Di tengah gegap gempita pembangunan mulai jalan tol hingga gedung pencakar langit masih tersisa pertanyaan mendasar yang terus menggema: Apakah kemajuan bangsa ini hanya soal infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi, atau juga tentang kualitas hidup manusia?
Selama lebih dari satu abad, Muhammadiyah menjawab pertanyaan itu dengan cara yang tak sekadar retorik, melainkan praksis. Melalui amal usaha pendidikan, kesehatan, dan sosial yang tersebar di seluruh Nusantara, Muhammadiyah menegaskan satu hal penting: kesejahteraan sejati berakar pada kebaikan yang terorganisir, berlomba dalam kebaikan (fastabiqul khairat) dan teruji oleh pelayanan nyata kepada sesama, sebagaimana diilhami oleh teologi Al-Ma’un.
Milad ke-113 Muhammadiyah bukan sekadar peringatan usia organisasi. Ia adalah cermin perjalanan spiritual dan sosial, sebuah momentum reflektif untuk menegaskan arah perjuangan: bahwa memajukan kesejahteraan bangsa tak berhenti pada peningkatan pendapatan per kapita, melainkan pada peningkatan martabat manusia yang cerdas, sehat, dan berkeadilan.
Istilah Qur’ani fastabiqul khairat (berlomba-lombalah dalam kebaikan) bukan sekadar anjuran moral, melainkan etika produktif. Muhammadiyah mengartikulasikannya sebagai etos kolektif kemajuan: berlomba bukan untuk menonjolkan diri, tetapi untuk memproduksi maslahat sebesar-besarnya bagi umat dan bangsa.
Etos ini tercermin nyata dalam ribuan Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) yang tersebar di seluruh Indonesia. Hingga tahun 2025, Muhammadiyah mengelola sekitar 20.000 lembaga pendidikan, dari taman kanak-kanak hingga sekolah menengah dan pesantren. Di tingkat perguruan tinggi, terdapat 170 Perguruan Tinggi Muhammadiyah dan ’Aisyiyah (PTMA) yang menaungi lebih dari 600 ribu mahasiswa, sebuah angka yang menempatkan Muhammadiyah sebagai penyelenggara pendidikan swasta terbesar di Indonesia.
Dalam bidang kesehatan, Muhammadiyah juga menjadi pelopor layanan sosial yang berkeadilan. Dengan lebih dari 120 rumah sakit dan 200 klinik kesehatan, jutaan pasien dari berbagai latar belakang dilayani setiap tahun tanpa diskriminasi. Di banyak daerah, rumah sakit Muhammadiyah bahkan menjadi satu-satunya fasilitas kesehatan yang mampu diakses masyarakat kelas bawah.
Etos fastabiqul khairat inilah yang mendorong lahirnya inovasi dalam sistem pendidikan Muhammadiyah. Diawali inovasi pengembangan kurikulum berbasis nilai, pembelajaran proyek sosial (project-based learning), hingga program deep learning yang kini menjadi arah baru pendidikan nasional. Di banyak kampus dan sekolah Muhammadiyah, siswa tidak hanya diajarkan rumus, tetapi diajak memahami makna dan manfaat ilmu bagi kehidupan masyarakat.
Jika fastabiqul khairat menggerakkan semangat kompetisi dalam kebaikan, maka teologi Al-Ma’un memberi arah moral bagi tujuan kebaikan itu. Surat Al-Ma’un, yang menjadi inspirasi pendirian Muhammadiyah oleh KH Ahmad Dahlan, menegaskan bahwa ibadah sejati tak berhenti di sajadah, melainkan berlanjut pada kepedulian sosial yang konkret: menolong yatim, memberi makan fakir, dan menolak kesewenang-wenangan sosial.
Bagi Muhammadiyah, Al-Ma’un bukan sekadar teks suci yang dibaca dalam doa, tetapi doktrin aksi yang harus diwujudkan dalam praksis sosial. Sekolah bukan hanya tempat belajar akademik, tetapi laboratorium etika dan kemanusiaan. Rumah sakit bukan hanya institusi medis, tetapi wadah ibadah sosial yang menyehatkan tubuh dan martabat.
Inilah yang membedakan teologi Al-Ma’un dari teori kesejahteraan modern: ia tak berhenti pada redistribusi ekonomi, tetapi menuntut transformasi nilai dan karakter. Ia mengajarkan bahwa memberi bukanlah kewajiban administratif, melainkan ekspresi iman yang nyata.
Jika fastabiqul khairat adalah daya dorong untuk maju, maka Al-Ma’un adalah kompas moral yang memastikan kemajuan itu tetap berpihak pada yang lemah. Keduanya menjadi dua sayap yang membuat Muhammadiyah terbang tinggi dalam menggerakkan kesejahteraan bangsa.

Kesejahteraan, menurut pandangan ini, bukan hanya soal siapa yang unggul, melainkan siapa yang menolong lebih banyak. Dalam konteks ini, pendidikan yang memberdayakan bukanlah pendidikan yang sekadar meluluskan, tetapi pendidikan yang membentuk kemampuan intelektual dan kepedulian moral. Lulusan yang unggul adalah mereka yang berkontribusi pada keadilan sosial, bukan sekadar sukses individual.
Etika ganda ini, unggul dan peduli telah menjelma menjadi DNA gerakan Muhammadiyah. Tak heran jika jejaring sosialnya kini menjangkau hingga pelosok negeri: 35 Pimpinan Wilayah,475 Pimpinan Daerah, 3.900 Pimpinan Cabang, dan lebih dari 14.000 Pimpinan Ranting. Struktur ini bukan hanya menunjukkan organisasi yang kuat, tetapi ekosistem kebajikan yang bekerja secara sistematis dan berkelanjutan.
Namun di tengah capaian besar itu, tantangan tetap mengintai. Kesenjangan mutu pendidikan masih terasa. Data menunjukkan bahwa literasi dan numerasi siswa Indonesia masih di bawah rata-rata OECD. Banyak sekolah di daerah tertinggal kekurangan guru, fasilitas, dan dana operasional yang memadai.
Risiko lain adalah semangat kompetisi yang salah arah. Jika fastabiqul khairat dipahami sempit sebagai “siapa lebih besar dan populer,” maka ia bisa menjelma menjadi ego kolektif yang justru menjauh dari makna sejatinya.
Untuk itu, diperlukan strategi pembaruan gerakan. Pertama, Mengintegrasikan model pendidikan “ilmu–iman–amal” dengan pendekatan deep learning, agar siswa memahami, menghayati, dan mengamalkan ilmu. Kedua, Memperkuat pelatihan guru dan tenaga kesehatan, bukan hanya secara teknis, tetapi juga moral dan spiritual. Ketiga, Mendorong kolaborasi lintas sektor baik pemerintah, ormas, dan dunia usaha untuk mempercepat pemecahan masalah struktural seperti kemiskinan, kesehatan ibu-anak, dan literasi digital. Keempat, Membangun pembiayaan sosial produktif, seperti wakaf produktif dan zakat berbasis pemberdayaan, agar kesejahteraan sosial berkelanjutan. Kelima, Menerapkan sistem evaluasi berbasis hasil (learning outcomes dan dampak sosial), bukan sekadar kepatuhan administratif.
Baca Juga: Beragama di Era AI
Selama lebih dari satu abad, fastabiqul khairat dan teologi Al-Ma’un bukan hanya menjadi jargon spiritual, melainkan peta jalan peradaban. Teologi yang mengajarkan bahwa kemajuan bangsa tidak lahir dari ambisi yang membesar-besarkan diri, tetapi dari kebajikan yang menyejahterakan sesama.
Dari tangan-tangan guru yang sabar di pelosok sekolah Muhammadiyah, dari dokter dan perawat yang melayani tanpa pamrih di rumah sakit, dari relawan MDMC yang hadir di tengah bencana, kita menyaksikan bagaimana iman bekerja dalam bentuk paling nyata.
Kesejahteraan bangsa, dengan demikian, adalah buah dari iman yang bekerja, ilmu yang berdaya, dan amal yang berkelanjutan. Di usia ke-113, Muhammadiyah tidak hanya merayakan sejarah panjang, tetapi juga mengajak bangsa ini untuk menatap masa depan dengan semangat yang sama: Berlomba dalam kebaikan yang cerdas dan tuntas, berkeadilan, dan memuliakan kemanusiaan.
Karena hanya kebaikan yang memberdayakan bukan yang memarjinalkan yang akan menuntun Indonesia menuju kesejahteraan sejati: adil, makmur, dan beradab. Wallohu A’lam. (*)
