AYOBANDUNG.ID - Pada malam 2 April 2007 itu, sekitar pukul 22.00 WIB, udara di kampus IPDN Jatinangor terasa dingin dan basah. Di barak DKI Atas, suasana tak seperti biasa. Teriakan senior, langkah kaki terburu-buru, dan suara benda jatuh memecah keheningan malam. Di sinilah hidup seorang praja muda bernama Cliff Muntu, 19 tahun, berakhir dengan cara paling brutal yang bisa dibayangkan di sebuah lembaga pendidikan.
Cliff malam itu dipanggil bersama 26 rekan seangkatan dari tingkat II. Mereka disebut telah melanggar disiplin: terlambat tiga puluh menit datang ke latihan. Dalam aturan tak tertulis IPDN, keterlambatan adalah dosa besar. Hukuman dijatuhkan oleh sebelas senior tingkat III—anggota Pataka, kelompok elite pembawa lambang IPDN yang dikenal berpengaruh dan tak tersentuh.
Tapi hukuman di IPDN bukan teguran, bukan push-up, apalagi peringatan tertulis. “Koreksi” adalah istilah halus untuk penganiayaan fisik.
Pada malam jahanam itu, Cliff dan 26 praja lainnya dikumpulkan di kamar barak berukuran sempit, diterangi lampu temaram. Mereka diperintahkan berbaris dan menanggalkan baju. Satu per satu, para senior menghantam dada dan perut mereka dengan tangan kosong. Beberapa menggunakan benda keras: sabuk, tongkat kecil, bahkan sepatu. “Agar disiplin,” katanya.
Cliff mendapat pukulan paling banyak. Berdasarkan hasil penyelidikan, ia menerima 48 kali pukulan dari tujuh senior tingkat III: Fendi Ntobuo, M. Amrullah, Jacka Anugerah Putra, Andi Bustamil, Hikmat Faizal, Ahmad Pendi Harahap, dan Frans Ayokuzi. Mereka memukul bagian dada, ulu hati, dan perut—bagian tubuh yang bisa menimbulkan luka dalam tanpa meninggalkan banyak bekas luar.
Baca Juga: Jejak Pembunuhan Sadis Sisca Yofie, Tragedi Brutal yang Gegerkan Bandung
Sekitar pukul 23.00, Cliff mulai oleng. Napasnya tersengal. Ia sempat memegangi perut tanda kesakitan. Tapi para senior tak berhenti. Seorang saksi praja mengatakan Cliff sempat terjatuh dua kali dan dipaksa berdiri lagi. Tak lama kemudian, ia jatuh pingsan dan tak bangun lagi.
Setelahnya, ambulans kampus baru dipanggil hampir setengah jam kemudian. Ketika akhirnya tiba di Rumah Sakit Al Islam Bandung pukul 23.40, Cliff sudah tak bernyawa. Dokter memperkirakan ia meninggal sekitar pukul 23.10, masih di dalam barak.
Tapi malam itu juga, pihak IPDN langsung menyiapkan versi resmi: Cliff meninggal karena penyakit liver. Surat kematian segera diterbitkan oleh Iyeng Sopandi, staf medis IPDN. Tak ada pemeriksaan mendalam, tak ada laporan kekerasan. Jenazah pun segera disiapkan untuk dikirim ke Manado.
Kejanggalan muncul saat keluarga menerima jenazah. Sherly Rondonuwu, ibunda Cliff, menangis histeris melihat tubuh anaknya. Ada bekas lebam di dada, perut, dan paha. Bahkan, aroma formalin menyengat begitu peti dibuka. Kecurigaan pun mencuat: ada yang disembunyikan.
Kecurigaan keluarga membawa kasus ini ke otopsi ulang di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung. Dari sinilah kebohongan IPDN terkuak satu per satu.

Tim forensik menemukan pendarahan luas di hampir semua organ vital: jantung, paru-paru, hati, limpa, ginjal, dan otak. Ada pula memar hebat di dada dan perut akibat pukulan benda tumpul berulang. Luka-luka itu menyebabkan bendungan pembuluh darah dan pendarahan masif, penyebab langsung kematian Cliff.
Baca Juga: Sejarah Panjang ITB, Kampus Insinyur Impian Kolonial di Tanah Tropis
Tak hanya itu, dokter juga menemukan bekas suntikan cairan formalin di dada dan perut jenazah. Formalin digunakan untuk mengawetkan mayat, tapi penyuntikan dini sebelum otopsi resmi, hanya punya satu tujuan: mengaburkan bekas luka lebam.
Iyeng Sopandi akhirnya mengaku menyuntikkan formalin tanpa izin, atas perintah Prof. Lexie M. Giroth, salah satu pejabat akademik IPDN. Lexie bahkan mengeluarkan surat keberatan otopsi, agar jasad Cliff segera dimakamkan tanpa pemeriksaan lanjutan. Dengan kata lain, kampus mencoba menutup-nutupi fakta pembunuhan.
Polisi pun turun tangan. Dari hasil penyidikan, ditemukan bahwa tindakan kekerasan malam itu terorganisir dan sistematis. Para pelaku bergantian memukul korban dalam satu ruangan yang dijaga ketat agar tak ada saksi luar. Setelah Cliff pingsan, ada upaya “pembersihan” lokasi: bekas darah dilap, ruangan disemprot cairan pembersih, dan para senior bersepakat menyebut Cliff “pingsan karena sakit”.
Fakta lain yang lebih gelap: perpeloncoan seperti ini rutin terjadi. Sebulan sebelum Cliff meninggal, dua praja lain sempat dilarikan ke rumah sakit karena luka dalam akibat “koreksi”. Tapi kasus itu diselesaikan secara internal. Tak ada laporan ke polisi, tak ada sanksi berat. “Ini tradisi,” kata salah satu praja senior dalam kesaksian di pengadilan.
Kebohongan demi kebohongan akhirnya runtuh setelah media nasional menyorot kasus ini. Gambar tubuh Cliff yang lebam tersebar luas. Menteri Dalam Negeri saat itu, Mardiyanto, langsung menonaktifkan Rektor IPDN I Nyoman Sumaryadi dan membentuk Tim Evaluasi IPDN lewat Keppres No. 8 Tahun 2007, dipimpin Prof. Ryaas Rasyid.
Fendi Ntobuo dan M. Amrullah ditetapkan sebagai pelaku utama. Mereka yang memukul Cliff paling banyak di bagian dada dan ulu hati. Pada 23 November 2007, keduanya divonis 3 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Sumedang. Vonis ini jauh lebih ringan dari tuntutan jaksa 8 tahun. Lima pelaku lain hanya dijatuhi 8 bulan penjara, meski semuanya dipecat tidak hormat.
Hakim menolak dakwaan pembunuhan dan menilai kasus ini sebagai penganiayaan bersama-sama yang menyebabkan kematian. Alasan meringankan: usia muda, menyesal, dan belum pernah dihukum.
Keluarganya menggugat balik negara. Melalui pengacara OC Kaligis, mereka menuntut ganti rugi Rp150 miliar ke PN Jakarta Pusat, menuduh IPDN dan Kementerian Dalam Negeri lalai dan melakukan perbuatan melawan hukum. Gugatan itu menyoroti bukan hanya pembunuhan anak mereka, tapi budaya kekerasan sistemik yang dibiarkan hidup di IPDN selama puluhan tahun.
Baca Juga: Sejarah Tahu Sumedang, Warisan Cita Rasa Tionghoa hingga Era Cisumdawu
Dalam gugatan, disebut bahwa antara 1993 hingga 2007, sedikitnya 17 praja tewas di tangan senior. Kasus serupa pernah terjadi pada Praja Wahyu Hidayat (2003), yang dikeroyok sepuluh senior hingga meninggal, dan pelakunya tetap diluluskan menjadi pejabat daerah. Fakta ini memperkuat dugaan bahwa kekerasan di IPDN bukan “insiden,” tapi warisan institusional.
Pasca-kematian Cliff, empat senior dipecat dalam apel luar biasa 7 April 2007. Iyeng Sopandi ditahan atas tuduhan penyuntikan formalin dan pemalsuan surat. Namun, Prof. Lexie Giroth yang memberi perintah tak pernah dijatuhi hukuman.
Gelombang kritik meluas. Gus Dur menyebut IPDN sengaja memelihara kekerasan. Survei Tempo pada Mei 2007 mencatat 76,9% publik yakin IPDN tak bisa direformasi. Namun, negara memilih jalan lain: mempertahankan IPDN.
Tapi janji tinggal janji. Tahun-tahun berikutnya, kekerasan terus berulang, dari kasus praja putri yang disiram cairan pembersih lantai (2014), pemukulan taruna Akmil (2015), hingga pengeroyokan praja asal Riau (2017). Semua dengan pola yang sama: kekerasan, penyangkalan, dan penyelesaian internal.
Tapi Cliff Muntu kini jadi simbol dari luka yang tak kunjung sembuh. Ia datang ke Jatinangor dengan seragam putih dan cita-cita jadi abdi negara, tapi pulang ke Manado dengan tubuh penuh lebam dan nyawa yang direnggut oleh sistem yang mestinya mendidik, bukan membunuh.
Di IPDN, setiap pagi praja masih berbaris di lapangan apel, mengucap sumpah setia pada negara. Tapi di antara gema suara mereka, ada bisikan nama Cliff sebagai pengingat bahwa di balik kedisiplinan yang digembar-gemborkan, ada sejarah darah yang menodai seragam itu.
