BANDUNG pernah hening. Ini suatu masa di mana angin pagi di Bandung bisa terdengar menyapa dedaunan. Suara burung jadi alarm alami, bukan dering gawai. Kota belum sepadat sekarang, dan ruang untuk bernafas masih luas.
Kiwari, deru mesin menggantikan nyanyian burung. Klakson, gergaji mesin, deru knalpot, dan pengumuman mal saling bertubrukan di udara. Bandung menjadi orkestra kebisingan yang tak pernah selesai. Seakan kota ini tak tahu cara diam.
Di tengah semua itu, kita, warga Bandung, kehilangan satu hal yang sangat kita butuhkan: sunyi.
Bukan kekosongan

Sunyi sendiri bukan kekosongan. Tapi, jeda yang menyelamatkan. Ia semacam pelabuhan batin dari hiruk pikuk luar. Tapi kini, sulit sekali menemukannya di Bandung.
Sunyi adalah ruang. Ruang untuk berpikir. Untuk merasa. Untuk hadir penuh di dalam diri. Tanpa sunyi, kita mungkin terus berjalan tanpa tahu arah. Kota terus bergerak, dan kita boleh jadi kehilangan makna dari tiap langkahnya.
Bandung semakin tak lagi memberi ruang. Lapangan berubah jadi lahan parkir. Gang-gang sempit dijejali motor dan kabel. Seolah setiap meter tanah harus dimonetisasi.
Di saat yang sama, pengeras suara digunakan bukan untuk mengajak hening, tapi untuk menunjukkan kuasa. Kota semakin penuh dengan kompetisi desibel.
Bandung semakin sibuk, sementara warganya bertambah lelah. Kita semua diburu oleh waktu. Oleh target. Juga oleh citra. Bahkan, saat duduk di kafe, kita masih harus tetap terus bekerja. Adapun di rumah, otak masih dipenuhi jadwal dan pesan masuk. Tak ada ruang bernafas, bahkan mungkin dalam tidur.
Padahal manusia butuh jeda. Butuh titik koma di antara kalimat panjang kehidupan. Bukan untuk lari, tapi untuk memahami. Untuk kembali menjadi manusia seutuhnya.
Banyak titik koma

Dulu Bandung punya banyak titik koma. Ada taman-taman sunyi untuk rehat tanpa harus belanja. Ada gang-gang hening yang sejuk dan tenang. Ada suara angin yang bisa didengar tanpa harus dicari.
Sekarang banyak yang hilang. Lahan-lahan terbuka diganti bangunan. Gang digantikan jongko dan kos-kosan bertingkat. Angin tersaring oleh beton.
Kita fasih bicara tentang pembangunan, tapi lupa membangun ruang batin. Bangunan tinggi mencakar langit, tapi kesadaran kita mengendap. Pembangunan tanpa arah spiritual hanya menyisakan kekosongan. Maka, semakin tinggi bangunan, semakin hampa perasaan.
Ritme Bandung kian cepat, tapi hampa. Kita sibuk, tapi tak tahu untuk apa. Hidup terasa seperti mesin – hidup, kerja, tidur, dan berulang begitu setiap hari.
Boleh jadi banyak orang merasa sendiri di tengah keramaian Bandung. Di jalan ramai, di pusat perbelanjaan, bahkan di pesta-pesta. Namun, keramaian tidak menjamin kebersamaan. Sebab yang hilang bukan manusia, tapi bisa jadi kedekatannya.
Sunyi bukan kesepian. Sunyi adalah pelukan tak bersuara. Tempat kita menemukan kembali diri yang tercecer. Dalam sunyi, ada ruang untuk mendengar hati.
Pernahkah kita sekarang duduk tenang di tepi Cikapundung saat pagi? Dulu air sungai ini jernih. Alirannya lembut. Sekarang, ada sampah dan bau. Sungai telah kehilangan nyanyian alaminya.
Bandung kiwari tak lagi mendengar alam. Sungai dibeton, pohon ditebang, langit tertutup billboard. Dan kita kian tuli terhadap suara asli Bandung. Juga tuli terhadap panggilan batin kita sendiri.
Dari sunyi sesungguhnya bisa lahir banyak hal besar. Musik yang menyentuh, puisi yang jujur, dan keputusan yang bijak. Tapi, kalau kota seperti Bandung semakin tidak menyediakan sunyi, di mana lagi kita bisa tumbuh? Apakah kita harus selalu lari ke gunung untuk sekadar mendengar suara diri sendiri?
Beberapa warga Bandung mencoba menciptakan sunyinya sendiri. Ada yang bangun lebih pagi untuk berjalan-jalan. Ada yang membuat taman kecil di balkon rumah. Ada pula yang membaca di pojok perpustakaan.
Tapi, tidak semua warga punya pilihan itu. Banyak yang terpaksa tinggal di rumah petak sempit. Di gang yang tidak pernah tidur. Di lingkungan yang bising dari pagi hingga pagi lagi.
Apakah kontemplasi hanya milik kelas menengah? Apakah ruang tenang hanya tersedia bagi yang punya waktu luang?
Bebas kebisingan

Merdeka seharusnya juga berarti bebas dari kebisingan yang memaksa. Bebas untuk menutup mata dan menarik nafas panjang. Bebas dari keharusan untuk selalu on. Merdeka dari tuntutan untuk terus hadir secara sosial.
Merdeka bukan hanya soal bicara. Tapi juga soal hak untuk diam. Untuk tidak ikut-ikutan. Untuk menepi sejenak.
Membangun kota bukan cuma soal infrastruktur. Tapi, juga soal bagaimana kota membuat warganya merasa hidup. Bukan sekadar bertahan. Bukan hanya produktif.
Mungkin kita bisa belajar dari suara hujan. Ia hadir tanpa memaksa. Ia menenangkan tanpa perlu bicara. Dan ia membawa sunyi dalam riuhnya.
Mungkin Bandung bisa mulai mengupayakannya. Tak perlu proyek besar. Cukup menyediakan ruang kecil untuk duduk. Tanpa wifi, tanpa iklan.
Jalan kaki harus kembali menyenangkan. Taman-taman kecil harus kembali tumbuh. Kota harus menurunkan volumenya. Agar suara hati bisa terdengar nyaring kembali.
Kota yang merdeka adalah kota yang bisa mendengarkan. Bukan yang terus menerus bicara. Yang memberi ruang, bukan hanya memberi tugas. Yang memberi makna, bukan memberi sekadar fungsi.
Dan ketika Bandung bisa menyanyikan lagu sunyi di tengah kebisingan beton, di sanalah kita tahu bahwa kota ini belum sepenuhnya hilang. Masih ada harapan. Masih ada kemungkinan. Karena merdeka, sejatinya, adalah saat kita bisa mendengar diri sendiri lagi. (*)