Seorang pendakwah Gen Z, Habib Ja’far, membuat unggahan menanggapi beredarnya video seorang pria yang tetap melaksanakan salat dengan khusyuk di tengah badan jalan pasca banjir di Pidie Jaya, Aceh. Postingan video itu diberi judul, “Islam itu mudah. Mulut sebagian kita yang bikin repot.”
Dalam penjelasannya, Habib Ja’far menyampaikan salat yang dilakukan pria memakai kaos putih dan celana army merupakan wujud rasa syukur karena masih diberi keselamatan dari banjir bandang yang melanda wilayah itu. Meski banyak harta yang hilang dan rumah-rumah rusak, seorang hamba tetap menjalankan ibadah sebagai bentuk ketundukan kepada Tuhan.
Di tengah situasi seperti ini, Allah SWT adalah sebaik-baiknya tempat mengadu, mencurahkan segala keluh, memohon ampun atas segala khilaf, dan berserah diri atas apa pun yang terjadi.

Bencana Terbesar itu Saat Meninggalkan Salat
Seperti kita ketahui terjadi bencana alam yang begitu dahsyat kepada saudara-saudara kita di Sumatera dan yang lebih mengerikan dari bencana alam adalah bencana yang ditimbulkan oleh lisan dan tangan kita yang berkata-kata yang buruk terhadap mereka yang menjadi korban bencana.
Seperti yang terjadi kepada video viral tentang seorang korban bencana yang salat di atas lumpur dan sebagian orang masih berkomentar ih lebai, ngapain sampai salat di atas lumpur, kenapa enggak di tempat lain yang lebih tepat.
Itu adalah kata-kata yang bukan hanya tidak empati, tapi muncul dari kebodohan, sebab...
Merujuk kepada riwayat Sayidina Said Al-Kudri, salah seorang sahabat nabi tentang Nabi Muhammad yang pernah salat di atas lumpur ketika terjadi hujan di zaman Nabi Muhammad,
Karena itu menurut para ulama boleh salat di atas lumpur selama lumpur tersebut tidak terlihat, tercium atau tampak secara nyata terkena sesuatu yang najis, karena pada dasarnya tanah dan air itu suci dan mensucikan.
Lagi pula kata Nabi Muhammad yang membedakan antara kita dengan kekafiran itu salat, karena itu apapun keadaannya, tetaplah salat seminimal-minimalnya untuk menghormati salat sesegera mungkin, dan jika masih ada waktu bisa melakukan kembali salat dalam keadaan yang lebih sempurna, maka diulangi salatnya, dan ketika nabi mengalami kesedihan yang begitu besar, Allah menghibur nabi dengan healing berupa mikraj.
Temu dengan Allah dan diberi hadiah untuk menghibur beliau berupa salat, karena itu salat adalah hiburan terbesar dan teragung bagi seorang dengan bencana apapun dan apa yang hilang dari seseorang kalau dia masih memiliki Allah dan apa yang dimiliki oleh seseorang sekaya apapun kalau dia sudah kehilangan Allah dengan salat berarti kita masih terhubung dengan Allah, sehingga apapun bencana yang mengalami kita kalau kita masih tetap salat maka hidup.
Akan terasa baik-baik saja, tapi semewah apapun kehidupan kita, kalau kita tidak salat, maka sejatinya hidup kita bukan sedang tidak baik-baik saja, tapi itulah bencana yang terbesar yaitu meninggalkan salat.

Hilangnya Keteladanan dan Kedewasaan Beragama
Saat asyik menyimak penjelasan Habib Ja’far dan membaca komentar para warganet yang merasa paling benar, Aa Akil, anak kedua yang tinggal menghitung hari menginjak usia 11 tahun, tiba-tiba berkomentar polos dan menohok.
Salat adalah kewajiban seorang muslim. Dalam kondisi apa pun kita tidak boleh meninggalkan salat. Selama orang masih bisa berkedip, maka wajib salat.
Perkataan sederhana bocah kelas itu seakan menjadi pengingat atas keteguhan dalam beribadah kadang justru paling murni datang dari hati yang masih jernih, keteladanan dan kedewasaan dalam ibadah.
Bila pemuka agama, pemimpin, tokoh masyarakat tidak lagi memberikan teladan yang menginspirasi, maka mereka tidak layak menjadi panutan bersama.
Terlebih ketika bencana dijadikan bahan kampanye dan modal politik, sehingga segala cara dihalalkan untuk mendongkrak popularitas, elektabilitas, bahkan menjatuhkan lawan dalam kontestasi politik. Sikap demikian pada dasarnya telah merendahkan ajaran suci agama (pemahamannya tentang agama) dan menjadi bukti nyata hilangnya keteladanan serta kedewasaan dalam beragama.
Sungguh tepat apa yang dikatakan Max Müller, tokoh studi agama-agama, seseorang yang hanya mengetahui satu agama pada hakikatnya tidak mengetahui apa-apa tentang agama, termasuk agamanya sendiri. Ketidaktahuan dalam urusan beragama dapat melahirkan kebencian yang pada akhirnya berujung pada pertumpahan darah.
Konten-konten di media sosial sering kali justru mempropagandakan kebencian dan menyebarkan berita hoaks yang melanggar etika bermedia sosial.
Padahal, pemimpin sering kali lahir dari lingkungan keluarga, masyarakat, dan pendidikan anak serta remaja di tengah masyarakat yang multietnis.
Informasi terkait bencana alam kini beredar luas di media sosial. Namun, tidak semuanya dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Sebagian informasi justru menyesatkan dan menimbulkan kegaduhan.
Psikolog Danti Wulan Manunggal menyebutkan ihwal informasi keliru (hoaks) dapat berdampak pada psikologis korban bencana. Saat bencana terjadi, para korban berada dalam fase kerentanan ekstrem, sehingga mudah terpapar hoaks. Dampaknya, mereka dapat mengalami ketakutan irasional yang menguras energi.
“Dalam situasi krisis, kapasitas otak untuk memproses informasi menurun drastis karena stres. Hoaks menambah kebisingan informasi. Korban akhirnya dibombardir dengan info yang saling bertentangan,” tegasnya.
Ingat, berita hoaks sangat berdampak pada penanganan bencana. Hoaks dapat mengacaukan operasi penyelamatan yang seharusnya terstruktur dan efisien.

Cara Agar Tidak Terpapar Informasi
Paling tidak ada beberapa cara yang dapat dilakukan korban bencana maupun masyarakat luas agar tidak terpapar hoaks. Berikut tipsnya.
Untuk Korban Bencana (Penyintas)
1. Terapkan diet informasi
Secara psikologis, terlalu banyak menerima informasi dapat memicu kecemasan. Karena itu, korban bencana perlu membatasi pengecekan ponsel.
Pilih satu (dua sumber) resmi saja, misalnya radio posko, akun resmi BMKG, BNPB, atau ketua RT/RW setempat. Abaikan grup WhatsApp keluarga yang sering panik tanpa verifikasi.
2. Gunakan teknik “jeda 10 detik” (pengereman amigdala)
Saat menerima kabar yang memicu panik, misalnya air banjir naik, jangan buru-buru percaya. Tarik napas dalam, hitung sampai sepuluh. Cara ini memberi waktu bagi logika untuk mengambil alih dari rasa takut. Lantas amati sekitar, apakah relawan panik? Apakah sirine berbunyi? Jika tidak, kemungkinan itu hoaks.
3. Verifikasi lewat jalur fisik di lokasi bencana
Kepercayaan terbaik datang dari kontak langsung, bukan teks digital. Jika ada kabar menakutkan, tanyakan langsung pada petugas berseragam (relawan) di lokasi.
Untuk Masyarakat Luas (Warganet dan Keluarga Jauh)
1. Prinsip “saring sebelum sharing”
Sebelum membagikan informasi bencana, ajukan pertanyaan ini pada diri sendiri. “Apakah informasi ini akan membuat korban lebih tenang dan terbantu, atau justru membuat mereka panik?” Jika jawabannya “membuat panik” dan sumbernya tidak jelas, jangan dibagikan.
2. Hindari “doom-scrolling” dan dramatisasi
Jangan membagikan foto (video) lama yang didaur ulang dengan narasi dramatis. Ini dapat memicu vicarious trauma (trauma sekunder) bagi pembaca dan post-traumatic stress disorder (PTSD) bagi korban.
Lebih baik bagikan informasi solutif, seperti lokasi dapur umum, nomor darurat yang aktif, kebutuhan logistik mendesak.
3. Jadilah “pemutus rantai” di grup WhatsApp keluarga
Hoaks sering bermunculan di grup keluarga. Jika ada yang membagikan informasi tidak jelas, balas dengan sopan namun tegas, misalnya, “Mohon maaf, infonya dari mana? Jika belum ada konfirmasi resmi, sebaiknya kita tahan dulu supaya tidak membuat panik saudara kita di sana.” (Kompas.com, 4 Desember 2025, 12:21 WIB)
Memang saat terjadi bencana, arus informasi yang deras di media sosial tidak selalu membawa kebenaran. Banyak di antaranya justru menyesatkan, menciptakan kegaduhan baru di tengah suasana yang sudah penuh tekanan.
Media sosial, yang seharusnya menjadi ruang berbagi informasi, kerap berubah menjadi pasar gelap emosi mulai dari marah, takut, cemas, sampai prasangka dijual bebas tanpa kontrol etika. Hoaks menyebar lebih cepat daripada pertolongan. Tragisnya, masyarakat yang tengah dirundung bencana (mereka yang paling rentan) justru menjadi sasaran empuk manipulasi.
Bencana bukan hanya menguji kesiapan fisik dan mental masyarakat sekaligus menguji kedewasaan moral kita bersama. Keteladanan tidak lahir dari slogan, gelar, posisi, ritual, melainkan dari sikap kejujuran, empati, keberanian yang menenangkan, tindakan yang menolong, dan kemampuan menjaga kemanusiaan dalam kondisi paling genting, kekacauan.
Di sanalah pemimpin sejati diuji, karena dari terpaan inilah harapan tumbuh kembali. Terlebih lagi, saat dunia limbung, yang dibutuhkan bukan suara yang paling keras, tetapi yang paling jernih.
Walhasil, dari bencana inilah kita belajar ihwal pemimpin sejati bukanlah mereka yang tampil paling menonjol di layar, melainkan mereka yang mampu menenangkan, melindungi, dan memanusiakan. Hatta, ketika dunia sedang runtuh, alam unjuk kekuatannya. (*)
