Sore itu seorang ibu pulang dari pasar. Di tangannya, lima kantong plastik berisi sayur, telur, dan daging segar. Sesampainya di rumah, anaknya membuka keripik, lalu membuang bungkusnya ke selokan tanpa berpikir panjang.
Di gang sebelah, anak-anak menikmati es batu dalam plastik bening yang langsung tergeletak di pinggir jalan. Semua berlangsung begitu biasa, seolah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Padahal, data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan bahwa Indonesia menghasilkan lebih dari 60 juta ton sampah setiap tahun, dan hampir seperlimanya adalah plastik.
Jika selembar plastik kecil saja bisa bertahan ratusan tahun di bumi, pernahkah kita bertanya dalam hati ke mana semua plastik yang kita buang itu pergi? Pertanyaan ini jarang muncul karena efeknya tidak terasa hari ini tetapi diam-diam sedang mengganggu tanah, air, dan tubuh manusia.
Plastik dibuat dari bahan berbasis minyak bumi dan gas alam. Ia dirancang kuat, lentur, dan tidak mudah rusak karakteristik yang membuatnya disukai industri. Namun justru karena sifat “tahan lama” itulah, plastik menjadi mimpi buruk bagi alam.
Ia tidak bisa terurai oleh mikroorganisme seperti daun atau makanan sisa; plastik hanya hancur menjadi serpihan kecil yang disebut mikroplastik. Penelitian yang dilakukan L. Rochman pada tahun 2016 menemukan bahwa partikel mikroplastik dapat masuk ke tubuh manusia melalui ikan laut, garam dapur, dan air minum.

Artinya, plastik yang kita buang hari ini berpotensi kembali masuk ke tubuh kita dalam bentuk yang tak terlihat, membawa risiko kesehatan yang belum sepenuhnya kita pahami.
Dari sisi sosial dan lingkungan, plastik adalah cermin dari gaya hidup modern yang tidak memikirkan konsekuensi jangka panjang. Teori Ecological Modernization menjelaskan bahwa perubahan teknologi dan ekonomi tanpa keseimbangan lingkungan menciptakan masalah baru yang lebih kompleks.
Konsumsi plastik di Indonesia meningkat seiring kemudahan belanja, makanan cepat saji, dan barang murah yang dikemas menarik. Laporan World Bank (2021) menunjukkan bahwa negara-negara berkembang mengalami lonjakan sampah plastik akibat urbanisasi dan budaya praktis yang makin mengakar. Di kota, plastik menumpuk di TPA yang sudah hampir penuh. Di desa, plastik sering dibakar karena ketiadaan fasilitas pengolahan sampah menghasilkan asap beracun yang perlahan masuk ke paru-paru kita.
Yang membuat persoalan ini semakin rumit adalah cara kita memandang sampah. Kita terbiasa berpikir bahwa sampah adalah urusan pemerintah, truk pengangkut, atau petugas kebersihan. Sikap “asal buang” menjadi normal. Inilah yang disebut sebagai tragedy of the commons: ketika ruang publik dimanfaatkan secara bebas, namun tanggung jawabnya dihindari. “
Tidak apa-apa, hanya satu plastik,” begitu kata banyak orang.
Namun jutaan “satu plastik” berubah menjadi banjir di selokan, bau busuk di sungai, dan tumpukan hitam di pesisir pantai. Kita baru tersadar ketika dampaknya menghampiri rumah air got meluap, anak-anak sakit kulit, ikan yang dibeli di pasar terasa amis dan mencurigakan.
Meski begitu, harapan selalu ada ketika manusia bergerak bersama. Banyak warga membentuk bank sampah, menukar plastik dengan uang atau produk kebutuhan rumah tangga. Beberapa masjid menginisiasi program “Masjid Hijau,” mengumpulkan sampah plastik setelah acara keagamaan lalu menjualnya untuk kegiatan sosial. Tindakan kecil seperti membawa tas kain sendiri, memakai botol minum isi ulang, atau memilah sampah di rumah mungkin terlihat sederhana. Namun ketika dilakukan banyak orang secara konsisten, dampaknya bisa jauh lebih besar dari yang kita bayangkan.
Baca Juga: Trotoar di Bandung Semrawut: Dari Jalur Aman Menjadi Arena Berebut Ruang
Sampah plastik bukan hanya soal benda bekas yang tidak terpakai ia merefleksikan siapa kita sebagai masyarakat. Kita terbiasa dengan kenyamanan cepat, tetapi lupa bahwa bumi tidak memiliki kemampuan yang sama untuk membersihkan diri. Jika kita terus bersikap acuh, generasi yang akan datang mungkin tumbuh di lingkungan yang airnya tercemar, sungainya mati, dan lautnya penuh partikel plastik.
Coba bayangkan dua puluh tahun lagi: apakah anak-anak masih bisa berenang di sungai tanpa rasa takut? Apakah ikan laut masih bisa dikonsumsi tanpa rasa khawatir? Atau apakah kita akan hidup di kota-kota yang tampak bersih, namun beracun secara diam-diam?
Perubahan tidak dimulai dari kebijakan megah atau kampanye besar. Perubahan dimulai dari pilihan kecil di dapur, di pasar, di warung, bahkan di kantong belanja kita. Pertanyaan yang tinggal kita jawab adalah apakah kita benar-benar ingin menunggu bumi menyerah, sebelum berhenti berkata “ini cuma satu plastik”? (*)
