Sejarah Tahu Sumedang, Warisan Cita Rasa Tionghoa hingga Era Cisumdawu

Hengky Sulaksono
Ditulis oleh Hengky Sulaksono diterbitkan Minggu 03 Agu 2025, 08:37 WIB
Tahu Sumedang, kuliner legendaris dari Jawa Barat. (Sumber: Peter | Foto: Flickr)

Tahu Sumedang, kuliner legendaris dari Jawa Barat. (Sumber: Peter | Foto: Flickr)

AYOBANDUNG.ID - Tahu Sumedang bukan sekadar camilan khas yang bisa ditebus seribuan per biji di warung pinggir jalan. Ia menyimpan riwayat panjang yang dimulai dari keinginan seorang imigran Tionghoa menyenangkan hati istrinya, berkembang menjadi usaha kecil yang nyaris gagal, lalu berubah menjadi kuliner legendaris dari Tanah Priangan. Di balik teksturnya yang renyah dan rasa gurihnya yang khas, tahu Sumedang adalah cerita tentang cinta, migrasi, perjuangan, dan adaptasi.

Kemunculan industri tahu di Sumedang tidak bisa dilepaskan dari kehadiran orang-orang Tionghoa yang menetap di wilayah Jawa Barat sejak akhir abad ke-19. Mereka datang ke Hindia Belanda dalam gelombang besar, terutama setelah sistem tanam paksa seperti cultuurstelsel dihapuskan. Banyak dari mereka yang kemudian tinggal dan membentuk komunitas-komunitas pecinan, termasuk di Sumedang. Di sanalah kelak, sejarah tahu Sumedang dimulai.

Sesuai catatan dari buku Tahu Sejarah Tahu Sumedang terbitan LIPI (2021), komunitas Tionghoa dikenal sebagai pedagang ulung yang juga memperkenalkan berbagai jenis tanaman, seperti teh, kopi, tebu, dan kedelai. Selain membuka perkebunan, mereka mendirikan pabrik kecil untuk mengolah hasil bumi. Di lingkungan pecinan, muncul industri-industri rumahan yang memproduksi makanan khas seperti kecap, bihun, mi, dan tentu saja, tahu.

Di Sumedang, industri tahu dimulai oleh seorang pria Tionghoa bernama Ong Ki No yang tiba sekitar tahun 1900-an. Ia datang bersama istrinya, yang disebut-sebut sangat menyukai makanan khas Tiongkok bernama tao-fu. Karena sayangnya pada sang istri, Ong Ki No rela menjelajah ke wilayah yang belum dikenalnya untuk mencari kedelai—bahan utama tahu. Perjalanannya berbuah manis ketika ia menemukan kebun kedelai di wilayah Conggeang yang menghasilkan kedelai lurik, berwarna seperti telur puyuh.

Baca Juga: Jejak Sejarah Dodol Garut, Warisan Kuliner Tradisional Sejak Zaman Kolonial

Dengan menggunakan kedelai lokal dan air dari mata air Sumedang yang jernih, Ong Ki No mulai bereksperimen membuat tahu untuk konsumsi rumah tangga. Dalam proses pembuatan tahu, air memegang peran penting karena membentuk 70% komposisi bahan. Beruntung, kualitas air di Sumedang—terutama di kawasan antara Cimalaka dan Tanjungsari—pada saat itu sangat baik. Hasil tahu racikan Ong Ki No pun terasa berbeda dari tao-fu asal Tiongkok, meski saat itu bentuknya masih tahu putih rebus.

Tahu buatan Ong Ki No mulanya hanya dibagikan kepada keluarga, tetangga Tionghoa, dan masyarakat pribumi sekitar saat hari raya. Respons masyarakat ternyata positif. Lalu Ong Ki No berpikir untuk menjual tahu secara lebih serius. Sebagai perantau, tentu saja ia berharap usaha ini bisa memperbaiki nasib ekonominya. Apalagi emigrasi besar-besaran dari Tiongkok ke Asia Tenggara pada masa itu memang dipicu oleh kondisi ekonomi yang memburuk, pemberontakan petani, dan perang saudara.

Tapi sayang, upaya dagang Ong Ki No tidak mulus. Tahu putih rebus ternyata tidak banyak diminati masyarakat lokal. Karena merasa usahanya tak membuahkan hasil, Ong Ki No dan istrinya memutuskan untuk pulang ke Tiongkok pada tahun 1917. Saat itulah, tongkat estafet usaha ini dilanjutkan oleh anak mereka, Ong Bung Keng.

Tahu Bungkeng Sang Legenda Hidup

Tak seperti ayahnya, Ong Bung Keng berpikir untuk mencoba pendekatan yang berbeda. Ia melihat bahwa tahu putih rebus bisa diolah lagi. Maka ia mencoba menggoreng tahu putih tersebut. Hasilnya adalah tahu goreng dengan kulit yang renyah dan aroma yang menggoda. Rasanya lebih gurih, teksturnya lebih menarik. Sejak saat itu, potensi tahu sebagai produk kuliner lokal mulai terbuka lebar.

Tahun 1928, ada sebuah kejadian yang konon turut mengubah nasib usaha tahu Ong Bung Keng. Kala itu, Pangeran Soeriaatmadja, Bupati Sumedang, sedang melintasi daerah tempat Ong Bung Keng berjualan. Saat melewati gerobak tahu, beliau mencium aroma sedap yang tak dikenalnya. Ia turun dari kereta kudanya, mencicipi tahu goreng tersebut, dan berkata, “Makanan ini enak. Kalau dijual terus, pasti laku.”

Ucapan tersebut dianggap sebagai semacam doa oleh masyarakat, terutama karena Pangeran Soeriaatmadja dikenal sebagai tokoh yang saleh dan dihormati. Dalam budaya Sunda, ada kepercayaan bahwa ucapan orang saleh akan menjadi kenyataan: saciduh metu, saucap nyata. Maka, sejak saat itu, tahu Sumedang mulai dikenal luas. Nama Ong Bung Keng kemudian diabadikan menjadi merek dagang: Tahu Bungkeng.

Foto Keluarga Ong Bung Keng (Sumber: Tahu Sejarah Tahu Sumedang)
Foto Keluarga Ong Bung Keng (Sumber: Tahu Sejarah Tahu Sumedang)

Produksi tahu saat itu masih dilakukan secara manual dan terbatas. Dalam sehari, Bung Keng hanya bisa memproduksi sekitar seribu potong tahu berukuran 5x5 cm. Pada 1930-an, harga satu potong tahu sekitar 3 peser. Tahun 1939, tahu mulai dijajakan secara keliling oleh pedagang asongan seperti Odjo Mihardja yang menjual di area terminal.

Baca Juga: Jejak Sejarah Peuyeum Bandung, Kuliner Fermentasi Sunda yang Bertahan Lintas Zaman

Setelah kemerdekaan, industri tahu belum langsung berkembang pesat. Namun Ong Bung Keng mulai membuka kios kecil, tak hanya berkeliling menjual tahu dengan sepeda. Masyarakat pribumi pun mulai tertarik masuk ke bisnis tahu. Mereka menjadi pedagang yang mengambil tahu dari produsen dan menjualnya keliling atau di tempat-tempat ramai.

Pada tahun 1950-an, mulai bermunculan merek tahu lain selain Tahu Bungkeng, seperti Tahu Yoe Fo dan Ojolali. Semuanya masih dikelola oleh warga keturunan Tionghoa. Baru pada 1960, muncul pengusaha tahu dari kalangan pribumi seperti Epen Oyib yang mendirikan Tahu Saribumi. Menurut cucunya, Epen Oyib sempat bekerja di Tahu Yoe Fo sebelum akhirnya membuka usaha sendiri setelah merantau ke Jakarta.

Dari Orde Baru hingga Cisumdawu

Industri tahu makin tumbuh seiring pembangunan yang masif di era Orde Baru. Jalan raya dibangun, kantor pemerintahan bermunculan, dan permukiman warga makin padat. Warga Sumedang banyak yang merantau ke Jakarta atau kota lain. Saat mudik, mereka sering membawa oleh-oleh berupa tahu Sumedang dan ubi Cilembu. Maka tahu Sumedang pun makin dikenal di luar daerah.

Dalam pada 1980-an, industri tahu Sumedang benar-benar melejit. Menurut catatan LIPI, pada tahun 1979 terdapat 40 unit usaha tahu di Sumedang. Jumlah ini bertambah menjadi 50 unit dalam enam tahun berikutnya. Tahun 1989, jumlahnya melonjak menjadi 92 unit usaha. Inilah masa keemasan tahu Sumedang.

Tapi, seperti kata pepatah, roda nasib selalu berputar. Tahun 1998, Indonesia diguncang krisis moneter. Nilai tukar rupiah anjlok, harga bahan baku seperti kedelai naik drastis. Industri tahu terkena imbasnya. Harga tahu naik, daya beli turun. Tapi anehnya, jumlah unit usaha tahu justru bertambah. Pada 1998 tercatat ada 154 unit usaha tahu Sumedang, dan pada 1999 naik menjadi 158 unit.

Kenapa bisa begitu? Jawabannya, karena industri tahu adalah sektor mikro yang tidak terlalu bergantung pada utang luar negeri. Mereka berproduksi dengan skala kecil dan lebih fleksibel menghadapi fluktuasi ekonomi. Menurut catatan Bank Indonesia, UMKM seperti industri tahu justru lebih resilien di masa krisis dibanding perusahaan besar yang terlibat pinjaman dolar.

Tahun 2016, berdasarkan data Dinas Koperasi dan UKM Kabupaten Sumedang, terdapat setidaknya 42 industri tahu yang masih aktif. Jumlah ini belum termasuk cabang atau mitra yang berdiri di luar Sumedang seperti di Bandung atau Jakarta.

Sayang, ancaman baru datang seiring pembangunan jalan tol Cisumdawu (Cileunyi–Sumedang–Dawuan). Jalan tol ini memotong akses utama Kota Sumedang, yang selama ini menjadi jalur vital ekonomi dan distribusi tahu. Banyak pelaku usaha tahu mulai mengeluh karena jalur pembeli berkurang. Mereka berharap pemerintah memberi solusi agar eksistensi tahu Sumedang tetap terjaga meski lalu lintas beralih ke tol.

Baca Juga: Hikayat Java Preanger, Warisan Kopi Harum dari Lereng Priangan

Tahu Sumedang bukan hanya makanan. Ia adalah bagian dari identitas budaya, bukti adaptasi etnis Tionghoa yang kemudian menyatu dalam tanah Priangan. Dari dapur Ong Ki No yang penuh cinta, hingga gerobak Bung Keng yang mengundang selera bupati, tahu Sumedang telah melalui lebih dari satu abad perjalanan.

Hari ini, tahu Sumedang bisa ditemukan hampir di seluruh Indonesia. Tapi tetap saja, rasanya paling nikmat saat dimakan langsung di kota asalnya—panas, renyah, dan disajikan dengan cerita. Sebab di dalam tahu itu, terkandung sejarah yang digoreng dengan cinta, ditaburi perjuangan, dan disajikan dengan kebanggaan.

Nilai artikel ini
Klik bintang untuk menilai

News Update

Ayo Netizen 03 Agu 2025, 11:06 WIB

Hidden Farm Cafe, Sajian Penuh Selera yang Memanjakan Mata

Hidden Farm Cafe adalah salah satu tempat makan yang terletak di area Dago atas yang menyediakan berbagai macam menu sehat.
Menu Hidden Farm Cafe (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Dias Ashari)
Ayo Jelajah 03 Agu 2025, 08:37 WIB

Sejarah Tahu Sumedang, Warisan Cita Rasa Tionghoa hingga Era Cisumdawu

Tahu Sumedang lahir dari tangan imigran Tiongkok di awal 1900-an dan berkembang jadi kuliner khas yang melegenda hingga hari ini.
Tahu Sumedang, kuliner legendaris dari Jawa Barat. (Sumber: Peter | Foto: Flickr)
Ayo Biz 02 Agu 2025, 19:02 WIB

Dari 1968 ke Hari Ini, Warisan Rasa di Sepiring Gado-gado Tengku Angkasa

Gado-gado Tengku Angkasa bertahan hingga kini, menyuguhkan sepiring kisah sejak 1968 yang tak pernah kehilangan makna.
Gado-gado Tengku Angkasa bertahan hingga kini, menyuguhkan sepiring kisah sejak 1968 yang tak pernah kehilangan makna.
Ayo Biz 02 Agu 2025, 17:09 WIB

Menenun Inspirasi dari Barang Bekas, Kisah Tuti Rachmah dan Roemah Tafira

Tuti Rachmah Yulianti, pendiri Roemah Tafira Handycraft, yang sejak 1997 telah menyulap barang bekas menjadi karya bernilai tinggi.
Tuti Rachmah Yulianti, pendiri Roemah Tafira Handycraft, yang sejak 1997 telah menyulap barang bekas menjadi karya bernilai tinggi. (Sumber: Roemah Tafira Handycraft)
Ayo Biz 02 Agu 2025, 16:07 WIB

Antara Tren dan Nilai, Cara Anggia Handmade Merancang Busana yang Bermakna

Di tengah arus dinamis industri busana muslim, Anggiasari Mawardi hadir dengan pendekatan yang tak sekadar mengikuti tren.
Di tengah arus dinamis industri busana muslim, Anggiasari Mawardi hadir dengan pendekatan yang tak sekadar mengikuti tren. (Sumber: Anggia Handmade)
Ayo Biz 02 Agu 2025, 08:18 WIB

Jaket Super Ekslusif dari Bandung Ini Tak Pernah Kehilangan Popularitas

Dari sebuah kamar kos berukuran dua kali dua meter di Bandung, lahir sebuah brand fashion yang kini dikenal luas oleh pecinta jaket eksklusif, Rawtype Riot. Bahkan jaket ini sempat menjadi buah bibir
Jaket Rawtype Riot (Foto: Dok. Rawtype Riot)
Ayo Biz 02 Agu 2025, 07:26 WIB

Menikmati Sajian Kuliner Sunda dan Petualangan Seru di Selatan Bandung

Jika biasanya kuliner hadir sebagai pelengkap destinasi wisata, hal sebaliknya justru ditawarkan Bale Bambu. Berlokasi di jalur utama Soreang–Ciwidey, tempat makan ini menjadikan pengalaman wisata
Ilustrasi -- Nasi Liwet Sunda (Foto: Pixabay)
Ayo Netizen 01 Agu 2025, 21:29 WIB

Saat Uang Kotor Disulap Jadi Sah: Bisa Apa Hukum Indonesia?

Seperti kasus korupsi di Pemkab Bandung Barat, uang korupsi direkayasa jadi macam uang bersih melalui tindak pidana pencucian uang.
 (Sumber: Refika Aditama | Foto: Refika Aditama)
Ayo Netizen 01 Agu 2025, 20:26 WIB

Surga Kuliner Jajanan SD di Kawasan UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Pemburu kuliner jajanan SD wajib datang ke Kampus UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
Kawasan Jajanan UIN Sunan Gunung Djati Bandung (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Dias Ashari)
Ayo Biz 01 Agu 2025, 18:51 WIB

49 Tahun Bersama Canting, Kisah Hidup dalam Lembar Batik

Di tangan Sipon, malam panas yang menari di atas kain bukan sekadar teknik, melainkan warisan yang menyatu dengan detak hidupnya.
Di tangan Sipon, malam panas yang menari di atas kain bukan sekadar teknik, melainkan warisan yang menyatu dengan detak hidupnya. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Netizen 01 Agu 2025, 16:08 WIB

Gempa Bumi yang Memicu Letusan Gunung Api di Lembah Suoh 

Air Panas alami keluar di lembah Suoh, di antara dua patahan yang sejajar, dengan gerakan di garis patahan yang saling berlawanan.
Kawah Keramikan, dasarnya yang rata, seperti lantai yang dialasi keramik. (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: T Bachtiar)
Ayo Biz 01 Agu 2025, 14:22 WIB

Rupa-rupa Hijab Lokal dari Bandung, Nyaman dan Enak Dipandang

Hijab atau jilbab sudah menjadi fashion item yang melekat dalam kehidupan sehari-hari para Muslimah. Selain untuk menutup aurat, keberadaannya juga bisa mempercantik tampilan wajah.
Ilustrasi Hijab (Foto: Freepik)
Ayo Jelajah 01 Agu 2025, 14:19 WIB

Sejarah Lyceum Kristen Bandung, Sekolah Kolonial yang jadi Saksi Bisu Gemerlap Dago

Het Christelijk Lyceum atau Lyceum Kristen Bandung adalah sekolah kolonial bergaya Eropa di Dago, menyimpan jejak sejarah pendidikan Hindia Belanda dan kisah para alumninya.
Foto siswa Het Christelijk Lyceum Bandung di Dago 1951/52 (Sumber: javapost.nl)
Ayo Biz 01 Agu 2025, 14:03 WIB

Makeupuccino, di Mana Belanja Makeup Bertemu Momen Me-Time

Makeupuccino bukan hanya toko kosmetik, tapi juga ruang nyaman untuk bersantai, berbagi cerita, dan merayakan kecantikan dalam segala bentuknya.
Makeupuccino bukan hanya toko kosmetik, tapi juga ruang nyaman untuk bersantai, berbagi cerita, dan merayakan kecantikan dalam segala bentuknya. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Beranda 01 Agu 2025, 13:09 WIB

Mengapa Tanah di Cekungan Bandung Terus Ambles? Cerita dari Rancaekek dan Bojongsoang

Hasil penelitian ini mengungkap alasan utama di balik fenomena yang membuat tanah di Cekungan Bandung terus ambles.
Persawahan di Kecamatan Bojongsoang, Kabupaten Bandung. (Sumber: Google map)
Ayo Biz 01 Agu 2025, 12:46 WIB

Kolaborasi Bukan Kompetisi, Semangat Baru Fashion Lokal dari Bandung

Di tengah persaingan global, produk brand lokal asal Kota Kembang menunjukkan kepercayaan diri dan kualitas yang tak bisa dipandang sebelah mata.
Di tengah persaingan global, produk brand lokal asal Kota Kembang menunjukkan kepercayaan diri dan kualitas yang tak bisa dipandang sebelah mata. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Biz 01 Agu 2025, 12:19 WIB

Kecimpring Babakan Bandung: Usaha Camilan Tradisional yang Terus Bertahan

Kampung Babakan Bandung, Desa Pagerwangi, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, memiliki aktivitas pagi yang unik. Denting suara hiruk pikuk bukan berasal dari kendaraan atau pasar, melainkan da
Kecimpring Babakan Bandung (Foto: Ist)
Ayo Biz 01 Agu 2025, 11:46 WIB

Warung Bakso Klasik di Lengkong Kecil, Selalu Jadi Magnet Pecinta Kuliner Sejak 1994

Di sudut Jalan Lengkong Kecil No. 88, Paledang, Bandung, terdapat sebuah warung bakso sederhana. Namanya sudah melekat kuat dalam ingatan banyak warga, yaitu Mie Bakso Mang Idin.
Bakso Mang Idin (Foto: Ist)
Ayo Jelajah 01 Agu 2025, 07:53 WIB

Sejarah Seni Tari Jaipong yang Kemunculannya Diwarnai Polemik

Sejarah jaipong tak lepas dari Suwanda di Karawang dan Gugum Gumbira di Bandung. Tarian ini kini jadi ikon budaya Sunda dan Indonesia.
Tari Jaipongan asal Jawa Barat. (Sumber: Wikimedia)
Ayo Biz 31 Jul 2025, 18:06 WIB

Dari Remaja ke Keluarga, Evolusi Gaya Hidup di Balik Brand 3Second

Berawal dari semangat kreatif Kota Bandung, 3Second berkembang menjadi lebih dari sekadar merek fashion lokal.
Berawal dari semangat kreatif Kota Bandung, 3Second berkembang menjadi lebih dari sekadar merek fashion lokal. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)