AYOBANDUNG.ID - Begitu mendengar kata “Lapindo”, orang tak lagi teringat nama perusahaan tambang, tapi nama tragedi nasional yang tak selesai-selesai. Lumpur menyembur, rumah tenggelam, dan janji ganti rugi hanyut entah ke mana. Hanya satu yang tak tenggelam: ingatan publik tentang skandal yang beraroma busuk.
Siapapun yang pernah ke Sidoarjo dan melihat gundukan raksasa mirip danau kopi susu yang tak pernah kering, itulah peninggalan paling “produktif” dari PT Lapindo Brantas. Tidak menghasilkan gas, tapi lumpur panas, bau, dan bikin beberapa hilang dari peta.
Ceritanya dimulai pada 28 Mei 2006. Lapindo Brantas, perusahaan yang waktu itu dikaitkan dengan Grup Bakrie, sedang semangat-semangatnya ngebor sumur Banjar-Panji 1 di Porong. Sumur tersebut menembus tanah sedalam hampir 3.000 meter. Targetnya: gas alam di Formasi Kujung, yang katanya penuh batu karbonat kaya hidrokarbon. Tapi siapa sangka, bukannya dapat gas, yang keluar malah lautan lumpur yang sampai sekarang masih setia menyembur dari perut bumi.
Lapindo, dalam laporan teknisnya, mengaku sudah memasang casing pelindung di kedalaman 1000-an meter. Tapi dari kedalaman itu hingga titik akhir 2.834 meter, tak ada lagi pelindung. Lubang itu seperti sedotan panjang yang menembus perut bumi tanpa penutup di ujungnya. Lalu datanglah gempa Yogyakarta pada 27 Mei 2006, berkekuatan 6,3 magnitudo. Getarannya sampai juga ke Sidoarjo, kira-kira 250 kilometer jauhnya. Lapindo kemudian punya alasan geologis yang cukup manis: katanya lumpur itu keluar gara-gara gempa. Gempa bikin tanah retak, lalu lumpur naik ke permukaan. “Bukan salah kami, salah bumi,” begitu kira-kira logikanya.
Baca Juga: Hikayat Kasus Penganiayaan Brutal IPDN Jatinangor, Tumbangnya Raga Praja di Tangan Senior Jahanam
Sayangnya, logika itu tak cukup membuat warga percaya. Karena sehari sebelum gempa pun, sistem pengeboran Lapindo sudah kacau. Lumpur pengeboran hilang, tekanan naik-turun seperti pasien demam berdarah, dan bagian bawah sumur tak dipasang casing pelindung. Ibarat ngebor tanpa celana dalam, ya wajar saja kalau akhirnya bocor.
Pagi 29 Mei 2006, sekitar pukul 05.00 WIB, tanah di dekat sumur mendesis. Uap, air panas, dan sedikit gas meletus dari bawah tanah. Dalam hitungan jam, lumpur bersuhu 60 derajat Celsius mulai menyembur, mengalir, dan menyebar ke sawah-sawah, rumah, bahkan kandang ayam. Dua hari kemudian, muncul lagi semburan baru. Porong seketika berubah jadi kolam raksasa.
Lapindo tentu panik. Dalam dua hari pertama, mereka coba menambal sumur itu pakai semen dan lumpur pengeboran padat. Hasilnya? Nihil. Lumpur malah tambah semangat keluar. Seperti menutup lubang kuali dengan kertas koran. Lumpur tetap keluar. Bahkan, semburan makin ganas. Dua hari kemudian, pada 31 Mei, semburan baru muncul di titik lain, sekitar satu kilometer dari lokasi awal. Bumi seperti berlubang-lubang.
Pada awal Juni, kegawatan makin menjadi. Volume semburan mencapai 180.000 meter kubik per hari. Bayangkan 72 kolam renang ukuran Olimpiade meluap setiap hari. Tanggul darurat dibuat dari tanah dan karung pasir, tapi sering jebol karena tekanan lumpur terlalu tinggi. Desa Siring, Renokenongo, dan Jatirejo tenggelam satu per satu.
Warga mengungsi ke tenda, mushola, dan rumah saudara. Ada yang hanya sempat menyelamatkan pakaian di badan. Lumpur yang panas dan beracun membuat siapa pun tak bisa lama-lama mendekat. Sawah jadi rawa, tambak udang berubah jadi kubangan. Yang dulunya panen padi, kini panen kesengsaraan.
Pada 12 Juli 2006, tanggul di Desa Jatirejo jebol lagi. Lumpur menyerbu, rumah-rumah roboh, pabrik-pabrik terendam. Warga yang masih bertahan akhirnya menyerah. Bulan Agustus, giliran Mindi dan Besuki yang kena. Tiga kecamatan: Porong, Jabon, dan Tanggulangin, resmi jadi zona lumpur setelahnya.
Walau Sidoarjo sudah jadi kota lumpur, Lapindo masih bersikeras menuding gempa Yogyakarta sebagai biang kerok. Pemerintah pusat juga tampak berhati-hati—tak mau menyalahkan Lapindo secara terbuka, tapi juga tak bisa membungkam kemarahan publik. Maka dibentuklah lembaga baru bernama Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) pada Agustus 2006. Tugasnya: menahan, mengatur, dan kalau bisa, mengalihkan lumpur ke Sungai Porong. Solusi ini tentu "cerdas": memindahkan lumpur ke sungai agar lumpur ikut ke laut. Laut pun akhirnya ikut "menikmati" proyek nasional ini.
Baca Juga: Tragedi Longsor Sampah Leuwigajah 2005: Terburuk di Indonesia, Terparah Kedua di Dunia
Problemnya, lumpur Lapindo bukan lumpur biasa. Ia mengandung logam berat seperti merkuri, timbal, dan arsenik. Udang, ikan, dan tambak warga mati satu per satu. Air irigasi tercemar, dan hasil panen menurun drastis. Sidoarjo yang dulu subur kini jadi lanskap pasca-apokaliptik: bau belerang, kabut panas, dan genangan abu-abu sejauh mata memandang.
Hari berganti, minggu melesat, bulan berganti tahun, tapi semburan lumpur itu tak juga berhenti. Dari pagi hingga malam, uap panas masih mengepul dari perut bumi seperti napas naga yang kelelahan tapi enggan padam. Tanggul demi tanggul dibangun, tapi selalu jebol; kampung demi kampung tenggelam, seolah bumi menolak mengembalikan apa yang sudah direbutnya. Di kejauhan, warga menatap puing rumahnya yang kini tinggal atap, simbol kecil dari harapan yang perlahan tenggelam bersama tanah kelahiran mereka.
Di pengungsian, hidup berputar dalam lingkar yang sama: antre bantuan, hitung ganti rugi, dan dengar lagi janji yang lama ditepati. Setiap pejabat datang dengan rombongan kamera dan kata-kata manis, lalu pergi meninggalkan lumpur yang tetap menguap. Warga menua di antara tenda-tenda darurat, sebagian sudah menyerah, sebagian lain masih percaya keadilan akan datang.
Dari sisi ekonomi, bencana ini memakan kerugian triliunan rupiah. Jalan tol Porong-Gempol terputus—urat nadi perdagangan Jawa Timur lumpuh. Ribuan buruh di pabrik sekitar kehilangan pekerjaan. Petani kehilangan lahan, nelayan kehilangan tambak, dan pemerintah kehilangan muka.
Sekitar 60.000 orang dari 16 desa harus mengungsi. Banyak yang kini hidup berpindah, dengan status KTP yang tak lagi valid karena alamatnya sudah “ditelan bumi.” Bayangkan ada warga yang bercanda pahit, “Kalau di KTP tertulis Desa Renokenongo, itu artinya alamat di dasar lumpur.”
Beberapa desa yang hilang karena bencana lumpur Lapindo di Sidoarjo antara lain adalah Renokenongo, Siring, Jatirejo, Kedungbendo, Besuki, Ketapang, dan Mindi.

Kompensasi? Tentu ada di atas kertas. Pemerintah menetapkan total ganti rugi sekitar Rp3,8 triliun, tapi penyalurannya seperti drama sinetron: lama, berliku, dan penuh segmen-segmen tak perlu. Ada yang protes dengan aksi blokade jalan Porong-Gempol, menuntut uang pengganti. Ada pula yang pasrah, karena setiap kali bicara soal tanggung jawab, yang keluar cuma lumpur politik: kental, licin, dan berbau busuk.
Kini, dua dekade berlalu. Tahun 2025, lumpur Lapindo masih menyembur, meski tak seganas dulu. Debitnya menurun, tapi kawahnya tetap hidup. Kawasan Porong bahkan dijadikan lokasi wisata bencana—disaster tourism, istilahnya. Orang datang, foto-foto, beli kaus bertuliskan “Welcome to Lumpur Lapindo.”
Baca Juga: Tragedi AACC Bandung 2008, Sabtu Kelabu Konser Beside
Lucu tapi getir: tragedi yang menggusur puluhan ribu jiwa kini jadi destinasi selfie. Mungkin karena di negeri ini, bencana pun bisa dikomersialkan, asal dikemas dengan spot Instagramable dan sedikit narasi heroik.
Sebagian ilmuwan menyebut kapan lumpur Lapindo akan berhenti keluar sulit diperkirakan, sebagian lainnya memperkirakan semburan ini bisa berlangsung hingga 2036. Artinya, lumpur Lapindo akan lebih awet daripada banyak janji politik yang lahir sesudahnya. Bedanya, lumpur tak pernah janji, tapi tetap konsisten keluar setiap hari.
Sampai hari ini, Porong masih berdiri di atas tanah yang labil, dengan cerita pahit yang belum kering. Dan Lapindo—dengan segala kontroversinya—telah menulis satu bab paling absurd dalam sejarah Indonesia modern: bagaimana sebuah sumur gas bisa berubah jadi danau penderitaan yang tak pernah padam.
Dipicu Lapindo atau Gempa Yogya?
Kontroversi mengenai penyebab letusan gunung lumpur Lapindo di Sidoarjo menjadi salah satu perdebatan ilmiah terbesar dalam bidang geologi modern. Sejak semburan pertama terjadi pada 29 Mei 2006, para ilmuwan dunia berusaha menjelaskan apakah bencana tersebut merupakan akibat dari aktivitas pengeboran gas oleh PT Lapindo Brantas atau akibat gempa Yogyakarta berkekuatan 6,3 Skala Richter yang terjadi dua hari sebelumnya.
Pihak perusahaan tentu lebih suka versi kedua. Lebih mudah menyalahkan alam—alam tak bisa dituntut, tak punya kuasa hukum, dan tak bakal muncul di pengadilan. Tapi sayangnya, sains punya kebiasaan buruk: ia cenderung jujur.
Sejak awal, para ahli geologi dunia seperti Richard Davies dari Durham University dan Michael Manga dari University of California sudah mengendus ada yang tak beres dengan klaim “ini semua gara-gara gempa.” Dalam serangkaian penelitian antara 2007 sampai 2010, mereka membongkar kelemahan teori itu dengan gaya yang halus tapi telak. Menurut mereka, energi gempa Yogyakarta terlalu kecil, bahkan seribu kali lebih kecil dari tekanan yang dibutuhkan untuk memecahkan lapisan batuan di bawah Sidoarjo.
Bayangkan begitu: kalau gempa itu benar penyebabnya, maka setiap lindu kecil yang terjadi di Jawa sudah cukup untuk membuat seluruh Pulau Madura berubah jadi spa lumpur raksasa. Tapi kenyataannya tidak. Jarak episentrum gempa dari Sidoarjo pun mencapai 175 sampai 250 kilometer. Itu kira-kira sama jauhnya dengan mencoba memicu letusan di dapur tetangga hanya dengan mengetuk meja sendiri.
Para ilmuwan itu bahkan punya punchline yang lebih sadis: katanya, tekanan pasang surut air laut di pantai selatan jauh lebih besar daripada getaran gempa yang sampai ke Sidoarjo. Jadi kalau mau konsisten, seharusnya para pengacara Lapindo menuntut laut, bukan gempa.
Sejarah geologi Jawa Timur juga menertawakan teori gempa itu. Sebelum tahun 2006, sudah ada gempa-gempa yang jauh lebih besar dan lebih dekat dari lokasi semburan. Tapi tak satu pun menghasilkan bencana lumpur. Aneh, kan? Bumi ini, tampaknya, hanya “memilih” bereaksi tepat di bawah proyek pengeboran gas yang kebetulan milik perusahaan dengan koneksi politik yang lumayan hangat.
Kalau mengikuti logika ilmiah, semuanya lebih terang benderang. Catatan pengeboran Lapindo sendiri menunjukkan bahwa pada hari semburan terjadi, ada peristiwa yang disebut “kick” atau lonjakan tekanan tiba-tiba saat alat bor ditarik dari lubang sumur. Dalam bahasa sederhana: sumur itu belum stabil, tapi sudah diperlakukan seperti borongan proyek yang harus segera selesai. Tekanan di bawah tanah tak punya waktu mendingin, lalu mencari jalan keluar. Dan seperti biasa, yang jadi korban bukan pelaku, tapi warga di atasnya.
Baca Juga: Kecelakaan Bus di Wado Sumedang 2021, Tragedi Study Tour yang Renggut 29 Korban
Lumpur bertekanan tinggi pun menyeruak ke permukaan, menembus celah-celah bumi, lalu menelan rumah, sekolah, dan sawah. Ketika perusahaan mencoba menutupnya dengan memompa lumpur bor ke dalam sumur, semburannya memang sempat melambat. Tapi itu justru memperkuat bukti bahwa sumur dan semburan punya hubungan langsung—seperti hubungan antara korek dan api.
Beberapa tahun kemudian, muncul teori baru yang mencoba menyelamatkan muka pihak korporasi. Seorang ilmuwan dari Jerman, Stephen A. Miller, bersama timnya dari University of Bonn, menerbitkan studi di Nature Geoscience tahun 2013. Mereka menyebut bahwa getaran gempa Yogyakarta merambat jauh ke Sidoarjo dan terfokus di bawah tanah seperti cahaya lewat lensa, sehingga tekanan di formasi batuan meningkat lalu memecahkan lapisannya.
Hipotesis itu dibantah oleh Mark Tingay dari University of Adelaide. Tingay membongkar bahwa data yang digunakan tim Miller keliru lantaran mereka memasukkan lapisan baja pelindung sumur sebagai bagian dari batuan dalam penelitian. Artinya, mereka tak sedang memodelkan bumi, tapi memodelkan pipa besi. Kesalahan itu membuat seluruh model mereka omong kurang valid.
Tingay, yang juga mempublikasikan studi pada 2008, menyimpulkan bahwa gempa Yogyakarta terlalu kecil, terlalu jauh, dan terlalu tidak relevan untuk disalahkan. Ia menulis, kalau semua gempa sekecil itu bisa memicu gunung lumpur, maka seluruh kawasan Asia Tenggara sudah lama tenggelam dalam bubur panas.
Hipotesis ilmiah paling kuat hingga kini menyatakan bahwa letusan gunung lumpur Sidoarjo bukanlah akibat gempa Yogyakarta, melainkan hasil dari kesalahan prosedur dan tekanan tinggi akibat aktivitas pengeboran manusia.
