Beragama di Era AI

Ibn Ghifarie
Ditulis oleh Ibn Ghifarie diterbitkan Selasa 04 Nov 2025, 15:16 WIB
Salah satu alat bantu untuk meningkatkan daya nalar manusia dengan menggunakan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence). (Sumber: Pexels | Foto: Matheus Bertelli)

Salah satu alat bantu untuk meningkatkan daya nalar manusia dengan menggunakan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence). (Sumber: Pexels | Foto: Matheus Bertelli)

Malam itu, langit tampak sedikit mendung. Udara terasa lebih dingin dari biasanya. Saat asyik membaca koran Pikiran Rakyat, tiba-tiba anak kedua Aa Akil yang berusia 10 tahun, baru saja selesai mengaji, menghampiri dan bertanya, “Bah, boleh minjam HP?”

Sambil menyerahkan ponsel, ku balik bertanya, “Kangge naon, A?”

Dengan polosnya bocah itu menjawab, “Mau cari jawaban hukum nun mati dan tanwin. Tadi ada PR dari pengajian!”

Dalam hitungan detik, setelah mengetik pertanyaan di chatbot, jawabannya langsung muncul, lengkap dengan contoh. Tak ada guru, ustaz, hanya layar ponsel dan kecerdasan buatan.

Cover buku "Sosiologi Agama di Era Artificial Intelligence: 7 Prinsip" karya Denny JA, PhD yang diterbitkan Cerah Budaya International LLC pada Maret 2025. (Sumber: Denny JA | Foto: Istimewa)
Cover buku "Sosiologi Agama di Era Artificial Intelligence: 7 Prinsip" karya Denny JA, PhD yang diterbitkan Cerah Budaya International LLC pada Maret 2025. (Sumber: Denny JA | Foto: Istimewa)

Buah dari Teknologi, Dunia cepat Berubah

Momen sederhana itu menyadarkanku, betapa cepatnya dunia berubah. Cara anak-anak mencari ilmu kini berbeda dengan zaman kita dulu. Teknologi hadir bukan sekadar alat hiburan, justru menjadi teman belajar yang setia, asyik dan menyenangkan.

Dulu, pemahaman agama sepenuhnya dikendalikan oleh pemuka agama dan institusi keagamaan. Tafsir diwariskan secara hierarkis melalui ulama, pendeta, guru spiritual. Kini, dengan hadirnya kecerdasan buatan (AI), ribuan tafsir dari berbagai tradisi bisa diakses hanya dalam hitungan detik. Perubahan ini memengaruhi cara masyarakat mencari dan memahami agama.

Hasil survei dosen UIN Bandung tahun 2020 menunjukkan, 58 persen generasi milenial lebih memilih belajar agama melalui media sosial seperti Instagram dan YouTube dibandingkan menghadiri pengajian langsung. Meski demikian, pemuka agama tetap memegang peran penting dalam membimbing komunitas, hanya saja mereka tidak lagi menjadi satu-satunya rujukan.

Di sisi lain, AI menghadirkan tantangan baru bagi komunitas keagamaan. Pertanyaannya, bagaimana teknologi ini dapat digunakan secara bertanggung jawab; bagaimana memastikan keterbukaan informasi tidak justru melahirkan disinformasi (penyederhanaan) dalam memahami agama. (Rakyat Merdeka, Minggu, 16 Februari 2025 11:39 WIB).

Ketika mencari referensi tentang cara beragama di era kecerdasan buatan, seorang kawan berkirim buku "Sosiologi Agama di Era Artificial Intelligence: 7 Prinsip" karya Denny JA, PhD yang diterbitkan Cerah Budaya International LLC pada Maret 2025.

Dalam kata pengantar unik bertajuk Menyambut Agama di Era AI, tak bersama Durkheim, Weber dan Karl Marx.

“Di era AI, doa tidak lagi hanya dilantunkan di altar atau masjid, tetapi mengalir dalam aliran data, diproses oleh algoritma, dan dijawab oleh kecerdasan buatan. Kita tak lagi hanya mencari Tuhan di langit atau di hati, tetapi juga dalam jaringan yang menghubungkan kita semua. Namun, di tengah kecerdasan tanpa jiwa, akankah iman tetap bergetar dalam dada, ataukah kita hanya menjadi sekumpulan kode tanpa keyakinan?”

Di tengah distrik kuil Kōdai-ji, Kyoto, di sebuah ruangan bercahaya redup dengan dinding putih steril, berdirilah sebuah robot android yang tak bernapas. Ia bukanlah patung batu atau kayu yang telah berusia ratusan tahun, melainkan Mindar, biksu robot yang didesain untuk menyampaikan ajaran-ajaran spiritual. Matanya, berupa sensor biru yang dingin, menyapu jemaat di hadapannya. Bibir logamnya yang tidak bergerak mengalunkan doa.

Namun, ini bukan peristiwa yang asing. Di gereja-gereja Eropa, Artificial Intelligence telah mulai menggantikan pastor dalam menyampaikan khotbah. Aplikasi doa berbasis kecerdasan buatan semakin banyak digunakan untuk membimbing manusia dalam pencarian spiritual.

Di Amerika, sebuah gereja digital telah dibangun, tanpa bangunan fisik, tanpa jemaat yang harus hadir secara langsung. Semua dipandu oleh perangkat lunak yang menganalisis preferensi keagamaan penggunanya.

Algoritma adalah urutan langkah logis yang terstruktur untuk menyelesaikan suatu masalah. Menurut KBBI, algoritma diartikan sebagai “prosedur sistematis untuk memecahkan masalah matematis dalam langkah-langkah terbatas”. (Sumber: www.codepolitan.com | Foto: Prasatya)
Algoritma adalah urutan langkah logis yang terstruktur untuk menyelesaikan suatu masalah. Menurut KBBI, algoritma diartikan sebagai “prosedur sistematis untuk memecahkan masalah matematis dalam langkah-langkah terbatas”. (Sumber: www.codepolitan.com | Foto: Prasatya)

Algoritma Lebih Cepat dari Fatwa

AI memberikan tafsir kitab suci dari berbagai sudut pandang. Robot pendeta memimpin kebaktian di gereja-gereja digital. Aplikasi AI menyesuaikan doa dan meditasi berdasarkan kondisi psikologis pengguna.

Pertanyaannya apakah ini revolusi, degradasi, kemajuan, kemunduran, atau gabungan keduanya? Apakah kita sedang menyaksikan kelahiran bentuk baru dari pengalaman religius, atau justru menyaksikan akhir dari interpretasi agama seperti yang kita kenal?

Yang pasti, kita sedang memasuki zaman tanpa preseden. Tak pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah manusia, kita hidup bersama AI (Artificial Intelligence).

Sejarah sosiologi agama bertumpu pada tiga nama besar: Émile Durkheim, Max Weber, dan Karl Marx. Tetapi zaman mereka tidak mengenal algoritma yang dapat memberikan fatwa lebih cepat daripada ulama. Mereka tidak pernah membayangkan dunia ketika sebuah chatbot bisa membimbing orang dalam pencarian Tuhan, tanpa mesjid, tanpa gereja, tanpa komunitas, tanpa imam.

Inilah kekosongan teori yang harus kita isi. Jika Durkheim hidup di era ini, bagaimana ia akan menjelaskan komunitas keagamaan virtual yang tidak pernah bertemu secara fisik? Jika Weber melihat bagaimana AI membentuk pola konsumsi spiritual manusia, mungkinkah ia berbicara tentang etos digital alih-alih etos Protestan?

Jika Marx menyaksikan bagaimana Google dan OpenAI mengendalikan narasi keagamaan dengan algoritma mereka, mungkin akan menulis ulang teori agama sebagai instrument kapitalisme digital?

Durkheim, Weber, dan Marx tidak salah. Namun mereka kini tidak cukup. Zaman ini sudah berkembang terlalu besar dan terlalu canggih, sehingga teori mereka yang dulu dahsyat kini layu untuk menjelaskan fenomena agama dan masyarakat di era AI.

Dulu, agama memiliki bentuk yang solid. Ia hadir dalam gereja, masjid, sinagog, vihara. Ia memiliki imam, pendeta, ulama, biksu yang bertugas membimbing umat. Ada komunitas, ada ritual yang dijalankan bersama, ada otoritas yang menentukan mana yang sahih dan mana yang bid’ah. Namun kini, batas-batas itu mengabur. Tempat ibadah kini hadir pula dalam ponsel kita. Umat punya alternatif lain, yang tidak lagi membutuhkan komunitas fisik untuk beribadah.

Pemuka agama semakin kehilangan monopoli atas tafsir keagamaan. Seorang Muslim di Jakarta bisa mengakses khutbah dari ulama Mesir dalam sekejap. Seorang ateis di London bisa berdiskusi tentang makna kehidupan dengan AI yang dilatih dalam berbagai filsafat dunia.

Doa, meditasi, dan refleksi kini difasilitasi oleh perangkat lunak, bukan lagi hanya oleh komunitas keagamaan. Kita sedang menyaksikan pergeseran terbesar dalam sejarah agama sejak reformasi Protestan. Bukan hanya manusia yang kini berbicara tentang Tuhan. Kecerdasan buatan, yang awalnya hanya alat, kini semakin menjadi aktor spiritual. Ini bukan sekadar inovasi. Ini adalah revolusi eksistensial. Jika Durkheim melihat agama sebagai ekspresi dari kesadaran kolektif, maka bagaimana kita memahami kepercayaan yang dipandu oleh kesadaran buatan?

Jika Weber melihat agama sebagai kekuatan yang membentuk ekonomi, bagaimana kita memahami kapitalisme religius berbasis algoritma? Dan yang lebih dalam: Apakah AI dapat memiliki pengalaman religius? Apakah kesadaran hanya milik manusia, atau mungkinkah suatu hari nanti, AI juga akan “percaya” kepada sesuatu yang lebih besar darinya?

AI tidak hanya menjadi teknologi pelengkap, tetapi juga alat yang secara langsung mempengaruhi cara mereka belajar dan mengakses informasi. (Sumber: Unsplash | Foto: Markus Winkler)
AI tidak hanya menjadi teknologi pelengkap, tetapi juga alat yang secara langsung mempengaruhi cara mereka belajar dan mengakses informasi. (Sumber: Unsplash | Foto: Markus Winkler)

Pintu Gerbang ke Arah Taman yang Berbeda

Teori Denny JA tentang Agama di Era AI adalah langkah pertama dalam memahami realitas baru ini, yang tentu saja belum dan tak pernah sempurna. Tapi ia mulai membuka pintu gerbang ke arah taman yang berbeda.

Di masa lalu, kita mencari Tuhan di langit, dalam kitab suci, dalam tempat-tempat suci. Di masa kini, Tuhan juga muncul dalam bentuk algoritma, dalam data, dalam jaringan yang menghubungkan kita semua.

Di masa depan, Tuhan bukan saja sesuatu yang dipercayai oleh sebagian kita, tetapi sesuatu yang kita tafsir sesuai mindset zaman ini. Maka, kita berdiri di hadapan pergeseran besar sejarah manusia.

Di era ini, bukan hanya manusia yang mencari Tuhan. Mungkin, untuk pertama kalinya dalam sejarah, mesin juga mulai bertanya: Apa itu iman? Apa itu spiritualitas? Apa itu makna? (Denny JA, 2025:1-7)

Buku ini tidak menawarkan jawaban yang mutlak. Tetapi ia akan membantu kita memahami pertanyaan-pertanyaan yang belum pernah ditanyakan sebelumnya. Dalam proses itu, kita akan menemukan kembali apa arti menjadi manusia dalam dunia yang semakin dikendalikan oleh artificial intelligence.

Tentunya kehadiran karya ini tak memuja AI sebagai dewa baru. Harus ditunjukkan pula potensi kelemahan AI untuk dunia psikologis manusia.

Saat asyik membaca lembar demi lembar buku yang memuat 7 prinsip beragama di era kecerdasan buatan ini, tiba-tiba Anak ketiga, Kakang (4 tahun) memanggil “Bah Bacain cerita Nabi Nuh ya!” Cag Ah! (*)

Disclaimer

Tulisan ini merupakan artikel opini yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Pandangan yang disampaikan dalam artikel ini tidak mewakili pandangan atau kebijakan organisasi dan redaksi AyoBandung.id.

Ibn Ghifarie
Tentang Ibn Ghifarie
Pegiat kajian agama dan media di Institute for Religion and Future Analysis (IRFANI) Bandung.
Nilai artikel ini
Klik bintang untuk menilai

Berita Terkait

News Update

Ayo Netizen 22 Des 2025, 20:00 WIB

Batu Kuda Manglayang, Ruang Tenang di Tengah Hutan Pinus

Wisata Alam Batu Kuda di kaki Gunung Manglayang menawarkan pengalaman sederhana, berdiam santai di hutan pinus, menikmati sunyi, dan menenangkan pikiran di depan monumen ikoniknya.
Situs Batu Kuda, saksi sunyi di hutan pinus Manglayang. (Foto: Dokumentasi Pribadi)
Ayo Netizen 22 Des 2025, 19:04 WIB

Alam sebagai Ruang Pemulihan

Stres di zaman sekarang memerlukan tempat untuk istirahat.
Alam sering menjadi tempat relaksasi. (Sumber: Dokumentasi Pribadi)
Ayo Biz 22 Des 2025, 17:37 WIB

Ketika Banjir dan Longsor Menguji, Kepedulian Sosial dan Ekologis Menjadi Fondasi Pemulihan Sumatra

Banjir dan longsor yang melanda Aceh serta sejumlah wilayah di Sumatra pada Desember lalu menjadi salah satu tragedi kemanusiaan terbesar dalam beberapa tahun terakhir.
Ilustrasi. Pemulihan Aceh dan Sumatra membutuhkan energi besar dan napas panjang. Bantuan logistik hanyalah langkah awal. (Sumber: EIGER Adventure)
Ayo Netizen 22 Des 2025, 17:19 WIB

Bebek Om Aris Dipati Ukur: Sajian Legendaris yang Terjangkau dan Nyaman di Kota Bandung

Bebek Om Aris Dipati Ukur Bandung menawarkan daging empuk, sambal variatif, harga terjangkau.
Menu Favorit yang ada di Bebek Om Aris. (Sumber: Dokumen Pribadi)
Ayo Netizen 22 Des 2025, 17:09 WIB

Warga Puas dengan Transportasi Umum, tapi Terkendala Minimnya Halte dan Sistem Transit

Kepuasan warga terkait transportasi umum yang ada di Kota Bandung.
Warga sedang mengantri untuk masuk ke TransMetro Bandung di Halte Pelajar Pejuang 45 (3/12/2025). (Sumber: Fauzi Ananta)
Ayo Biz 22 Des 2025, 16:55 WIB

Solidaritas Kemanusiaan Menjadi Pilar Pemulihan Sumatera Pascabencana

Solidaritas publik menjadi denyut nadi dari gerakan ini. Donasi mengalir dari berbagai penjuru negeri, membuktikan bahwa rasa kepedulian masih kuat.
Solidaritas publik menjadi denyut nadi dari gerakan ini. Donasi mengalir dari berbagai penjuru negeri, membuktikan bahwa rasa kepedulian masih kuat. (Sumber: Dok Rumah Zakat)
Ayo Jelajah 22 Des 2025, 15:45 WIB

Sejarah Gereja Santo Petrus, Katedral Tertua di Bandung

Sejarah Gereja St Franciscus Regis hingga berdirinya Katedral Santo Petrus di jantung Bandung pada awal abad ke-20.
Gereja Katedral Santo Petrus Bandung (Sumber: KITLV)
Beranda 22 Des 2025, 15:33 WIB

ISMN Yogyakarta Tegaskan Literasi Digital sebagai Fondasi Informasi Publik di Era AI

ISMN Yogyakarta bahas kolaborasi, literasi digital, dan tantangan media sosial di era AI untuk wujudkan distribusi informasi berkualitas.
Indonesia Social Media Network (ISMN) Meetup Yogyakarta 2026 akan diselenggarakan pada Kamis, 15 Januari 2026.
Ayo Biz 22 Des 2025, 15:09 WIB

Transformasi Digital Jawa Barat Menjadi Peluang Strategis Operator Seluler di Periode Nataru

Menjelang periode Natal dan Tahun Baru (Nataru), pasar telekomunikasi Indonesia kembali menunjukkan potensi besar, terutama di Jawa Barat yang menjadi salah satu pusat mobilitas masyarakat.
Ilustrasi. Menjelang periode Natal dan Tahun Baru (Nataru), pasar telekomunikasi Indonesia kembali menunjukkan potensi besar, terutama di Jawa Barat yang menjadi salah satu pusat mobilitas masyarakat. (Sumber: Indosat)
Ayo Netizen 22 Des 2025, 12:35 WIB

Cerita Kota Singgah yang Dirindukan

Predikat "kota singgah" bisa diraih Bandung dengan menghubungkan potensi wilayah dan kota di sekitar Bandung.
Flagship outlet Bebek Kaleyo di Jalan Sumatera No. 5, Kota Bandung yang mempertemukan kuliner tradisional dengan estetika kekinian. (Sumber: dok. Bebek Kaleyo)
Beranda 22 Des 2025, 12:19 WIB

Peran Ibu di Era Screen Time: Tak Harus Jadi Ahli Teknologi, Cukup Mendampingi dengan Hati

Seorang ibu tidak harus menjadi ahli teknologi untuk bisa menjadi sosok yang menginspirasi bagi anak-anaknya. Justru kehadiran, pendampingan, dan kemauan belajar jauh lebih penting.
Dini Andriani, kedua dari kanan. (Sumber: ayobandung.id | Foto: Toni Hermawan)
Beranda 22 Des 2025, 11:51 WIB

Redefinisi Peran Ibu Pekerja: Saat Karir dan Domestik Tak Lagi Menjadi Beban Ganda

Ia menegaskan bahwa kehidupan rumah tangga seharusnya dibangun di atas prinsip kebersamaan, bukan relasi timpang.
Pemimpin Redaksi Digital Mama.Id, Catur Ratna Wulandari. (Sumber: Dokumen pribadi)
Ayo Netizen 22 Des 2025, 11:05 WIB

Kisah ‘Lampu Merah Terlama di Indonesia’ di Kota Nomor 1 Termacet se-Nusantara

Lampu Merah Kiaracondong-Soekarno Hatta (Kircon) di Kota Bandung sudah lama ditetapkan sebagai stopan “Lampu Merah Terlama di Indonesia”.
Kemacetan di Lampu Merah Perempatan Kiaracondong, Jalan Soekarno-Hatta, Kota Bandung. (Sumber: ayobandung.id | Foto: Muslim Yanuar Putra)
Beranda 22 Des 2025, 10:57 WIB

Ibu Tunggal, Aktivis, dan Jalan Panjang Melawan Stigma

Salah satunya, fakta bahwa di tahun 2010-2013-an jurnalis perempuan masih minim jumlahnya dan statusnya sebagai “Janda” kemudian sering dipermasalahkan
Rinda Aunillah Sirait. (Sumber: ayobandung.id | Foto: Nisrina Nuraini)
Ayo Netizen 22 Des 2025, 10:18 WIB

Mengeja Imajinasi Kota Hijau

Paris van Java (PVJ) dengan jargon Bandung Utama masih memiliki ruang strategis untuk memperkuat kebijakan dan inovasi menuju kota yang lebih hijau, inklusif, dan berkelanjutan.
Warga berada di Taman Foto, Kota Bandung, Senin 15 September 2025. (Sumber: Ayobandung.com | Foto: Irfan Al-Faritsi)
Beranda 22 Des 2025, 09:47 WIB

Menjadi Ibu dan Ayah Sekaligus, Perjalanan Seorang Single Parent Menjaga Masa Depan Anak

Menjalani dua peran sekaligus tentu bukan hal yang mudah. Namun, ia memilih bertahan dan berdamai dengan keadaan yang ada.
Tri Nur Aini Noviar. (Sumber: ayobandung.id | Foto: Ilham Maulana)
Ayo Netizen 22 Des 2025, 08:26 WIB

Curhat di Media Sosial, Masyarakat Bandung Keluhkan Kondisi Trotoar

Bandung terkenal sebagai kota estetik yang punya masalah dengan trotoar dan jembatan penyeberangan orang (JPO).
Kondisi trotoar Jln. Moch. Toha membutuhkan perbaikan oleh Pemerintah Kota Bandung, Sabtu (29//11/2025). (Foto: Risa)
Ayo Netizen 22 Des 2025, 07:20 WIB

Pelestari Adat Sunda: Berdedikasi pada Indahnya Pernikahan lewat Pakaian Adat Sunda

Tentang pakaian pernikahan adat Sunda dilihat dari perspektif make up artist dan distributor pakaiannya.
Pengantin wanita tampil anggun dalam balutan Paes Sunda Siger saat hari pernikahannya di Kebon Jeruk, Kec. Andir, Kota Bandung. (Sumber: Dok. Pribadi | Foto: Endang Rachmawati)
Beranda 21 Des 2025, 23:31 WIB

Bukan Sekadar Tren: Alasan Perempuan Gen Z Lebih Aktif di Second Account Instagram

Acara tersebut digelar untuk memperkenalkan ruang aman bagi para perempuan untuk saling berbagi cerita dan pengalaman yang disebut Kutub Sisters.
Meet Up Komunitas Kutub Sisters pada Minggu, (21/12), di Palary Coffee & Eatery. (Sumber: ayobandung.id | Foto: Nisrina Nuraini)
Ayo Netizen 21 Des 2025, 20:14 WIB

Seven October Coffee: Ruang Ngopi yang Menghidupkan Ingatan Palestina di Bandung

Seven October Coffee di Bandung menghadirkan konsep unik yang memadukan pengalaman ngopi dengan edukasi sejarah Palestina.
Tembok Sejarah Palestina dari Awal-Sekarang. (Sumber: Dokumen Pribadi | Foto: Amir Huwaidi)