AYOBANDUNG.ID - Narasi stigma sosial mengenai peran perempuan masih kerap berpijak pada nilai-nilai patriarkal yang mengakar kuat di masyarakat. Nilai ini menempatkan perempuan—terutama yang telah menikah—pada persimpangan semu antara karier dan keluarga. Seolah-olah ruang hidup dan haknya harus dibatasi oleh status relasional yang ia sandang.
Tekanan tersebut tidak hanya hadir dalam bentuk tuntutan sosial, tetapi juga berdampak pada kondisi psikologis perempuan. Adult Clinical Psychologist, Issara Rizkya, membagikan pengalamannya selama lima tahun menangani klien perempuan yang berkarier.
“Perempuan yang berkarir selalu merasa cemas dan khawatir jika fokus pada pekerjaannya. Ini mempengaruhi self esteem, self trust, dan self crisis,” jelasnya.
Kecemasan serupa juga menjadi perhatian Pemimpin Redaksi Digital Mama.Id, Catur Ratna Wulandari, atau yang akrab disapa Ratna. Ia menyoroti bagaimana pertanyaan soal pembagian waktu antara pekerjaan dan anak kerap diarahkan hanya kepada perempuan.
“Ini pertanyaan yang menurutku agak tidak adil. Karena pertanyaan ini hanya ditujukan kepada kami, perempuan. Tapi, nggak pernah ditanyakan ke laki-laki,” ucapnya.
Ratna menilai, cara pandang tersebut menunjukkan masih timpangnya persepsi tentang peran dalam rumah tangga.
“Karena rumah tangga itu, kan, berdua ya. Masa (urusan domestik dan anak) cuma perempuannya doang?” tambah Ratna.
Menurutnya, beban ganda yang selama ini dinormalisasi bukanlah kutukan permanen bagi ibu yang berkarier. Persoalan ini, kata Ratna, lebih pada distribusi peran yang bisa diatasi melalui komunikasi, komitmen pasangan, serta dukungan lingkungan kerja yang sehat.
“Posisi saya di rumah (dengan suami) ini setara. Kalau pagi, suami saya masak, saya nyiapin (urusan) anak. Supaya apa? Supaya kualitas tidur kita sama,” ungkapnya.
Ia menegaskan bahwa kehidupan rumah tangga seharusnya dibangun di atas prinsip kebersamaan, bukan relasi timpang.
“Semuanya harus berbagi, karena hidup di satu rumah itu, kan, bukan salah satu yang menumpang. Istri tidak menumpang, suami juga tidak menumpang,” jelas dia.
Dukungan dan pengertian dari pasangan menjadi hal yang sangat disyukuri Ratna. Tidak hanya dalam urusan domestik dan pengasuhan anak, tetapi juga dalam kebebasannya memilih jalur karier serta mengeksplorasi hobi dan aktivitas personal.
“Saya senang sih, karena saya tetap bisa beraktivitas (melakukan) hobi. Kami berdua tetap bisa melakukan itu,” ucap Ratna.
Dalam perannya sebagai Pimpinan Redaksi Digital Mama, Ratna percaya bahwa seorang ibu tidak semata-mata diposisikan pada kerja-kerja domestik. Perempuan, menurutnya, juga memiliki kapasitas untuk mengerjakan hal-hal teknis dan menempati posisi strategis. Bersama timnya, ia berupaya menciptakan lingkungan kerja yang fleksibel tanpa mengorbankan produktivitas.
“Kami bercita-cita Digital Mama itu jadi environment yang ramah buat ibu-ibu. Mereka tetap bisa berkarya, meskipun sudah jadi ibu,” ungkapnya.
Fleksibilitas itu juga tercermin dari kebijakan sederhana yang sering dianggap remeh di banyak tempat kerja.
“Selalu ada pertanyaan ‘boleh bawa anak gak?’ Kami selalu bilang boleh. Karena nanti anak-anak akan kami buat aktivitasnya,” tambah Ratna.

Peringatan Hari Ibu setiap 22 Desember menjadi momentum untuk kembali mengingat makna peran perempuan di ruang publik. Bagi Ratna, peran tersebut sama besar dan sama strategisnya dengan laki-laki.
“Merayakan Mother’s Day itu kalau dibaca lagi sejarahnya bukan soal merayakan peran ibu secara domestik. Tapi lebih ke bagaimana pergerakan perempuan dalam memperjuangkan hak dalam ruang publik. Mulai dari hak upah dan hak suara politik yang setara,” ungkapnya.
Ia menegaskan bahwa capaian perempuan hari ini bukanlah pemberian, melainkan hasil perjuangan panjang.
“Hak-hak yang didapat perempuan sekarang itu bukan dikasih, tapi diperjuangkan,” ucapnya.
Sebagai penutup, Ratna menyampaikan pesan penyemangat bagi para ibu dan perempuan di mana pun berada: bahwa perempuan mampu menjalani banyak peran selama diberikan kesempatan.
“Perempuan itu bisa memiliki peran banyak di dalam ataupun di luar rumah. Mudah-mudahan semua perempuan punya kesempatan untuk mengekspresikan dirinya sesuai yang dia mau. Walaupun sudah jadi ibu, cita-cita kita nggak expired kok,” tutupnya.
