Menakar arah Bandung menuju kota berkelanjutan di tengah kemacetan, sampah, dan krisis ruang hijau.
Bandung, kota dengan sejarah panjang inovasi dan kreativitas, seharusnya memiliki peluang besar untuk tampil sebagai salah satu kota hijau di Indonesia. Dengan warisan alam yang indah, masyarakat yang kreatif, serta ekosistem akademik dan komunitas lingkungan yang aktif, Bandung memiliki semua modal menuju kota berkelanjutan.
Namun kenyataannya, sejak penilaian UI GreenCityMetric tahun 2022 hingga kini, Bandung belum juga menembus sepuluh besar kota hijau di Indonesia. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan kritis: mengapa kota dengan potensi sebesar Bandung justru tertinggal dalam indikator kota berkelanjutan? Secara kasat mata, situasi terkini memperlihatkan bahwa Bandung tengah menghadapi tantangan besar dalam mewujudkan cita-cita kota hijau.
Data dan informasi yang mudah diakses melalui kanal resmi pemerintah maupun pemberitaan publik menunjukkan bahwa Bandung membutuhkan percepatan signifikan menuju nominasi kota berkelanjutan. Tingginya indeks kemacetan di berbagai titik dan waktu tertentu menandakan belum efektifnya pengelolaan mobilitas perkotaan.
Sejumlah proyek pembangunan pun belum menunjukkan hasil nyata, seperti proyek Flyover Nurtanio yang belum fungsional sejak 2022, pembangunan tol dalam kota Bandung Intra Urban Toll Road (BIUTR) sepanjang 27,3 km yang direncanakan sejak 2007, proyek rumah deret Tamansari, dan revitalisasi Pasar Cihaurgeulis yang tak kunjung rampung, hingga rencana pembangunan Underpass Cibiru di Bandung Timur yang belum terealisasi.
Pengelolaan sampah juga menjadi catatan penting. Dari sekitar 1.496 ton sampah yang dihasilkan per hari, hanya sekitar 799,68 ton yang berhasil diangkut ke TPA. Kondisi ini memburuk saat ada perhelatan besar seperti Asia Afrika Festival 2025, yang menyumbang timbunan sampah kertas, plastik, dan bungkus makanan hingga mencapai 21 meter kubik.
Di sisi lain, persoalan banjir di beberapa kawasan terutama Bandung Selatan, menunjukkan lemahnya tata kelola lingkungan perkotaan lintas wilayah. Kualitas udara pun memprihatinkan: indeks kualitas udara (AQI⁺ US) mencapai 153 pada 21 Oktober pukul 14.00, yang dikategorikan tidak sehat.
Sementara itu, pengembangan Ruang Terbuka Hijau (RTH) dari target jangka menengah 20 persen, baru mencapai sekitar 12,8 persen. Meski begitu, angka tersebut masih jauh dari amanat UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang menetapkan proporsi minimal RTH kota sebesar 30 persen dari total wilayah.
Fakta-fakta tersebut memperlihatkan bahwa Bandung masih berjuang keras mengatasi paradoks antara citra kota kreatif dan realitas ekologis yang menekan.
Absennya Bandung dalam daftar utama kota hijau bukan semata karena kurangnya niat. Tantangan utama justru terletak pada keterpaduan sistemik antara kebijakan, data, dan implementasi. Banyak inisiatif hijau berjalan sendiri-sendiri, melalui berbagai inovasi atau proyek perubahan hasil pelatihan. Namun, belum terarah pada indikator penilaian yang diukur secara objektif oleh UI GreenCityMetric.
UI GreenCityMetric menuntut keterpaduan dan konsistensi data dalam setiap aspek yang diukur, Instrumen ini menjadi cermin penting untuk menilai seberapa jauh sebuah kota telah menapaki jalur pembangunan berkelanjutan.
Penilaian UI GreenCityMetric didasarkan pada enam kelompok indikator yang mencerminkan keseimbangan antara aspek ekologi, sosial, dan tata kelola, yaitu: tata ruang dan infrastruktur hijau, efisiensi energi dan mitigasi perubahan iklim, pengelolaan sampah dan air, mobilitas berkelanjutan, peran pendidikan dan riset, serta tata kelola dan partisipasi masyarakat. Penilaian ini bukan sekadar lomba hijau antar kota, melainkan instrumen penting untuk menakar konsistensi kebijakan dan efektivitas tata kelola perkotaan.

Dalam konteks ini, upaya Bandung sebenarnya sudah terlihat. Pemerintah melalui Dinas Lingkungan Hidup berperan dalam pengelolaan limbah dan konservasi ruang terbuka hijau. Dinas Perhubungan berupaya mengembangkan transportasi ramah lingkungan serta mengendalikan emisi kendaraan, sementara Dinas Pekerjaan Umum fokus pada infrastruktur hijau dan drainase berkelanjutan. Bappelitbang sebagai lembaga perencana kota memiliki peran strategis menyinergikan kebijakan lintas sektor agar tidak berjalan terpisah. Perguruan tinggi dan komunitas warga juga turut menjadi penggerak inovasi serta penjaga kesadaran publik terhadap isu lingkungan.
Pemerintah memiliki pekerjaan besar untuk menyatukan kerja antar instansi dalam satu sistem yang terintegrasi. Meminimalisir tumpang tindih kewenangan antar dinas serta memperkuat koordinasi dalam perencanaan dan pelaporan berbasis data.
Tanpa orkestrasi yang kuat antar instansi, berbagai upaya tersebut akan bias dan kehilangan arah dan daya dorong.
Selain persoalan kelembagaan, Bandung juga dihadapkan pada tantangan dalam pengelolaan sumber daya. Kebutuhan air bersih, energi, dan ruang terbuka hijau kerap berbenturan dengan tekanan pembangunan infrastruktur serta laju urbanisasi yang pesat. Volume sampah yang tinggi belum diimbangi dengan kapasitas pengelolaan yang memadai. Pemanfaatan energi terbarukan dan transportasi rendah emisi pun masih terbatas skalanya. Dari sisi kelembagaan, sumber daya manusia yang mengelola isu lingkungan perlu diperkuat, baik dalam kapasitas teknis maupun kemampuan berpikir strategis lintas sektor.
Tantangan lain yang tak kalah penting adalah soal sumber daya anggaran. Program keberlanjutan lingkungan sering kali tidak mendapat alokasi dana yang memadai atau hanya bersifat jangka pendek tanpa kesinambungan yang jelas. Fokus fiskal pemerintah kota masih cenderung diarahkan pada pembangunan fisik dan pelayanan dasar, sementara program lingkungan hidup tersebar dalam berbagai pos terbatas.
Akibatnya, sulit menilai dampak komprehensif terhadap indikator kota hijau. Padahal, keberhasilan menuju kota hijau memerlukan pola anggaran yang konsisten, terukur, dan berbasis hasil, bukan sekadar kegiatan. Keterbatasan fiskal dan prioritas jangka pendek sering membuat agenda lingkungan hidup terpinggirkan dari arus utama pembangunan daerah.
Di luar aspek struktural dan sumber daya, tantangan terbesar justru terletak pada budaya masyarakat perkotaan itu sendiri. Masih banyak warga yang memandang isu lingkungan sebagai urusan pemerintah, bukan tanggung jawab bersama. Perubahan perilaku menuju gaya hidup hijau, seperti memilah sampah, menghemat energi, atau menggunakan transportasi publik masih menjadi pekerjaan rumah.
Bahkan, pergantian kepemimpinan daerah kerap mengubah arah kebijakan sebelum program hijau benar-benar matang. Hal ini menjadi pengingat bahwa menuju kota hijau bukanlah program “sim slabim”, melainkan perjalanan panjang yang memerlukan komitmen lintas waktu, lintas generasi, dan lintas kepemimpinan.
Untuk menjawab tantangan tersebut, Bandung perlu mengembangkan program unggulan yang menjadi motor perubahan menuju kota hijau. Program semacam Zero Waste City atau pengembangan kawasan Net Zero Emission (NZE) yang merujuk pada Perpres Nomor 110 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Instrumen Nilai Ekonomi Karbon (NEK), dapat menjadi ikon transformasi baru bagi kota ini. Namun, keberhasilan program semacam itu tidak hanya ditentukan oleh teknologi atau kebijakan, tetapi sejauh mana masyarakat dilibatkan secara aktif.
Kesadaran lingkungan harus dibangun dari keluarga, sekolah, hingga komunitas, agar gerakan menuju kota hijau tidak berhenti sebagai jargon administratif. Kolaborasi antara pemerintah, perguruan tinggi, dan komunitas kreatif yang menjadi ciri khas Bandung dapat menjadi kekuatan besar untuk mendorong perubahan. Masyarakat bukan hanya menjadi penikmat kebijakan, tetapi bagian dari proses perencanaan dan pengawasan, memastikan setiap langkah menuju kota hijau berjalan dengan transparan dan berkelanjutan.
Ketiadaan nama Bandung dalam daftar sepuluh besar kota hijau di Indonesia tahun 2025 bukanlah tanda kegagalan, melainkan cermin dari pekerjaan besar yang belum tuntas. Potensi dan kapasitas yang dimiliki kota ini sesungguhnya sangat besar, namun membutuhkan sistem yang lebih terukur, kolaboratif, dan berorientasi pada hasil.
Kota hijau bukan hanya tentang taman yang rindang, tetapi juga tentang cara berpikir, mengelola, dan hidup dengan kesadaran keberlanjutan. Jika Bandung mampu membangun sinergi antara kebijakan, data, inovasi, dan partisipasi publik, maka predikat kota hijau bukan sekadar peringkat dalam tabel UI GreenCityMetric, melainkan identitas baru bagi kota yang terus belajar menjaga keseimbangan antara kemajuan, budaya, dan kelestarian alam. (*)