AYOBANDUNG.ID -- Bagi yang tumbuh besar dengan bahasa Sunda, istilah âleuweung geledeganâ mungkin memunculkan bayangan hutan belantara yang gelap, misterius, bahkan sedikit menyeramkan. Tapi tunggu dulu, begitu kaki melangkah ke Leuweung Gegeledegan Ecolodge (LGE), semua stereotip itu langsung runtuh. Yang tersisa hanyalah udara segar, hijaunya pepohonan, dan suasana alam yang menenangkan jiwa.
LGE bukan sekadar tempat menginap. Tempat ini adalah contoh nyata bagaimana destinasi wisata alam bertransformasi mengikuti zaman. Mengusung konsep glamping atau glamour camping, LGE menyuguhkan pengalaman menginap di âtendaâ yang fasilitasnya setara hotel berbintang. Ada puluhan lodge yang tersedia, lengkap dengan dua restoran, kolam renang tematik, dan lima ruang pertemuan. Semua dirancang agar pengunjung tetap merasa dekat dengan alam, tanpa kehilangan kenyamanan modern.
Di tengah gempuran wisata urban dan digital, LGE tampil beda dengan tetap mengusung semangat pelestarian budaya lokal Sunda. Mulai dari nama tempat, makanan tradisional, hingga permainan rakyat seperti kaleci dan engrang. Bahkan, ada hansip keliling membawa kentongan sebagai pengingat waktu makan. Sebuah sentuhan nostalgia yang tak bisa ditemukan di hotel-hotel konvensional.
Menurut Rizal Ginanjar Cahyaningrat selaku Direktur PT Bogor Wahana Kreasi, LGE bukan hanya soal akomodasi. Namun pihaknya juga ingin membuat pengunjung mendapatkan pengalaman dan kenangan.
"Bagi anak-anaknya, ini pengalaman baru. Bagi orang tua mereka, ini nostalgia. Contohnya kami ada layar tancap alias misbar (gerimis bubar) yang dihadirkan di area hijau terbuka. Itu jadi cara kami menghidupkan kembali tradisi nonton film bersama di alam terbuka," kata Rizal.

Namun, LGE tak hanya menjual romantisme masa lalu. Destinasi sata ini juga merangkul masa depan lewat inovasi edukatif. Ada kebun buah-buahan dan taman bunga yang ditanami varietas langka dari berbagai belahan dunia.
Pengunjung juga bisa belajar mengenali sapote, magic fruits, hingga bunga tabebuya dan jackaranda. Bahkan, bibit tanaman dijual dan pengunjung diajari cara merawatnya. Edukasi ini menggandeng petani lokal dari Cisarua dan Lembang, memperkuat ekosistem ekonomi kreatif berbasis komunitas.
Tren wisata alam seperti ini bukanlah kebetulan. Menurut laporan resmi dari Indonesia.go.id, tren pariwisata 2025 mengarah pada tiga fokus Utama yakni cultural immersion, health and wellness tourism, dan eco-tourism. LGE berada di persimpangan ketiganya. Tempat ini menawarkan pengalaman budaya, kesehatan lewat udara bersih dan aktivitas alam, serta edukasi lingkungan yang berkelanjutan.
Tantangan terbesar destinasi seperti LGE adalah menjaga keseimbangan antara inovasi dan konservasi. Ketika wisata alam makin digandrungi, risiko eksploitasi lingkungan pun meningkat. Di sinilah pentingnya pendekatan berbasis keberlanjutan. LGE dapat menjawab tantangan ini dengan mengedepankan edukasi dan melibatkan komunitas lokal dalam pengelolaan.
âKami menyediakan team building dan edukasi lingkungan untuk anak-anak sekolah. Strategi ini untuk memperluas fungsi wisata alam dari sekadar rekreasi menjadi ruang pembelajaran dan kolaborasi," kata Rizal.

Fenomena glamping seperti LGE juga mencerminkan pergeseran gaya hidup masyarakat urban. Di tengah tekanan kerja dan digitalisasi, banyak orang mencari pelarian ke alam. Tapi bukan sekadar alam liar, mereka menginginkan pula kenyamanan, estetika, dan pengalaman yang bisa dibagikan di media sosial. Maka, spot selfie yang instagramable pun jadi daya tarik tersendiri.
Menariknya, kuliner khas Priangan seperti bajigur, bandrek, dan kue putu yang ditawarkan di tempat ini juga disajikan oleh emang-emang asli yang sehari-hari berjualan di kampung. âKami sengaja bawa mereka ke sini agar pengunjung bisa berinteraksi langsung. Ini akan menjadi pengalaman yang unik bagi para tamu,â ujar Rizal.
Oleh karena itu, dengan pendekatan yang menggabungkan budaya, edukasi, dan kenyamanan tersebut, LGE menjadi contoh bagaimana destinasi wisata alam bisa tetap relevan di era kekinian. Selain menjaditempat berlibur, destinasi ini juga bisa menjadi ruang belajar, ruang nostalgia, dan ruang interaksi lintas generasi.
Apalagi masa depan wisata alam Indonesia ada di tangan inovasi seperti ini. Ketika destinasi mampu beradaptasi dengan tren global tanpa kehilangan akar lokal, maka keberlanjutan bukan lagi mimpi dan menunjukkan bahwa pelestarian alam dan budaya bisa berjalan beriringan dengan pertumbuhan ekonomi dan pariwisata.
âKami nggak cuma pengin orang datang terus pulang bawa foto. Tapi pulang bawa rasa. Rasa kangen sama suasana kampung, rasa dekat sama alam, dan rasa hangat karena bisa ngobrol sama orang-orang di sini,â pungkas Rizal.
Alternatif produk liburan keluarga atau UMKM serupa: