AYOBANDUNG.ID - Di sebuah pagi yang dingin di Pangalengan, asap tipis membumbung dari tungku dapur. Di dalam rumah kayu itu, seorang ibu sedang merebus air, menggiling biji kopi, lalu menyeduhnya perlahan dalam teko logam. Harumnya menyeruak ke seluruh penjuru. Tajam, hangat, dengan aroma buah dan sedikit bunga. Kopi itu bukan sembarang kopi. Ia adalah Java Preanger, kopi tua dari tanah muda. Nama yang baru kembali ramai disebut, tapi jejaknya sudah ada sejak zaman orang-orang bermata biru berkuasa atas tanah-tanah di Priangan.
Java Preanger bukan sekadar nama cantik untuk kopi Arabika dari Jawa Barat. Ia adalah cermin sejarah. Sejak abad ke-18, kopi dari tanah ini sudah bikin lidah Eropa menari. VOC, kongsi dagang Belanda, menjualnya ke Amsterdam, Hamburg, dan London. Dalam catatan pelayaran, peti-peti kayu berisi biji kopi dikapalkan dari Batavia. Labelnya ringkas: Java Coffee. Tak ada “Preanger”. Tak ada klasifikasi berdasarkan dataran tinggi, varietas, atau metode pascapanen. Yang penting: kopi itu dari Jawa. Itu saja sudah cukup membuatnya laku.
Di mata dagang kolonial, Java adalah segalanya. “Java coffee” bahkan jadi istilah generik. Saking terkenalnya, muncul istilah “a cup of Java” di Amerika Serikat. Slang itu hidup sampai sekarang, meski kopi di cangkir-cangkir Starbucks di New York atau Seattle tak lagi datang dari tanah Priangan.
Tapi sejarah tak mati. Ia hanya menunggu waktu untuk dihidupkan kembali.
Dari Java ke Preanger
Di awalnya, semua kopi di Jawa datang dari biji Arabika yang dibawa Belanda dari Yaman lewat India pada awal 1700-an. Kopi ditanam di banyak tempat. Tapi tak semua tempat cocok. Priangan yang kini mencakup Bandung, Garut, Sumedang, punya sesuatu yang istimewa. Ketinggian, hawa dingin, tanah vulkanik. Pohon kopi tumbuh sehat, perlahan, dan menghasilkan buah yang padat rasa.
Tapi kehancuran datang pada akhir abad ke-19. Tepatnya tahun 1878, penyakit karat daun menyapu kebun-kebun kopi Arabika di Jawa. Banyak lahan rusak. Tak bisa dipanen lagi. Pemerintah kolonial mengganti tanaman kopi dengan teh, yang lebih tahan dan lebih mudah ditanam. Priangan berganti wajah. Kopi Arabika pun tinggal kenangan.
Baru setelah Indonesia merdeka, kopi Arabika mulai dilirik kembali. Tapi butuh waktu lama hingga namanya terangkat. Nama “Java Preanger” sendiri diperkirakan baru ramai dibincangkan setelah kopi adal Gunung Puntang pernah menjadi juara dalam ajang Specialty Coffee Association of America (SCAA) Expo di Atlanta, Amerika Serikat pada 2016 lalu.
Baca Juga: Dari Bandung Kopi Purnama, Ke Hindia Ku Berkelana
Dari Kebun ke Panggung Dunia
Sebelum itu, ada proses panjang. Setelah era Orde Baru yang nyaris melupakan kopi, para petani di Pangalengan dan Gunung Tilu mulai berinisiatif. Sekitar awal 2000-an, muncul kesepakatan dengan Perhutani. Lahan-lahan di kawasan hutan produksi yang sebelumnya ditanami sayuran diganti dengan tanaman keras: kopi, cengkeh, bahkan nangka. Tujuannya bukan cuma ekonomi, tapi juga menjaga kelestarian hutan.
Langkah itu disambut pemerintah. Tahun 2011, Dinas Perkebunan (Disbun) Jawa Barat membentuk Unit Pengolahan Hasil (UPH) di empat kabupaten: Bandung, Bandung Barat, Garut, dan Ciamis. Fokusnya: menaikkan mutu kopi dan memperbaiki rantai pasok. Tak cukup di situ. Mereka juga mendorong sertifikasi Indikasi Geografis (IG) agar kopi ini diakui secara hukum dan dagang.
Tahun 2013, setelah melewati proses verifikasi yang panjang dan teknis, sertifikat IG untuk Java Preanger resmi diterbitkan oleh Kementerian Hukum dan HAM. Sejak itu, kopi Java Preanger diikat oleh seperangkat standar ketat: harus ditanam di atas ketinggian 1.000 mdpl, berasal dari varietas Arabika unggulan (Typica, S-Line, atau Kartika), dan diproses dengan metode tertentu, baik Olah Basah Giling Kering (OBGK) maupun Giling Basah (OBGB).
Salah satu wilayah yang menonjol adalah Gunung Tilu. Kawasan ini membentang dari Pasirjambu, Ciwidey, hingga Pangalengan. Di sanalah Pak Aleh dan Kelompok Tani Margamulya menggarap 247 hektar lahan kopi sejak 2001, menurut catatan Disbun. Ia tak bekerja sendiri. Bersama petani lain, ia membentuk koperasi. Perlahan-lahan mereka belajar soal pascapanen, fermentasi, pemetikan selektif. Mereka bukan cuma menanam, tapi juga mencicipi, menilai, dan menstandarkan rasa.

Produksi mereka stabil, sekitar 70 ton green bean per musim. Karakter rasanya khas: fruity, floral, spicy, dengan tingkat kemanisan alami yang lembut. Semua itu tak lepas dari faktor ketinggian dan lambatnya proses pematangan buah. Semakin lambat buah matang, semakin kompleks rasa yang dikandung.
Kopi dari Gunung Tilu bukan hanya bicara mutu. Ia juga sudah menorehkan prestasi. Pernah menyabet juara dalam lomba pengolahan kopi se-Jawa Barat. Pembelinya tak cuma dari Bandung atau Jakarta. Tapi juga menembus ekspor ke luar negeri lewat eksportir pihak ketiga.
Dan puncaknya, kopi Java Preanger tampil di panggung dunia di Atlanta. Enam kopi Java Preanger jadi perwakilan Indonesia. Deskripsi cupping-nya sungguh menggiurkan: blueberry, jasmine, vanilla, roasted peanut, hingga dark chocolate.
“Java Preanger” jadi cara baru untuk mengangkat kopi Arabika dari dataran tinggi Jawa Barat. Ia adalah kebalikan dari “Java” sebagai istilah generik. Justru semakin spesifik, semakin baik. Istilah ini menyimpan asal-usul geografis, jenis tanaman, dan metode pengolahan. Tak bisa sembarang kopi mengklaim nama itu. Kemunculan brand "Java Preanger" beriringan dengan gelombang kopi spesialti yang menuntut kejelasan asal, rasa, dan identitas. Dalam tren baru ini, petani tak lagi hanya menjual kopi sebagai komoditas gelondongan. Mereka menjual rasa. Menjual cerita.
Baca Juga: Cerita Perjalanan Kopi Palintang, Penakluk Dunia dari Lereng Bandung Timur
Tak semua kopi bisa disebut Java Preanger. Itu nama yang berat. Ada sejarah panjang di belakangnya, ada gunung-gunung yang menjadi rahim bagi biji-biji merah itu tumbuh. Gunung Cikuray, Papandayan, Malabar, Caringin, Tilu, Patuha, Halu, Beser, Burangrang, Tangkubanparahu, sampai Manglayang. Sebelas nama gunung, sebelas sumber rasa.
Penanda Rasa dan Identitas
Java Preanger hari ini bukan sekadar merek. Ia adalah identitas kolektif. Sebuah janji bahwa di balik cangkir yang harum itu, ada proses panjang, ada kerja keras petani, ada tanah yang dijaga, dan ada sejarah yang tak disangkal. Nama ini tidak bisa sembarangan dipakai. Harus murni 100 persen Arabika dari wilayah IG yang telah ditetapkan. Tak boleh ada campuran. Tak bisa sembarangan olah. Harus dipetik satu-satu, hanya buah merah matang di atas 95 persen. Semuanya dicatat, diberi kode lot, ditelusuri hingga ke lahan dan waktu panen.
Java Preanger adalah bukti bahwa kopi bisa jadi lebih dari sekadar minuman. Ia bisa jadi alat diplomasi, instrumen budaya, bahkan perlawanan halus atas narasi kolonial. Nama yang dulu dipakai Belanda untuk mengeruk untung, kini dimiliki kembali oleh petani-petani kecil di lereng gunung. Mereka tak menjual sejarah, tapi meneruskannya dengan cara baru.
Di tengah banjir tren kopi kekinian, dari kopi susu gula aren sampai cold brew botolan, Java Preanger tetap tenang. Ia tak perlu ikut-ikutan. Ia sudah punya tempat. Bagi yang ingin menyeruput rasa sekaligus sejarah dalam satu tegukan, kopi ini adalah jawabannya.