Bandung Raya, kawasan metropolitan yang membentang dari Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, hingga Cimahi, sejak lama dikenal sebagai wilayah dengan lanskap yang memesona.
Dikelilingi pegunungan, beriklim sejuk, dan memiliki sejarah panjang dalam perencanaan kota tropis, kawasan ini seharusnya menjadi kandidat kuat untuk menempati posisi puncak dalam pemeringkatan UI GreenCity Metrics 2025, hal ini merupakan sebuah inisiatif yang menilai kinerja keberlanjutan kota berdasarkan enam dimensi yaitu tata guna lahan dan infrastruktur, energi dan mitigasi perubahan iklim, pengelolaan limbah, pengelolaan air, transportasi dan mobilitas, serta pendidikan dan kesadaran masyarakat.
Namun kenyataannya, tak satu pun kota atau kabupaten di Bandung Raya berhasil menembus 10 besar peringkat nasional tahun 2025. Padahal di sisi lain, kota-kota seperti Surabaya, Denpasar, dan Balikpapan justru konsisten berada di papan atas. Ketimpangan ini bukan sekadar angka di tabel pemeringkatan, tetapi potret bahwa Bandung Raya sedang berada di persimpangan antara idealisme hijau dan realitas urban yang terus menekan daya dukung lingkungannya.
Mengapa kawasan yang identik dengan kreativitas, inovasi, dan sejarah pergerakan ini justru tertinggal dalam kompetisi keberlanjutan kota?
Keterputusan Visi Antarwilayah

Salah satu kunci penilaian GreenCity Metrics adalah adanya citywide approach, hal ini melihat sejauh mana pemerintah daerah membangun integrasi lintas sektor dan wilayah dalam mengelola lingkungan hidup.
Di sinilah titik lemah Bandung Raya. Kota Bandung mungkin memiliki visi “Bandung Utama” dengan semangat smart dan green city, namun Kabupaten Bandung dan Bandung Barat membawa prioritas yang berbeda, cenderung pragmatis pada kebutuhan infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi.
Koordinasi antardaerah dalam kawasan metropolitan ini masih bersifat event-based yang muncul ketika ada program nasional atau kompetisi, namun tak berlanjut menjadi sistem kolaboratif yang berkelanjutan. Isu transportasi publik misalnya, dikelola secara terpisah, Kota Bandung mengembangkan sistem bus listrik, sementara Kabupaten Bandung berjuang menata angkot.
Padahal, tanpa integrasi antarwilayah, upaya pengurangan emisi dan efisiensi energi sulit tercapai secara sistemik. UI GreenCity Metrics menilai koordinasi semacam ini sebagai indikator kunci dalam dimensi tata guna lahan dan transportasi berkelanjutan. Ketika koordinasi minim, skor pun ikut merosot.
Bandung Raya ibarat rumah besar dengan empat kamar yang indah, tapi tiap kamar sibuk menata diri sendiri tanpa memperhatikan atap yang bocor.
Pertumbuhan Kota yang Tidak Terkendali
Selama dua dekade terakhir, Bandung Raya menghadapi tekanan urbanisasi yang masif. Data BPS menunjukkan bahwa populasi gabungan keempat wilayahnya kini melampaui 8 juta jiwa. Pertumbuhan ini diiringi oleh ekspansi kawasan perumahan, industri, dan komersial yang menekan ruang terbuka hijau (RTH).
Kota Bandung, misalnya, hanya memiliki sekitar 12 persen RTH publik dari total luas wilayahnya, capaian ini jauh di bawah target nasional 30 persen. Kabupaten Bandung Barat pun menghadapi deforestasi mikro akibat maraknya alih fungsi lahan di kawasan Lembang dan Padalarang.
Dalam konteks GreenCity Metrics, kondisi ini berdampak langsung pada dimensi land use and infrastructure, yang menilai keseimbangan antara ruang hijau dan ruang terbangun. Kota-kota seperti Denpasar dan Balikpapan unggul karena mampu menahan laju urbanisasi sekaligus memperkuat fungsi ekologis ruang publiknya. Sementara Bandung Raya terjebak dalam paradoks: semakin banyak proyek revitalisasi taman dan trotoar di pusat kota, tetapi ruang hijau di pinggiran justru terus tergerus.
Di atas kertas, program “Citarum Harum” menjadi salah satu kebijakan ikonik yang seharusnya mendongkrak citra hijau Jawa Barat. Namun dalam praktiknya, penanganan sungai ini belum menyentuh dimensi tata kelola air perkotaan secara utuh. Sampah rumah tangga, limbah domestik, hingga sedimentasi masih menjadi persoalan sehari-hari. Hasilnya, skor Bandung Raya di dimensi water management tetap tertinggal jauh dari kota-kota pesisir yang lebih terorganisir.
Ketimpangan Antara Inovasi dan Implementasi

Bandung dikenal sebagai kota inovasi. Banyak kampus dan komunitas kreatif yang melahirkan ide-ide urban hijau seperti taman tematik, pengelolaan sampah digital, hingga konsep eco-village. Namun, dalam konteks GreenCity Metrics, inovasi semata tidak cukup.
Penilaian UI GreenCity menekankan bukti konkret, indikator kuantitatif, serta konsistensi implementasi kebijakan. Kota Bandung kerap unggul dalam presentasi konsep, tetapi tertinggal dalam dokumentasi dan bukti terukur. Misalnya, proyek transportasi listrik belum memiliki data valid tentang dampak penurunan emisi COâ‚‚, sehingga tidak bisa diakui sebagai capaian dalam indikator energi dan mitigasi iklim.
Inilah yang menjelaskan mengapa banyak kota besar yang lebih “senyap” justru bisa menyalip Bandung Raya. Surabaya misalnya, memiliki sistem waste-to-energy yang terukur dan terdokumentasi baik, dengan pengelolaan bank sampah di 500 lebih titik. Sementara Bandung masih bergulat dengan krisis TPA Sarimukti dan tumpukan sampah di bantaran sungai. Ketika data dan kebijakan tidak berjalan seirama, keberlanjutan hanya menjadi jargon.
Keterbatasan bukti administrasi dan sistem pelaporan juga menjadi tantangan. Berdasarkan template evidence yang digunakan dalam penilaian UI GreenCity, setiap kota harus menyiapkan dokumen pendukung mulai dari rencana aksi, laporan emisi, hingga dokumentasi foto lapangan. Banyak pemerintah daerah yang gagal bukan karena tidak memiliki program, tetapi karena tidak siap dengan evidence-based reporting. Bandung Raya pun tidak luput dari masalah ini.
Edukasi Lingkungan Belum Menjadi Gerakan Sosial
Dimensi terakhir dalam GreenCity Metrics yaitu pendidikan dan kesadaran masyarakat, hal ini menjadi cermin sejati dari budaya kota. Di Bandung Raya, edukasi lingkungan sering kali berhenti di tataran kampanye musiman seperti lomba kebersihan, penghijauan sekolah, atau festival lingkungan. Padahal kota yang berkelanjutan menuntut perubahan perilaku warga secara kolektif dan berkelanjutan.
Program pemilahan sampah rumah tangga misalnya, belum benar-benar menjadi kebiasaan. Transportasi publik masih dianggap opsi terakhir, bukan pilihan sadar. Kesadaran warga untuk mengurangi konsumsi energi juga masih rendah. Dalam hal ini, Bandung Raya kalah jauh dibandingkan kota-kota seperti Denpasar yang memiliki kurikulum lingkungan sejak sekolah dasar, atau Balikpapan yang melibatkan komunitas warga dalam pengawasan drainase dan kebersihan sungai.
Kesadaran ekologis bukan hanya soal regulasi, tetapi budaya. Dan Bandung, dengan segala potensi kreativitasnya, justru kehilangan momentum untuk menjadikan isu hijau sebagai bagian dari gaya hidup urban baru. GreenCity Metrics menilai hal-hal seperti ini bukan dari seberapa besar kampanye dilakukan, tetapi dari sejauh mana warga terlibat dalam praktik nyata.
Momentum untuk Berbenah

Ketertinggalan Bandung Raya dalam peringkat GreenCity Metrics seharusnya tidak dibaca sebagai kegagalan, melainkan peringatan. Indeks ini memberi cermin bahwa pembangunan kota kini tak lagi cukup diukur dari pertumbuhan ekonomi atau infrastruktur, melainkan dari daya tahan ekologisnya. Bandung Raya perlu menggeser paradigma pembangunan dari “kota yang keren” menjadi “kota yang bertahan”.
Artinya, perlu ada perubahan pada tiga lapis utama yaitu tata kelola kawasan metropolitan yang integratif, kebijakan berbasis data dan bukti nyata, serta transformasi budaya warga. Pemerintah daerah perlu membangun sistem pelaporan lingkungan terpadu antarwilayah, memperkuat jejaring akademik untuk riset data emisi dan energi, serta menghidupkan kembali peran masyarakat dalam pengawasan lingkungan. Tanpa itu, kota ini akan terus bergerak cepat, tetapi menuju arah yang salah.
UI GreenCity Metrics bukan sekadar ajang kompetisi, melainkan panggilan untuk introspeksi dalam memandang sejauh mana kota kita siap menghadapi masa depan yang semakin panas, padat, dan tidak pasti. Bandung Raya, dengan seluruh sejarah dan kecerdasan warganya, punya semua bahan untuk bangkit. Tapi seperti halnya gunung yang mengelilinginya, keindahan tidak cukup, yang dibutuhkan adalah keteguhan menjaga keseimbangan.
Bandung pernah menjadi simbol kemajuan dan perlawanan terhadap ketimpangan. Kini, tantangan baru hadir dalam bentuk lain yaitu menjaga kelestarian di tengah tekanan urban. Kegagalan masuk 10 besar UI GreenCity Metrics 2025 seharusnya tidak membuat Bandung Raya kecil hati, tetapi sadar diri. Sebab kota hijau bukan dibangun dari penghargaan, melainkan dari kebiasaan seperti dari keputusan kecil warga yang memilih berjalan kaki, menanam pohon, dan memilah sampahnya sendiri.
Bandung Raya masih punya waktu untuk menulis ulang kisahnya. Bukan sebagai kota yang pernah hijau, tapi sebagai kota yang memilih untuk hijau lagi, dan selamanya. (*)