar pegawai dari berbagai latar belakang jabatan dan keahlian untuk menyelesaikan isu-isu strategis secara cepat dan adaptif.
Model squad team adalah model manajemen kinerja modern dengan empat prinsip utama: Agility, kemampuan merespons perubahan dengan cepat tanpa menunggu instruksi hierarkis. Collaboration, ASN dari berbagai bidang bekerja dalam satu tujuan. Accountability, memahami peran individu terhadap capaian organisasi. Continuous Learning, setiap proyek menjadi inovasi dan sarana belajar bersama.
Hingga tahun 2025, di balik optimisme model squad team, terdapat tantangan serius dalam implementasinya. ASN dalam squad team sering kali memikul beban kerja ganda menjalankan tugas pokok, sekaligus berkontribusi dalam kerja lintas fungsi yang tidak selalu tercatat dalam sistem. Masalah lainnya, kurangnya keterhubungan perhitungan Anjab dan ABK formasi jabatan fungsional dengan beban kerja squad team yang dinamis, yang menyebabkan tersendatnya karier fungsional hasil pemangkasan birokrasi.
Ketimpangan ini menimbulkan distorsi beban kerja, demotivasi, serta persoalan akuntabilitas. Oleh karena itu, kebijakan squad team perlu diiringi dengan penyesuaian regulasi manajemen kinerja dan beban kerja ASN. Pemerintah perlu mengembangkan kerangka kebijakan manajemen kinerja yang lebih fleksibel dan adaptif, sehingga kontribusi ASN dalam squad team terhitung sebagai nilai tambah profesionalitas.
Untuk memastikan transformasi ini berkelanjutan, setidaknya ada tiga langkah strategis yang perlu diprioritaskan. Pertama, revisi kebijakan AnjabâABK dengan perluasan definisi beban kerja agar mencakup aktivitas kolaboratif lintas unit dan kinerja berbasis proyek. Kedua, pengintegrasian peran squad team dalam sistem SKP digital, misalnya melalui fitur multi-role performance indicator sehingga kontribusi pegawai dalam squad team terukur. Terakhir, penyusunan pedoman khusus yang mengaitkan pengakuan kinerja lintas fungsi dengan insentif, promosi, dan pengembangan karier.
Sembilan Dimensi Penguat Ekosistem Kinerja

Penguatan manajemen kinerja bukan hanya agenda teknokratis saja, melainkan agenda ideologis untuk membangun birokrasi yang bekerja dengan hati dan hasil. Untuk menjembatani kesenjangan itu, dibutuhkan kerangka kerja yang lebih komprehensif untuk membangun ekosistem kinerja adaptif, akuntabel, dan berbasis pembelajaran, melalui penguatan sembilan dimensi manajemen kinerja.
Sembilan dimensi penguatan manajemen kinerja ini, dapat menjadi kerangka penataan ekosistem kinerja di instansi pemerintah. Ekosistem ini tidak hanya mengukur aktivitas, tetapi juga menumbuhkan makna dan kontribusi nyata pegawai.
Cascading Kinerja. Kinerja ASN harus diturunkan secara sistematis dari tujuan strategis hingga level pegawai, setiap ASN harus memahami kontribusinya terhadap visi lembaga. Cascading yang efektif menuntut keselarasan dokumen perencanaan, kemampuan pimpinan menerjemahkan visi strategis menjadi target operasional, dan konsistensi antara tujuan kelembagaan dengan SKP. Tanpa keterpaduan arah, cascading menjadi formalitas administratif.
Berbasis Risiko. Setiap sasaran kinerja perlu disusun dengan mempertimbangkan risiko kelembagaan dan operasional agar target kinerja realistis dan adaptif terhadap dinamika politik dan isu kebijakan. Kunci keberhasilannya terletak pada pembaruan peta risiko kelembagaan, pemahaman pimpinan terhadap prioritas organisasi, serta integrasi antara manajemen risiko dan evaluasi kinerja. Kinerja berbasis risiko menuntut budaya antisipatif, bukan reaktif.
Perencanaan Kinerja. Perencanaan harus disusun secara partisipatif dan berbasis data. ASN di setiap unit perlu menyusun rencana kinerja individu yang selaras dengan target unit kerja dan prioritas organisasi. Esensi utamanya adalah keterlibatan pegawai, bukan hanya perintah eksekutif dan kejelasan mekanisme perencanaan berbasis data.
Dialog Kinerja. Kinerja sebaiknya tidak hanya dibahas saat penilaian SKP. Dialog berkala antara pimpinan dan pegawai bisa menjadi ruang strategis mendeteksi progres serta hambatan sejak dini. Efektivitas dialog bergantung pada komitmen pimpinan, budaya kerja yang terbuka, dan dokumentasi tindak lanjut. Dialog akan bermakna, jika ada ruang aman untuk bicara jujur dari hati ke hati.
Monitoring dan Pendampingan. Pemantauan kinerja perlu disertai coaching dan mentoring untuk pengembangan kapasitas pegawai. Pimpinan tidak hanya menjadi penilai, tetapi juga pendamping. Setiap pimpinan harus memiliki kemampuan coaching yang mampu memberikan umpan balik konstruktif tanpa judgement, dan integrasi hasil pendampingan ke dalam sistem kinerja dan pengembangan kompetensi.
Penilaian Kinerja Berbasis Bukti. Setiap hasil kerja perlu didukung oleh data/ dokumen yang dapat diverifikasi. Tanpa bukti objektif, penilaian mudah bias oleh persepsi personal. Prasyarat keberhasilannya terletak pada kejelasan indikator, sistem digital yang memadai, serta mekanisme audit internal untuk menjaga objektivitas.
Pemanfaatan Hasil Kinerja. Makna kinerja hanya terasa jika berpengaruh pada kebijakan SDM, maka data kinerja harus dimanfaatkan untuk pengambilan keputusan SDM, seperti karier, promosi, dan pengembangan kompetensi. Kunci utama keberhasilan adalah dukungannya terhadap kebijakan manajemen talenta yang terintegrasi dan penggunaannya sebagai dasar keputusan SDM.
Sistem Pendukung Digital. Transformasi digital saat ini menjadi prasyarat sistem kinerja birokrasi modern. Platform digital harus mendukung pencatatan real time, monitoring transparan, dan analisis cepat. Faktor kritisnya adalah infrastruktur digital yang andal, literasi digital dan literasi numerasi ASN, serta interoperabilitas antar instansi.
Budaya Kerja dan Etika. Manajemen kinerja yang efektif akan berjalan dengan budaya kerja dan etika yang kuat. ASN harus dijaga integritas, netralitas, dan profesionalitasnya. Faktor yang perlu diperhatikan adalah keteladanan pimpinan, diseminasi dan internalisasi, konsistensi penegakan kode etik, serta habituasi dan aktualisasi perilaku kolaboratif dan berorientasi hasil.
Secara normatif, sembilan dimensi tersebut sejalan dengan ketentuan PermenPANRB Nomor 6 Tahun 2022. Namun, jika disandingkan dengan best practice manajemen kinerja sektor publik global seperti model OECD, World Bank, dan CIPD, masih diperlukan penguatan terhadap empat elemen konseptual yang sering terabaikan karena kompleksitasnya, yakni: keterhubungan antara kinerja dengan pembelajaran organisasi, manajemen kinerja berbasis nilai dan perilaku, keterlibatan pemangku kepentingan eksternal dalam evaluasi, dan pemanfaatan data analitik (data mining) untuk pemantauan adaptif. misalnya pemanfaatan data analitik untuk memprediksi capaian SKP atau kebutuhan pembelajaran organisasi berbasis lesson learned.
Penguatan empat elemen tambahan ini akan membawa manajemen kinerja ASN melampaui tataran administratif menuju transformasional organization. Dimensi kinerja tidak bisa berdiri sendiri dan hanya akan berfungsi optimal bila ditopang oleh disiplin yang kuat, kompetensi yang relevan, dan kualifikasi yang sesuai.
Membangun kinerja ASN yang unggul berarti menanamkan kesadaran bahwa bekerja bukan sekadar memenuhi target, tetapi menghadirkan manfaat nyata bagi masyarakat.
Kini tantangannya bukan lagi bagaimana menilai ASN bekerja, tetapi bagaimana memastikan ASN merasakan pekerjaanya bermakna bagi publik. Ketika ASN dinilai bukan hanya dari jabatan yang disandang, tetapi dari hasil dan kontribusinya terhadap misi organisasi, di situlah letak profesionalitas aparatur yang menjadikan kinerja sebagai wujud pengabdian, bukan sekadar kewajiban.