AYOBANDUNG.ID - Metro Jabar Trans (MJT) resmi diluncurkan pada 1 Januari 2025 sebagai wajah baru dari Bus Rapid Transit (BRT) Bandung Raya.
Dengan enam rute aktif dan tarif terjangkau, pemerintah menggadang MJT sebagai solusi atas kemacetan akut yang melanda kawasan aglomerasi Bandung Raya.
Namun di balik semua niat baik pemerintah ini, ini, tersimpan bibit-bibit konflik yang mengancam kehidupan para sopir dan pemilik angkutan kota (angkot) konvensional.
"Jangan sampai ketika ada MJT kami jadi terpinggirkan atau bahkan mati," ujar Budi Kurnia, Ketua Koperasi Angkutan Masyarakat (Kopamas) Kota Bandung.
Mengutip laporan BPS yang terakhir diperbarui 1 Maret 2024, di Kota Bandung terdapat 1.131 armada angkot.
MJT sejatinya hadir sebagai bagian dari transformasi sistem transportasi terintegrasi di kawasan aglomerasi Bandung Raya.
Dengan 85 unit armada dan rencana ekspansi hingga 21 koridor serta penggunaan bus listrik sebesar 40%, MJT digadang menjadi tulang punggung mobilitas urban yang efisien, ramah lingkungan, dan terjangkau.
Tarifnya pun dibuat bersubsidi: Rp4.900 untuk umum, dan hanya Rp 2.000 bagi anak berseraham dan para lansia.

Peluncuran ini juga menjadi konsekuensi dari dihentikannya pembiayaan BRT oleh Kementerian Perhubungan, dan penyerahan operasional ke Pemerintah Provinsi Jawa Barat.
Tak tanggung-tanggung, anggaran operasional MJT sebesar Rp121 miliar telah disiapkan dari APBD provinsi untuk memastikan layanan tetap berjalan selama masa transisi ini.
Rerouting: Gagasan Baik yang Jadi Simalakama
Namun, di balik transformasi itu, menyembul keresahan soal penataan ulang trayek angkot agar berfungsi sebagai feeder MJT. Maksudnya, angkot diarahkan untuk menjangkau pemukiman dan menyalurkan penumpang ke koridor utama MJT.
"Kalau teknisnya asal main ubah jalur, bisa chaos. Kita pernah alami saat ada acara dan jalur berubah, angkot dari empat trayek numpuk di satu jalan. Sopir rebutan penumpang," kata Budi.
Menurutnya, angkot dan trayek telah terikat secara historis dan ekonomis.
Perubahan mendadak, apalagi tanpa kajian matang, bisa menimbulkan konflik antar sopir, belum lagi soal kerugian besar para pengusaha angkot.
Sebagai informasi saja, dalam lima tahun terakhir, pendapatan penguasaha angkot terjun bebas.
Dari setoran harian sekitar Rp170.000, kini paling banter menyentuh Rp80.000–Rp100.000. Sementara itu, biaya operasional seperti BBM dan harga suku cadang malah terus meroket.
Di sisi lain, angkutan umum seperti MJT atau Trans Metro Pasundan (TMP) mulai menjadi pilihan warga karena lebih murah dan efisien.
Seperti diungkapkan Amelia, warga Soreang, yang kini lebih memilih TMP ketimbang angkot trayek Soreang–Leuwipanjang.
"Angkot sering berhenti, tarifnya mahal, dan macet. TMP lebih cepat karena lewat tol dan lebih murah," ujarnya.
Saat tampuk Jabar dipegang Pj. Gubernur Jawa Barat, Bey Triadi Machmudin, dia menegaskan, kehadiran MJT tidak akan menggusur angkot.
Sebaliknya, pemerintah bahkan ingin meniru model integrasi ala JakLingko Jakarta, di mana seluruh moda disinergikan.

Kepala Dinas Perhubungan Kabupaten Bandung, Hilman Kadar, menyatakan trayek-trayek seperti Soreang–Ciwidey dan Soreang–Banjaran akan disesuaikan agar menjadi feeder.
Ia menegaskan bahwa angkot bukan saingan MJT, melainkan pelengkap layanan.
"Feeder itu memanfaatkan angkutan eksisting. Supaya MJT tidak mematikan, tapi justru memperluas akses warga," katanya.
Namun, sampai hari ini, proses duduk bersama antara pemerintah, operator MJT, dan koperasi angkot masih terkesan lambat.
Bayang-batang kehilangan pemasukan makin menggelayuti para pelaku transportasi lokal.
Menilik JakLingko: Contoh Integrasi yang Terencana
Sebenarnya wacana ini tidak baru-baru amat dan dipandang pesimis.
Jakarta memberikan contoh yang patut ditiru melalui sistem JakLingko, yang berhasil menyatukan moda seperti TransJakarta, mikrotrans, MRT, dan LRT dalam satu platform pembayaran dan manajemen trayek.
Alih-alih mematikan moda lama, pemerintah justru mengajak operator kecil untuk bergabung dalam sistem baru.

JakLingko didukung oleh skema subsidi berbasis kilometer dan teknologi berbasis aplikasi.
Dengan sistem ini, sopir tetap mendapatkan penghasilan tetap, tanpa harus mengejar setoran dan mampu meredam konflik internal dan meningkatkan pelayanan.
Pemerintah DKI Jakarta juga melibatkan koperasi dan operator angkot sejak tahap awal.
Tidak buru-buru dan melalui proses kerja sama yang panjang, dampanya warga merespons positif.
Dengan tarif Rp 5.000 sekali jalan untuk semua moda, integrasi ini membuat mobilitas warga lebih murah dan nyaman.
Menurut survei Dinas Perhubungan DKI, kepuasan publik terhadap transportasi umum meningkat sejak integrasi dilakukan.
Kunci sukses JakLingko terletak pada kepastian pendanaan, transparansi, dan komunikasi terbuka.
Masalahnya, kunci sukses tersebut masih belum sepenuhnya terlihat dalam implementasi MJT di Bandung Raya.
Mencari Jalan Tengah
Sebenarnya Budi Kurnia dan rekan-rekannya tidak menolak perubahan.
Mereka terbuka dengan pembaruan, asal tidak mematikan usaha yang sudah puluhan tahun mereka jalani. Mereka menuntut satu hal: keterlibatan nyata dalam proses perencanaan.
"Kami ingin terlibat, bukan disisihkan. Kami juga ingin tumbuh bersama, bukan jadi korban modernisasi," ujarnya.
Pada akhirnya transformasi transportasi di kawasan aglomerasi Bandung Raya ini bisa sukses bila semua pihak bergerak bersama.
Tidak grasak-grusuk, dan tidak melupakan suara mereka yang sudah sejak lama menggerakkan roda kota ini. (*)