Jejak Sejarah Perlawanan Rakyat Bandung terhadap Kerja Paksa Kopi Era Kolonial

Hengky Sulaksono
Ditulis oleh Hengky Sulaksono diterbitkan Jumat 19 Sep 2025, 19:17 WIB
Potret pribumi pekerja kopi di Jawa tahun 1920-an. (Sumber: KITLV)

Potret pribumi pekerja kopi di Jawa tahun 1920-an. (Sumber: KITLV)

AYOBANDUNG.ID - Priangan pada akhir abad ke-17 masih berupa dataran tinggi dengan sawah, hutan, dan tegalan. Tanah subur itu awalnya dihuni masyarakat agraris yang menanam padi, singkong, atau jagung. Kehidupan berjalan dengan ritme sederhana sampai orang-orang Belanda dari kongsi dagang VOC datang. Mereka tak datang untuk menikmati udara sejuk Bandung, melainkan untuk memburu komoditas baru yang sedang laris di pasar Eropa: kopi.

Kopi memang semula ditanam secara sukarela. Petani membuka lahan, menanam, lalu menjual hasilnya sesuai kemampuan. Namun, kebiasaan baik itu segera berubah ketika VOC menyadari keuntungan besar dari perdagangan kopi. Perlahan tapi pasti, apa yang semula sukarela menjadi kewajiban. Rakyat dipaksa menyetor panen dengan harga yang ditentukan sepihak, jauh di bawah harga pasar. Dari situlah dimulai sistem kerja paksa yang kelak dikenal sebagai Sistem Priangan.

VOC tidak pernah terlalu repot turun tangan langsung mengatur kebun kopi. Mereka cukup mengandalkan para kepala pribumi: bupati, wedana, lurah, yang dijadikan alat untuk menggerakkan rakyat. Jan Breman dalam Keuntungan Kolonial dari Kerja Paksa: Sistem Priangan dari Tanam Paksa Kopi di Jawa, 1720–1870 mencatat bahwa cara ini dipilih karena murah. Kolonial bisa menekan biaya administrasi, sementara beban memaksa rakyat jatuh ke tangan bangsawan lokal. Kepala pribumi diperintah agar “mengabdi” dengan memaksa rakyat menyetor hasil dan tenaga mereka.

Daerah Priangan kala itu dianggap frontier, wilayah pinggiran yang belum sepenuhnya terkendali secara politik maupun geografis. Maka penguasaan kolonial bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga cara untuk menundukkan masyarakat pedalaman. Kopi menjadi alat pengikat. Setiap keluarga diwajibkan menanam sejumlah pohon, dan setiap musim panen harus menyetor hasilnya ke gudang kolonial. Tidak ada pilihan lain.

Baca Juga: Jejak Kabupaten Batulayang, Lumbung Kopi Belanda di Era Preangerstelsel

Kehidupan rakyat pun berubah drastis. Lahan untuk padi atau palawija harus diganti dengan kebun kopi. Waktu kerja yang biasanya untuk keluarga dan sawah sendiri terkuras habis demi memenuhi kuota. Hasil panen dibeli murah, tapi jumlah yang diminta tidak bisa ditawar. Bila gagal memenuhi, ancaman menanti: hukuman fisik, penahanan, hingga pemindahan penduduk ke daerah lain. Petani Priangan, termasuk di Bandung, perlahan merasa dirinya bukan lagi penggarap tanah, melainkan mesin produksi bagi orang asing.

Dari sudut pandang kolonial, sistem itu tampak “efisien”. Kuota bisa diatur, harga ditetapkan, keuntungan mengalir deras ke Batavia dan Amsterdam. Namun dari sudut pandang petani, semua itu hanya penderitaan. Tak heran bila sejak awal, rakyat mencoba mencari cara untuk melawan.

Gelombang Perlawanan di Tanah Priangan

Perlawanan muncul dalam berbagai bentuk. Ada yang terang-terangan, ada pula yang diam-diam. Banyak petani memilih melarikan diri dari wilayah kerja paksa. Ada pula yang menyembunyikan panenan, atau sengaja menyetor hanya sebagian. Tidak semua tercatat dalam arsip kolonial, tetapi Breman menegaskan bahwa “keengganan mereka yang terus berkelanjutan untuk bertindak sesuai dengan yang diperintahkan oleh pemerintah kolonial merupakan hal yang sangat menentukan dalam kemunduran dan kejatuhan Sistem Tanam Paksa.” Perlawanan semacam ini, meski tampak kecil, perlahan merongrong fondasi sistem yang ditegakkan dengan kekerasan.

Ada pula perlawanan yang lebih terbuka. Nama Prawatasari menonjol dalam catatan sejarah Priangan. Ia dikenal sebagai haji pengembara dari kelompok Giri, yang mengobarkan semangat perlawanan dengan bahasa religius. VOC sendiri mencatat pengikutnya sebagai “penyembah Muhammad”, istilah peyoratif yang menunjukkan kebingungan kolonial apakah gerakan itu murni politik, ekonomi, atau agama. Padahal, ketiganya bercampur menjadi satu. Rakyat merasa diperas hasilnya, dihina keyakinannya, sekaligus direndahkan harga dirinya.

Baca Juga: Hikayat Java Preanger, Warisan Kopi Harum dari Lereng Priangan

Proses pemilahan bijih kopi di Subang pada era kolonial. (Sumber: Wikimedia)
Proses pemilahan bijih kopi di Subang pada era kolonial. (Sumber: Wikimedia)

Gerakan Prawatasari berkembang di perbukitan Priangan selatan. Ketika tekanan VOC makin kuat, ia dan para pengikutnya mencari perlindungan di Jampang. Penindasan segera dilakukan. Banyak pengikut ditangkap, dipenjara, bahkan mati dalam pengangkutan. Namun ada pula yang berhasil lolos dan terus melanjutkan perlawanan. Meskipun gerakan itu tidak menjatuhkan VOC, ia cukup membuat pihak kolonial repot.

Kepala-kepala pribumi berada dalam posisi serba salah. Sebagai perpanjangan tangan VOC, mereka dipaksa mengawasi rakyat. Namun bila terlalu keras, mereka dicap pengkhianat oleh rakyat sendiri. Bila terlalu lunak, mereka bisa dituduh membangkang oleh kompeni. Bahkan ada tuduhan bahwa sebagian kepala pribumi bersekongkol dengan pemberontak, atau setidaknya tidak menjalankan perintah VOC secara penuh. Dalam keadaan ini, jabatan bupati atau wedana bukan hanya soal kehormatan, melainkan juga soal bertahan hidup di tengah dua tekanan.

Perlawanan rakyat tak hanya berupa senjata atau pemberontakan. Humor gelap juga menjadi senjata. Petani yang harus setor kopi dengan harga murah sering melontarkan sindiran. Konon ada yang menggerutu, “Kopi kita diambil, tenaga kita dihisap, tandanya kita cuma pohon kopi keliling.” Ucapan itu getir sekaligus lucu, mengungkap absurditas sistem kolonial yang memperlakukan manusia seperti alat panen.

VOC pun tak selalu memahami apa yang sebenarnya terjadi. Mereka bingung apakah perlawanan di Priangan murni gerakan keagamaan atau pemberontakan ekonomi. Padahal jelas, rakyat melawan karena gabungan dari ketiganya: tuntutan ekonomi yang tak adil, penghinaan pada keyakinan, dan pelecehan harga diri.

Perlawanan ini, baik yang kecil maupun besar, pada akhirnya menggoyahkan keberlangsungan sistem Priangan. Kolonial memang masih bertahan, tetapi mereka harus terus memperbaiki administrasi, memberi insentif lebih kepada kepala lokal, dan memperketat pengawasan. Semua itu menambah biaya dan kesulitan bagi pemerintah kolonial.

Pada akhirnya, pada tahun 1870, sistem Priangan resmi dihapus. Breman menulis bahwa “titik balik terjadi dengan dihapusnya sistem Priangan pada tahun 1870.” Tentu saja penghapusan itu tidak semata-mata karena perlawanan rakyat, tetapi jelas penolakan yang berkelanjutan membuat sistem itu semakin sulit dijalankan. Kritik internal dari pejabat kolonial sendiri ikut mempercepat kejatuhannya.

Baca Juga: Sejarah Pahit Keemasan Kopi Priangan di Zaman Kolonial, Kalahkan Yaman via Preangerstelsel

Kendati begitu, dampak yang paling penting adalah lahirnya kesadaran baru di kalangan rakyat Priangan. Mereka mulai melihat bahwa tuntutan penyetoran paksa, kerja wajib, dan upeti berlebihan bukan hanya soal ekonomi, melainkan ketidakadilan. Hubungan kuasa yang timpang antara petani, kepala lokal, dan penguasa asing menjadi bahan keluhan yang terus diingat. Kesadaran itu menjadi bagian dari ingatan kolektif rakyat Priangan, termasuk Bandung, yang hingga kini masih terasa dalam cerita-cerita tentang kerja paksa dan perlawanan.

Di masa sekarang, Bandung dikenal sebagai kota modern dengan jalan Braga, kafe Dago, dan aroma kopi yang jadi kebanggaan. Tapi sejarah panjang menunjukkan bahwa kopi di tanah ini pernah berarti kerja paksa dan penderitaan. Petani Bandung pada abad ke-18 dan ke-19 bukan barista yang menyajikan kopi dengan senyum, melainkan kuli yang dipaksa menyetor hasil kebun demi keuntungan kolonial.

Sistem Priangan memang sudah lama berakhir, tapi jejak perlawanan rakyat tetap hidup dalam catatan. Dari lari ke hutan, menyembunyikan panenan, mengikuti gerakan ulama, hingga melontarkan sindiran getir di tengah sawah, semua itu bagian dari sejarah perlawanan rakyat Bandung dan Priangan. Tidak heroik dalam catatan resmi, tetapi nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Artikel Rekomendasi Untuk Anda

Nilai artikel ini
Klik bintang untuk menilai

News Update

Mayantara 05 Nov 2025, 19:29 WIB

Budaya Scrolling: Cermin dari Logika Zaman

Di banyak ruang sunyi hari ini, kita melihat pemandangan yang sama, seseorang menunduk menatap layar, menggulir tanpa henti.
Kita menyebutnya scrolling, para peneliti menyebutnya sebagai ritual baru zaman digital. (Sumber: Pexels/cottonbro studio)
Ayo Biz 05 Nov 2025, 18:38 WIB

Deteksi Dini Anak Berkebutuhan Khusus, antara Keresahan Orang Tua dan Tantangan Penerimaan

Selain faktor akses, stigma sosial menjadi penghalang besar. Tidak sedikit orang tua yang enggan memeriksakan anak karena takut dicap atau dikucilkan.
Ilustrasi. Deteksi dini anak berkebutuhan khusus masih menjadi isu mendesak di Indonesia. (Sumber: Freepik)
Ayo Netizen 05 Nov 2025, 17:21 WIB

10 Penulis Terpilih Oktober 2025: Kritik Tajam untuk Bandung yang 'Tidak Hijau'

Inilah 10 penulis terbaik yang berhasil menorehkan karya-karya berkualitas di kanal AYO NETIZEN sepanjang Oktober 2025.
Banjir di Kampung Bojong Asih, Kecamatan Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung, pada Minggu, 9 Maret 2025. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Kavin Faza)
Ayo Biz 05 Nov 2025, 14:48 WIB

Cibunut Berwarna Ceminan Semangat Ekonomi Kreatif dan Pemberdayaan Pemuda di Gang-gang Kota Bandung

Kampung Cibunut menjelma menjadi simbol pemberdayaan ekonomi wilayah dan pemuda melalui semangat ekonomi kreatif yang tumbuh dari akar komunitas.
Kampung Cibunut menjelma menjadi simbol pemberdayaan ekonomi wilayah dan pemuda melalui semangat ekonomi kreatif yang tumbuh dari akar komunitas. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Jelajah 05 Nov 2025, 12:49 WIB

Hikayat Pelarian Eddy Tansil, Koruptor Legendaris Paling Diburu di Indonesia

Kisah dramatis pelarian Eddy Tansil, koruptor legendaris yang lolos dari LP Cipinang tahun 1996 dan tak tertangkap hingga kini, jadi simbol abadi rapuhnya hukum di Indonesia.
Eddy Tansil saat sidang korupsi Bapindo. (Sumber: Panji Masyarakat Agustus 1994)
Ayo Netizen 05 Nov 2025, 11:49 WIB

Garis Merah di Atas Kepala Kita

Refleksi Moral atas Fenomena S-Line dan Krisis Rasa Malu di Era Digital
poster film S-Line (Sumber: Video.com)
Ayo Netizen 05 Nov 2025, 10:55 WIB

Bergadang dan Tugas, Dilema Wajar di Kalangan Mahasiswa?

Feature ini menyoroti kebiasaan bergadang mahasiswa yang dianggap wajar demi tugas dan fokus malam hari.
Ilustrasi mengerjakan tugas di waktu malam hari (Sumber: Pribadi | Foto: Muhamad Alan Azizal)
Ayo Netizen 05 Nov 2025, 09:26 WIB

Bicara tentang Ramuan Khusus Seorang Pemimpin Muda

4 ramuan khusus atau four action yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin muda.
Muhammad Fatahillah, Ketua OSIS (Organisasi Intra Siswa Sekolah) MAN 2 Kota Bandung (Sumber: Highcall Ziqrul | Foto: Highcall Ziqrul)
Ayo Netizen 05 Nov 2025, 08:48 WIB

Menyemai Minat Baca Mahasiswa di Tengah Dunia Digital

Fenomena pergeseran bentuk literasi di kalangan civitas akademika, terutama dunia kampus
Kegiatan literasi mahasiswa di perpustakaan UIN Sunan Gunung Djati Bandung (Sumber: Dokumentasi Pribadi Penulis | Foto: Salsabiil Firdaus)
Ayo Netizen 05 Nov 2025, 07:57 WIB

Bystander Effect yang Dialami Perempuan dalam Film Shutter (2025)

Film horor di Indonesia tidak lepas mengangkat tokoh perempuan sebagai korban kekerasan atau pelecehan seksual hingga mengalami Bystander Effect.
Isu Byestander Effect dalam Film Shutter (Sumber: Instagram | Falconpicture)
Ayo Netizen 04 Nov 2025, 20:02 WIB

Teja Paku Alam Bermain Gemilang, ’Sudahlah Persib Tak Butuh Kiper Asing’

Siapa pun tahu penjaga gawang nomor satu Persib bukanlah Teja Paku Alam, tapi Adam Przybek, pemain asing berkebangsaan Polandia.
Penjaga gawang Persib Teja Paku Alam (kanan), dan Adam Przybek (tengah) pemain asing berkebangsaan Polandia. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Irfan Al-Faritsi)
Ayo Biz 04 Nov 2025, 19:33 WIB

Menanam Harapan di Tengah Krisis Hijau, Membangun Semangat Pelestarian Hutan Lewat Edutourism

Edutourism menawarkan pengalaman wisata yang tidak hanya menyenangkan, tetapi juga membangun kesadaran ekologis.
Contoh nyata praktik edutourism adalah Orchid Forest Cikole. Tidak hanya menawarkan keindahan lanskap, tetapi juga jadi ruang belajar tentang pentingnya pelestarian hutan dan tanaman anggrek. (Sumber: dok Orchid Forest Cikole)
Ayo Jelajah 04 Nov 2025, 18:27 WIB

Sejarah Kopo Bandung, Berawal dari Hikayat Sesepuh hingga Jadi Distrik Ikon Kemacetan

Dulu dibangun dengan darah dan keringat Eyang Jawi, kini Jalan Kopo jadi ikon kemacetan Bandung. Inilah sejarah panjangnya dari masa kolonial hingga modern.
Jalan di antara Cisondari dan Kopo zaman baheula. (Sumber: KITLV)
Ayo Netizen 04 Nov 2025, 17:49 WIB

Suatu Malam yang Syahdu Menikmati ‘Sate Sadu’ Soreang yang Legendaris

Dalam sekejap, makanan habis. Keempukan daging, kegurihan rasa, menyatu. Sate Sadu memang legendaris.
Sate Sadu di Soreang, Kabupaten Bandung. (Sumber: Ulasan Pengguna Google)
Ayo Biz 04 Nov 2025, 17:29 WIB

Mengubah Cokelat Jadi Gerakan, Sinergi UMKM dan Petani dalam Rantai Pangan

Di tengah tren urbanisasi, muncul kesadaran baru bahwa produk pangan berbasis bahan baku lokal memiliki nilai lebih. Bukan hanya dari sisi rasa, tetapi juga dari dampak sosial yang ditimbulkan.
Battenberg3, sebuah UMKM yang menjadikan kolaborasi dengan petani sebagai inti bisnisnya. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Netizen 04 Nov 2025, 17:00 WIB

Sosok yang Menyemai Harapan Hijau di Padatnya Kota Bandung

Di bawah kepemimpinannya, program Buruan SAE meraih berbagai penghargaan nasional dan internasional.
Gin Gin Ginanjar. Di bawah kepemimpinannya, program Buruan SAE meraih berbagai penghargaan nasional dan internasional. (Sumber: Humas DKPP Bandung | Foto: Humas DKPP Bandung)
Ayo Jelajah 04 Nov 2025, 16:50 WIB

Hikayat Skandal Dimas Kanjeng, Dukun Pengganda Uang Seribu Kali Lipat

Dimas Kanjeng mengaku bisa menggandakan uang ribuan kali lipat, tapi di balik padepokannya tersimpan kisah kelam pembunuhan dan penipuan.
Dimas Kanjeng Taat Pribadi, dukun pengganda uang yang jadi sensasi nasional.
Ayo Netizen 04 Nov 2025, 16:16 WIB

Menjadi Mahasiswa IKIP Bandung Bagian Satu

Bernostalgia tentang menjadi mahasiswa IKIP Bandung pada tahun 1995-an.
Villa Isola. (Sumber: Dok. UPI Bandung)
Ayo Biz 04 Nov 2025, 16:00 WIB

Ledakan Industri Estetika di Bandung, Klinik Kecantikan Jadi Simbol Gaya Hidup Baru

Bandung kini tengah menyaksikan geliat baru yang kian menonjol, lewat maraknya klinik kecantikan yang menjadi bagian tak terpisahkan dari kebutuhan masyarakat urban.
Bandung kini tengah menyaksikan geliat baru yang kian menonjol, lewat maraknya klinik kecantikan yang menjadi bagian tak terpisahkan dari kebutuhan masyarakat urban. (Sumber: dok L’VIORS Beauty Clinic)