AYOBANDUNG.ID -- Derasnya hujan yang mengguyur Sumatera sejak akhir November 2025 mengubah banyak wilayah menjadi lautan duka. Sungai-sungai meluap, tanah yang gundul runtuh dari lereng bukit, dan desa-desa yang semula tenang mendadak terendam lumpur.
Di Aceh, Sumatera Utara, hingga Sumatera Barat, ribuan keluarga kehilangan rumah, sekolah, bahkan orang-orang tercinta. Data resmi BNPB mencatat lebih dari seribu jiwa meninggal dunia, ratusan hilang, dan ribuan lainnya luka-luka. Angka itu bukan sekadar statistik tapi potret kehilangan yang nyata, terpatri dalam wajah-wajah penyintas yang masih berjuang bertahan.
Di tengah kepanikan itu, berbagai lembaga filantropi bergerak cepat. Rumah Zakat menjadi salah satu contoh kecil bagaimana masyarakat sipil hadir di garis depan. Melalui program Peduli Bencana Sumatera, mereka menjangkau lebih dari 50 ribu penerima manfaat di wilayah terdampak.
Relawan menembus jalanan yang terputus, menyeberangi genangan, dan mendirikan posko di titik-titik prioritas. Kehadiran mereka bukan sekadar distribusi logistik, melainkan tanda bahwa solidaritas masih hidup di tengah reruntuhan.
Di posko pengungsian, aroma nasi bungkus bercampur dengan bau lumpur yang masih melekat di pakaian para penyintas. Anak-anak berlarian dengan wajah pucat, sementara para relawan sibuk membagikan air bersih dan perlengkapan tidur. Kelompok rentan seperti lansia dan perempuan mendapat perhatian khusus, karena mereka paling mudah terjebak dalam keterpurukan.
Chief Program Officer Rumah Zakat, Murni Alit Baginda, menegaskan bahwa langkah mereka tidak berhenti pada fase darurat. Dia menyampaikan lembaga filantropi harus berpikir jauh ke depan, membangun fondasi pemulihan yang berkelanjutan.
“Intervensi kami tidak berhenti pada bantuan darurat. Sejak awal, program disusun berbasis kebutuhan riil masyarakat agar dapat berlanjut ke fase rehabilitasi dan rekonstruksi secara terarah dan bermartabat,” jelasnya.
Solidaritas publik menjadi denyut nadi dari gerakan ini. Donasi mengalir dari berbagai penjuru negeri, membuktikan bahwa rasa kepedulian masih kuat. Hingga pertengahan Desember, lebih dari Rp16 miliar berhasil dihimpun. Dari jumlah itu, Rp12,6 miliar sudah disalurkan untuk kebutuhan darurat, sementara sisanya Rp3,6 miliar disiapkan untuk program pemulihan jangka panjang.
Chief Marketing Officer Rumah Zakat, Didi Sabir, menegaskan pentingnya kepercayaan dalam setiap rupiah yang dititipkan. Oleh sebab itu, transparansi menjadi pondasi yang membuat gerakan ini terus dipercaya.
“Kami memastikan seluruh proses penghimpunan dan penyaluran dana disampaikan secara terbuka kepada publik. Kepercayaan donatur adalah amanah, dan setiap rupiah yang dititipkan harus memberikan dampak nyata bagi penyintas,” ungkapnya.
Kolaborasi lintas sektor memperkuat langkah mereka. Pemerintah, korporasi, komunitas, hingga lembaga filantropi nasional bergandengan tangan.
Sinergi ini memperluas jangkauan bantuan, memastikan bahwa tidak ada wilayah terdampak yang terlewat. Di tengah kompleksitas bencana, kolaborasi menjadi kunci agar pemulihan berjalan menyeluruh.
Memasuki fase rehabilitasi, Rumah Zakat menyiapkan strategi yang lebih panjang. Perbaikan hunian, pembangunan hunian sementara dan tetap, pemulihan sosial-ekonomi, serta penguatan kesiapsiagaan bencana menjadi fokus.
Pendekatan ini sejalan dengan kebijakan penanganan bencana nasional, sekaligus memperlihatkan kontribusi masyarakat sipil dalam mendukung pemulihan Sumatera.
Namun, di balik semua itu, bencana ini kembali membuka luka lama tentang kerusakan lingkungan. Deforestasi, alih fungsi lahan, dan lemahnya tata kelola lingkungan memperparah risiko banjir dan longsor.
Data KLHK menunjukkan Indonesia kehilangan lebih dari 650 ribu hektare hutan per tahun. Angka itu adalah alarm keras bahwa bencana hidrometeorologi bukan sekadar fenomena alam, melainkan konsekuensi dari eksploitasi ekosistem.
Di Sumatera, kerusakan lingkungan terlihat nyata. Lereng bukit yang digunduli tambang, daerah aliran sungai yang kehilangan vegetasi, dan tata ruang yang abai terhadap daya dukung lingkungan memperbesar risiko. BNPB menegaskan bahwa banjir dan longsor kali ini adalah kombinasi antara curah hujan ekstrem dan lemahnya perlindungan ekosistem.
Dampak sosial-ekonomi dari bencana ini begitu besar. Ribuan keluarga kehilangan mata pencaharian, terutama mereka yang bergantung pada pertanian dan perdagangan lokal.
Anak-anak kehilangan akses pendidikan karena sekolah rusak, sementara layanan kesehatan lumpuh akibat fasilitas yang hancur. Pemulihan ekonomi menjadi tantangan besar yang harus segera dijawab.
Rumah Zakat merespons dengan program pemberdayaan ekonomi lokal. Bantuan modal usaha kecil, pelatihan keterampilan, dan dukungan sosial menjadi bagian dari strategi pemulihan. Pendekatan ini tidak hanya mengembalikan roda ekonomi, tetapi juga membangun kemandirian masyarakat terdampak agar mampu bangkit.
Relawan menjadi wajah nyata solidaritas. Mereka hadir di lapangan, menghubungkan bantuan dengan masyarakat terdampak, sekaligus menjadi pengingat bahwa kemanusiaan bukan hanya tentang memberi, tetapi juga tentang hadir bersama mereka yang kehilangan.
Dukungan psikososial juga menjadi perhatian. Trauma pascabencana, terutama bagi anak-anak dan perempuan, membutuhkan penanganan khusus. Rumah Zakat menyediakan layanan konseling dan ruang aman agar mereka dapat kembali menata kehidupan dengan lebih tenang.
Hunian sementara dirancang dengan prinsip layak huni, aman, dan ramah lingkungan. Hunian ini menjadi jembatan menuju hunian tetap yang lebih kokoh. Pendekatan ini memastikan bahwa masyarakat tidak hanya kembali memiliki tempat tinggal, tetapi juga ruang untuk membangun kembali kehidupan dengan bermartabat.
Edukasi kebencanaan menjadi bagian penting dari program pemulihan. Rumah Zakat bersama mitra lokal menguatkan kapasitas masyarakat melalui pelatihan kesiapsiagaan. Tujuannya agar wilayah rawan lebih siap menghadapi bencana di masa depan.
Program Peduli Bencana Sumatera menunjukkan bahwa filantropi dapat menjadi pilar penting dalam pemulihan pascabencana. Dengan kolaborasi, transparansi, dan keberlanjutan, aksi kemanusiaan ini menjadi inspirasi bagi gerakan solidaritas nasional.
Rumah Zakat menegaskan bahwa pemulihan bukan sekadar membangun kembali yang rusak, tetapi juga membangun fondasi baru yang lebih tangguh. Dengan pendekatan holistik yang mencakup aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan, program ini menjadi contoh bagaimana filantropi dapat berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan.
“Upaya ini sejalan dengan kebijakan penanganan bencana nasional dan menjadi bagian dari kontribusi masyarakat sipil dalam mendukung pemulihan Sumatera secara berkelanjutan,” ujar Didi.
Alternatif kebutuhan tanggap bencana atau produk serupa:
