Trotoar di Bandung semakin kehilangan fungsinya karena pedagang dan pengendara motor maupun mobil terus mejajah ruang publik. Penertiban dan pengawasan yang masih belum konsisten membuat pejalan kaki selalu menjadi korban akan hal tersebut.
Kota Bandung tempat yang sendu dan cocok untuk berjalan kaki sambil melihat kendaraan yang berlalu-lalang. Tetapi sayangnya hal tersebut lebih banyak berlaku di sekitar kota Bandung-nya saja dan bukan diseluruh Bandung-nya. Tidak semua warga Bandung dapat menikmati hal yang sama yaitu berjalan di trotoar yang layak. Kurangnya awarness dari pemerintah dan staff membuat warga ikut terbawa dan tidak peduli akan trotoar sendiri.
Banyak mahasiswa, salah satunya Clarissa Augusta Julian, menggambarkan trotoar sekitar kampus sebagai ruang yang kacau dan sering diserobot motor saat macet. Ia menilai lapak pedagang membuat jalur semakin sempit dan membuat langkah pejalan kaki terputus-putus setiap harinya. Kondisi ini menciptakan suasana yang tidak aman meski area di area pendidikan yang seharusnya terasa tertib dan nyaman.

Sejumblah pedagang tetap membuka lapak di jalur pedestrian sehingga pejalan kaki sering turun ke bahu jalan. Perempuan berkulit putih itu berharap pemerintah menyediakan zona khusus agar pedagang tidak lagi mengambil ruang trotoar sepenuhnya. Tanpa penataan jelas, konflik ruang akan terus berulang dan merugikan masyarakat umum.
“motor sering naik trotoar buat nyelip waktu macet,” ungkapnya.
Ia menambahkan bahwa situasi itu membuat pejalan kaki merasa tidak aman saat bergerak. Pelanggaran tersebut menunjukan lemahnya pengawasan di titik lalu lintas paling padat.
Di beberapa Lokasi, hambatan tidak hanya datang dari pedagang dan motor tetapi juga tiang listrik, papan iklan, serta pepohonan yang tidak tertata. Situasi itu menjadi bukti bahwa wali kota Bandung Muhammad Farhan belum menempatkan pedestrian sebagai priotitas tata kota yang utama. Penataan penyeluruh diperlukan agar teotoar tidak lagi menjadi ruang sisa.
Annisa Salsabilla salah satu mahasiswa yang berdomisili di Bandung Timur pun turut menyoroti masalah pada fasilitas umum di Bandung yang tidak ramah pejalan kaki.
“Trotoar harus jadi ruang publik yang aman dan pastinya nyaman ya,” ucapnya.
Perempuan berambut panjang itu menyebut perlunya pembatas fisik supaya motor tidak dapat naik seenaknya. Kurangnya tindakan tegas dan pengawasan selama ini dianggap memperbutuk kebiasaan pengguna jalan
Perempuan berkulit sawo matang itu menambahkan bahwa daerah Cihapit, Setiabudi dan sekitar taman kota menjadi titik terpadat pedagang. Beberapa ruang pedestrian bahkan tak lagi dapat difungsikan sebagai jalur berjalan normal setiap harinya. Situasi itu menunjukan kebutuhan mendesak untuk perbaikan yang lebih sistematis.
Menurut Perempuan tersebut, sebegai warga asli bandung itu menilai komunikasi pemerintah soal aturan pedestrian yang masih minim dan kurang ditekankan publik.
“Oleh pemkot bandung snediri kurang terhighlight” katanya.
Ia menilai, solusi yang dilakukan pemerintah Farhan masih lemah. Ketidakhadiran edukasi publik membuat perilaku menyimpang terus dianggap hal biasa.
Kondisi trotoar Bandung menunjukan bahwa masalahnya bukan semata desain fisik tetapi juga budaya ketidakpeduliaan Bersama. Tanpa pengawasan konsisten dan ruang alternatif bagi pedagang, penyerobotan jalur pejalan kaki akan terus berulang. Bandung membutuhkan pemimpin yang berani menegakan agar ruang publik kembali pada fungsi semsetinya. (*)
