Budaya Scrolling: Cermin dari Logika Zaman

Femi  Fauziah Alamsyah, M.Hum
Ditulis oleh Femi Fauziah Alamsyah, M.Hum diterbitkan Rabu 05 Nov 2025, 19:29 WIB
Kita menyebutnya scrolling, para peneliti menyebutnya sebagai ritual baru zaman digital. (Sumber: Pexels/cottonbro studio)

Kita menyebutnya scrolling, para peneliti menyebutnya sebagai ritual baru zaman digital. (Sumber: Pexels/cottonbro studio)

Di banyak ruang sunyi hari ini, kita melihat pemandangan yang sama, seseorang menunduk menatap layar, menggulir tanpa henti. Jari bergerak naik-turun seperti mengikuti ritme yang tak berujung. Tidak ada akhir yang jelas, tidak ada tujuan yang pasti, hanya arus gambar, suara, dan kata-kata yang terus berganti. Kita menyebutnya scrolling, para peneliti menyebutnya sebagai ritual baru zaman digital.

Scrolling bukan lagi sekadar tindakan teknologis, ia telah menjadi gaya hidup. Kita menggulir layar untuk mencari kabar, hiburan, atau sekadar mengisi waktu luang.

Namun di balik gerakan sederhana itu tersembunyi logika zaman yang kompleks, logika kecepatan, keterhubungan, dan kecanduan. Scrolling adalah cermin dari bagaimana manusia hidup, berpikir, dan merasa dalam dunia media baru.

Scrolling sebagai Ritual Budaya Media Baru

Dalam The Language of New Media, Lev Manovich (2001) menyebut bahwa media baru memiliki lima prinsip utama: numerisitas, modularitas, otomatisasi, variabilitas, dan transkodifikasi. Kelima prinsip ini membuat media digital bersifat cair, interaktif, dan terus berubah. Dalam konteks itu, scrolling menjadi bentuk paling nyata dari pengalaman “variabilitas” media, setiap guliran menghadirkan konten baru, pengalaman baru, tanpa batas yang jelas antara awal dan akhir.

Desain “infinite scroll” tidak muncul begitu saja, ia adalah produk logika ekonomi perhatian (attention economy). Desain ini diciptakan agar pengguna tetap berada di dalam platform selama mungkin. Setiap gerakan jempol di layar sebenarnya adalah hasil dari user experience design yang memanfaatkan psikologi manusia, yaitu dorongan untuk selalu tahu lebih banyak, melihat lebih banyak, tidak ketinggalan apa pun. Dalam konteks ini, teknologi tidak netral. Ia membentuk kebiasaan, bahkan kesadaran.

Manovich menulis bahwa dalam media baru, struktur logika komputer (database, algoritma) menjadi dasar dari pengalaman kultural. Maka, ketika kita menggulir, sebenarnya kita sedang menavigasi dunia yang disusun oleh logika digital, dunia yang terus diperbarui, selalu bergerak, dan jarang memberi ruang untuk berhenti.

Logika Jaringan dan Fragmentasi Waktu

Manuel Castells (1996) menyebut masyarakat kita sebagai network society, masyarakat jaringan. Di dalamnya, hubungan sosial, ekonomi, dan budaya dibentuk oleh logika jaringan global yang bekerja secara real-time. Informasi mengalir tanpa henti, waktu dan ruang kehilangan batas tegas. Scrolling adalah cara paling khas manusia berinteraksi dengan dunia jaringan itu, kita tidak lagi membaca realitas secara linear seperti membaca buku, tapi melompat dari satu potongan konten ke potongan lain.

Setiap guliran adalah potongan waktu kecil (micro-moments) yang membentuk ritme kehidupan digital. Kita belajar untuk hidup dalam “keterputusan yang terhubung”, berpindah cepat, tapi tetap terikat oleh arus. Dalam budaya seperti ini, keheningan menjadi langka, dan perhatian menjadi sumber daya yang paling langka pula.

Jonathan Crary (2013) menyebut keadaan ini sebagai 24/7 capitalism, di mana waktu manusia sepenuhnya dijajah oleh ritme ekonomi digital. Tidak ada malam bagi media sosial, dan tidak ada istirahat bagi pengguna. Scrolling adalah bagian dari kapitalisme tanpa tidur, kerja emosional tanpa upah, konsumsi tanpa jeda.

Scrolling dan Dunia Simulakra

Ilustrasi media sosial. (Sumber: Pexels/Pixabay)
Ilustrasi media sosial. (Sumber: Pexels/Pixabay)

Namun lebih dalam dari sekadar jaringan dan kecepatan, budaya scrolling juga memperlihatkan sesuatu yang lebih filosofis, bagaimana realitas kini berubah menjadi simulasi. Jean Baudrillard (1981) dalam Simulacra and Simulation menjelaskan bahwa di era posmodern, manusia hidup dalam dunia hiperrealitas, di mana citra dan tanda lebih nyata daripada kenyataan itu sendiri.

Dalam setiap timeline media sosial, kita melihat dunia yang tampak indah, lucu, atau tragis, tapi semua itu adalah representasi, bukan realitas mentah. Kita menggulir bukan untuk memahami dunia, tapi untuk mengonsumsi tanda-tanda tentang dunia. Setiap like, share, dan story adalah fragmen dari simulasi sosial yang menciptakan ilusi kedekatan dan makna.

Scrolling, dalam logika Baudrillard, adalah tindakan partisipasi dalam simulakra. Kita menikmati permukaannya, bukan kedalamannya. Kita terseret oleh citra, bukan isi. Maka, saat kita terus menggulir, yang sebenarnya kita cari bukan informasi, melainkan sensasi, sensasi menjadi ada di tengah arus yang terus bergerak.

Krisis Perhatian dan Kehilangan Kedalaman

Nicholas Carr (2010) dalam The Shallows mengingatkan bahwa otak manusia berubah seiring cara kita berinteraksi dengan teknologi. Semakin sering kita terpapar informasi singkat dan cepat, semakin sulit kita untuk berpikir mendalam dan fokus lama. Budaya scrolling memperkuat pola ini, perhatian kita terfragmentasi menjadi serpihan waktu.

Pierre Bourdieu (1990) mungkin menyebutnya habitus digital, pola kebiasaan baru yang mengatur cara kita merespons dunia. Kita menjadi terbiasa berpikir cepat, bereaksi spontan, dan sulit menahan jeda. Scrolling tidak lagi hanya soal teknologi, scrolling bukan sekadar kebiasaan bermain ponsel. Ia mengubah cara kita memusatkan perhatian dan merasakan waktu. Kita terbiasa berpikir cepat, menatap banyak hal sekaligus, namun kehilangan kedalaman untuk benar-benar memahami.

Mungkin di sinilah tantangan terbesar zaman sekarang, bagaimana tetap sadar di tengah arus yang tak berhenti. Cal Newport (2019) dalam Digital Minimalism menawarkan jalan keluar sederhana, yaitu batasi konsumsi, pilih dengan sadar, dan berani menciptakan jeda. Namun kesadaran digital bukan sekadar soal manajemen waktu, ia juga soal spiritualitas modern, kemampuan untuk hadir, bukan sekadar terhubung.

Scrolling bisa menjadi jendela untuk refleksi: seberapa sering kita menggulir bukan karena ingin tahu, tapi karena takut berhenti? Takut kehilangan koneksi, takut merasa sendiri? Barangkali yang kita cari dalam guliran itu bukan informasi, melainkan makna, sesuatu yang diam-diam hilang dalam kecepatan.

Penutup: Cermin dari Logika Zaman

Budaya scrolling mencerminkan logika zaman digital: cepat, terfragmentasi, dan berbasis atensi. Ia memperlihatkan bagaimana teknologi bukan hanya alat, tapi juga membentuk cara berpikir, merasa, dan hidup. Dalam setiap guliran, tersimpan paradoks manusia modern, semakin banyak yang kita lihat, semakin sedikit yang benar-benar kita pahami.

Mungkin, seperti kata Baudrillard, kita hidup di dunia di mana “realitas lenyap dalam kecepatan tanda-tanda.” Namun kesadaran tentang hal itu bisa menjadi langkah awal untuk mengambil kembali kendali. Karena di tengah arus yang tak berhenti, manusia masih punya satu kemampuan yang belum bisa digantikan algoritma, yaitu kemampuan untuk berhenti, merenung, dan memilih. (*)

Daftar Referensi

  • Ahmed, S. (2004). The Cultural Politics of Emotion. Edinburgh University Press.
  • Baudrillard, J. (1981). Simulacra and Simulation. Semiotext(e).
  • Bourdieu, P. (1990). The Logic of Practice. Stanford University Press.
  • Carr, N. (2010). The Shallows: What the Internet Is Doing to Our Brains. W.W. Norton & Company.
  • Castells, M. (1996). The Rise of the Network Society. Blackwell Publishing.
  • Crary, J. (2013). 24/7: Late Capitalism and the Ends of Sleep. Verso.
  • Jenkins, H. (2006). Convergence Culture: Where Old and New Media Collide. NYU Press.
  • Manovich, L. (2001). The Language of New Media. MIT Press.
  • Newport, C. (2019). Digital Minimalism: Choosing a Focused Life in a Noisy World. Portfolio.

Artikel Rekomendasi Untuk Anda

Disclaimer

Tulisan ini merupakan artikel opini yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Pandangan yang disampaikan dalam artikel ini tidak mewakili pandangan atau kebijakan organisasi dan redaksi AyoBandung.id.

Femi  Fauziah Alamsyah, M.Hum
Peminat Kajian Budaya dan Media, Dosen Universitas Muhammadiyah Bandung, Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam
Nilai artikel ini
Klik bintang untuk menilai

Berita Terkait

News Update

Ayo Netizen 25 Des 2025, 20:41 WIB

Menunda Kepastian, Merawat Percakapan ala Richard Rorty

Richard Rorty menolak hasrat epistemologis, keinginan obsesi manusia dalam kepastian dan soloidaritas daripada objektivitas.
Richard Rorty menolak hasrat epistemologis, keinginan obsesi manusia dalam kepastian dan soloidaritas daripada objektivitas. (Sumber:Dokumentasi Penulis)
Mayantara 25 Des 2025, 17:35 WIB

Infinite Scrolling dan Hilangnya Fokus

Dalam beberapa tahun ini, mengakses media sosial menjadi ritual yang seolah tanpa batas.
Dalam beberapa tahun ini, mengakses media sosial menjadi ritual yang seolah tanpa batas. (Sumber: Pexels | Foto: Ron Lach)
Ayo Netizen 25 Des 2025, 16:25 WIB

Gus Dur, Toleransi, dan Harmoni

Gus Dur hadir untuk memastikan martabat dan keutuhan negara tetap terpelihara dan terjaga. Perjuangannya dalam membela kemanusiaan, demokrasi, keadilan sosial, berbagai aspek kehidupan
"Dialog adalah budaya perdamaian" - Abdurrahman Wahid (Sumber: Instagram | Foto: @pamerandialogperadaban)
Ayo Netizen 25 Des 2025, 15:13 WIB

Banjir namun Hidup Tetap Harus Berjalan

Banjir setinggi lutut kembali merendam Komplek Griya Bandung Asri 1, Bojongsoang, menghambat mobilitas warga.
Banjir terjadi di komplek Griya Bandung Asri 1 Bojongsoang. (05/12/2025) (Sumber: Khalidullah As Syauqi)
Ayo Netizen 25 Des 2025, 14:47 WIB

Cidulang, Cekung seperti Dulang

Di Tatar Sunda, dulang itu berbentuk seperti tabung yang mengecil di bagian bawahnya.
Gambaran seorang perempuan sedang ngakeul nasi di dalam dulang. (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: T Bachtiar)
Ayo Jelajah 25 Des 2025, 11:58 WIB

Hikayat Christmas Island, Pulau Kecil dengan Sejarah Besar di Samudra Hindia

Christmas Island menyimpan sejarah kolonial fosfat perang dunia dan migrasi lintas Asia yang membentuk identitas unik hingga kini.
Christmas Island. (Sumber: Flickr)
Beranda 25 Des 2025, 09:41 WIB

Di Sore yang Pelan, Ngafe Menjadi Ruang Rehat Warga Kota Bandung

Pada sore, ruang ini berfungsi sebagai tempat singgah yang lebih tenang, menjadi bagian dari gaya hidup warga kota dalam bekerja, beristirahat, dan mengatur ritme hidup di tengah kesibukan urban.
Coffee shop di Kota Bandung menjadi salah satu pilihan tempat untuk rehat dari rutinitas. (Sumber: ayobandung.id | Foto: Ilham Maulana)
Beranda 25 Des 2025, 08:09 WIB

Panggung Tanpa Lampu Sorot, Cerita di Balik Suara Emas Penyanyi Jalanan Kota Bandung

Namun, rupiah yang mereka kumpulkan dengan cucuran keringat dari pagi hingga malam itu kerap harus dibayar dengan rasa waswas.
Penyanyi jalanan di perempatan Jalan Pahlawan, Kota Bandung. (Sumber: ayobandung.id | Foto: Halwa Raudhatul)
Beranda 24 Des 2025, 20:45 WIB

Workshop Google AI Tools for Journalist di Bandung Bekali 28 Peserta Tingkatkan Kapasitas Media Lokal

Pelatihan intensif tersebut diikuti 28 peserta terpilih yang terdiri atas pengelola media lokal, jurnalis, serta konten kreator komunitas dari berbagai daerah.
Program Google AI Tools for Journalist yang digelar selama dua hari, 23–24 Desember 2025 di Kantor Ayo Media Network. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Kavin Faza)
Ayo Netizen 24 Des 2025, 17:03 WIB

Terminal Cicaheum Harus Siap Sambut Bus AKAP Double Decker

Banyaknya Bus AKAP Premium yang melirik kota Bandung sebagai trayek berpotensi tertinggi ketiga di Pulau Jawa, maka bersiap untuk banyaknya pemandangan bus Double-decker mewah melintas
Terparkir 3 Bus Gunung Harta Transport Solustions (GHTS) saat malam hari di garasi GHTS (19/11/2025). (Sumber: Dokumentasi Pribadi | Foto: Dean Rahmani)
Ayo Netizen 24 Des 2025, 16:40 WIB

Ujian Nyata Walikota Farhan: Normalisasi Sungai Cinambo atau Banjir Warisan?

Banjir Sungai Cinambo bukan sekadar dampak curah hujan, tetapi cerminan lemahnya tata kelola lingkungan Kota Bandung.
Kondisi Sungai Cinambo di Bandung Timur, yang dinilai mengalami pendangkalan dan penyempitan, menjadi bukti kegagalan tata kelola infrastruktur kota, (2 Desember 2025). (Sumber: Dok. Pribadi | Foto: Khansa Khairunsifa)
Ayo Netizen 24 Des 2025, 15:41 WIB

Taman Lansia Bandung usai Revitalisasi: Antara Harapan Baru dan Beragam Tantangan di Lapangan

Taman Lansia Bandung hadir dengan wajah baru setelah revitalisasi, namun masih menghadapi berbagai tantangan dalam hal keamanan, fasilitas, dan pengelolaan untuk kenyamanan bersama.
Lampu taman malam hari yang menerangi jalur pejalan kaki menunjukkan suasana sepi setelah hujan mengguyur Taman Lansia pada Rabu, 3 Desember 2025. (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Hilyatul Auliya)
Ayo Netizen 24 Des 2025, 15:07 WIB

Bandung Waras

Bandung harus punya otak yang waras dan hati yang peka.
Festival seni dan budaya bukan sekadar hiburan. Itu pengingat bahwa kota hidup dan waras. (Sumber: ayobandung.com | Foto: Muslim Yanuar Putra)
Ayo Netizen 24 Des 2025, 13:26 WIB

Mendidik dengan Ikhlas, Mengabdi dengan Cinta: Kisah di Balik Seragam Cokelat Herna Wati

Kisah ini mengambarkan Herna Wati yang menjadikan Pramuka sebagai ruang untuk belajar ikhlas, mandiri, dan tempatnya untuk mengabdi dengan penuh cinta.
Foto Herna Wati Pembina Pramuka MTs Baabussalaam Kota Bandung. (Foto: Lutfiah Nurrahma Faisal)
Ayo Netizen 24 Des 2025, 12:23 WIB

Warisan Humanis Gus Dur bagi Bangsa yang Majemuk

Perjalanan panjang bangsa yang penuh warna dan dinamika, nama Gus Dur selalu hadir seperti lentera yang menerangi ruang-ruang gelap kemanusiaan.
Illustrasi Peringatan Haul 16 GUS DUR. (Sinan)
Ayo Netizen 24 Des 2025, 09:57 WIB

Tahura Djuanda Hadirkan Wisata Edukasi Bernilai Konservasi: Batu Batik dan Flora Langka Jadi Daya Tarik Baru

Keunikan wisata Taman Hutan Raya Ir. Djuanda menjadi daya tarik.
Anggrek terkecil di dubia jadi bintang baru kawasan konservasi (04/11/2025) (Sumber: Dok.pribadi | Foto: Nazwa Revanindya)
Ayo Netizen 24 Des 2025, 09:29 WIB

Remaja dan Luka Sunyi Dunia Maya

Opini ini mengajak pembaca menyelami sisi gelap dunia maya yang kian membelenggu remaja Indonesia.
Seorang remaja duduk terpukul di tengah serangan komentar kasar dan ejekan di media sosial. (Sumber: Dok. Pribadi | Foto: jajang shofar)
Ayo Netizen 24 Des 2025, 08:47 WIB

Masyarakat Bandung Sudah Bersahabat dengan Gelapnya Jalanan Kota Bandung

Masyarakat Bandung sudah pasrah dengan penerangan jalan yang tidak kunjung diperbaiki oleh Wali Kota Bandung.
Suasana jalanan daerah Tegallega di jam 21.00 WIB yang sudah tidak terlihat oleh pengendara, Jumat (28/11/2025). (Sumber: Dokumentasi Penulis Foto: Nadya Ulya Zagita)
Ayo Jelajah 23 Des 2025, 21:48 WIB

Sejak Kapan Pohon Cemara Digunakan jadi Hiasan Natal?

Tradisi pohon Natal berakar dari kebiasaan masyarakat Eropa kuno yang memuliakan tanaman hijau di tengah musim dingin, jauh sebelum Natal dirayakan secara modern.
Ilustrasi Pohon Cemara saat Natal.