AYOBANDUNG.ID - Tak semua kedai kopi lahir dari strategi bisnis yang ribet. Ada yang hanya bermula dari racikan sederhana, meja kayu, dan semangat bertahan. Kopi Purnama, di sudut Jalan Alkateri No. 22, Kota Bandung, barangkali tidak pernah bercita-cita menjadi legenda. Tapi waktu dan kesetiaan pengunjunglah yang membuatnya demikian. Ia bukan sekadar kedai kopi, tapi penanda zaman yang masih bertahan meski dunia terus berubah.
Di tengah gelombang kedai kopi baru yang lahir dari algoritma media sosial dan interior Instagramable, Kopi Purnama berdiri tanpa pretensi. Bangunannya tidak tinggi, tidak berkilau, dan tidak pula terlalu ramai hiasan. Tapi justru di situlah letak pesonanya. Siapa pun yang masuk ke kedai ini seolah sedang melangkah mundur ke masa lalu—ke zaman ketika kopi bukan sekadar konten, melainkan teman ngobrol dan perenungan.
Kedai ini lahir pada 1930, tapi kisahnya dimulai lebih awal. Jong A Tong, seorang perantau Tionghoa dari Medan, sudah mulai merintis usaha kopi sejak 1927. Ia tak asing dengan dunia kuliner. Sebelum menjejak Bandung, ia sudah menjual kopi susu dan roti srikaya di tanah Sumatra.
Ketika tiba di Bandung, ia mendirikan kedai bernama Tjiang Shong Shi. Tiga tahun berselang, nama Kopi Purnama pun resmi dipakai. Entah kenapa ia memilih nama itu, yang jelas nama tersebut bertahan hingga hari ini—bahkan ketika pemiliknya sudah berpulang puluhan tahun lalu.
Di zaman Hindia Belanda, kedai ini cukup ramai. Bukan cuma orang Tionghoa yang nongkrong, tapi juga para bangsawan Belanda dan pedagang bermodal. Mungkin karena lokasinya yang strategis, atau karena kopi susunya yang punya rasa khas—tidak terlalu manis, tidak pula pahit mencolok.
Dari generasi ke generasi, Kopi Purnama tidak berubah banyak. Setelah Jong A Tong wafat, usaha ini diteruskan oleh putranya, Allen Josanna, pada 1947 persis dua tahun setelah Indonesia merdeka. Allen memegang kendali selama tiga dekade, lalu menyerahkan estafet kepada putrinya, Evy Josanna, pada 1977.
Di tangan Evy, Kopi Purnama tetap mempertahankan nilai-nilai lama, meski zaman sudah banyak bergeser. Ia tidak menambah banyak menu, tidak pula mengubah tampilan bangunan secara drastis. Ia tahu, pelanggan setia mereka datang justru karena kesederhanaan itu.
Kini, generasi keempat mengurus kedai ini. Namanya Aldi Yonas, lahir di zaman ketika kopi sudah dikemas dalam banyak istilah: cold brew, manual brew, single origin, dan sejenisnya. Tapi Aldi tidak latah mengikuti tren. Ia menyadari bahwa identitas Kopi Purnama justru terletak pada keasliannya.
"Bangunan tuanya masih ada dan masih sama," kata Aldi, kepada Ayobandung. Meski ada perluasan ruang non-smoking dan sedikit penyesuaian di bagian tengah, struktur asli tetap dipertahankan.
Ruang di kedai ini terbagi tiga: area depan, ruang merokok, dan non-smoking room. Kursi kayu, meja tua, dan dinding yang dihiasi foto-foto zaman kolonial membuat suasana di dalamnya terasa seperti museum kecil. Tapi ini bukan museum mati. Di sinilah kenangan dan obrolan terus diseduh, seperti kopi yang tak pernah dingin.
Sajian menu andalan mereka sejak dulu tetap jadi primadona: kopi susu, roti srikaya, roti mentega gula, dan nasi goreng Purnama. Semua bahan baku dibuat sendiri, termasuk selai srikaya-nya yang terkenal legit dan gurih. Tekstur rotinya lembut, disajikan hangat-hangat dan cocok jadi teman minum kopi di pagi atau sore hari.

Beberapa menu memang ditambah demi mengikuti zaman, tapi "menu yang dari dulu tetap kita pertahankan," ujar Aldi.
Bisnis lintas generasi bukan perkara enteng. Aldi mengaku tantangannya bukan cuma soal pesaing baru, tapi juga menjaga hubungan dengan pelanggan lama. “Banyak pelanggan yang sejak zaman ibu saya dulu, bahkan sejak zaman buyut saya, masih setia datang,” ujarnya. Mereka datang bukan untuk coba-coba, tapi karena Kopi Purnama sudah jadi bagian dari rutinitas, bahkan gaya hidup.
Dari semua tantangan yang pernah dihadapi, Aldi paling mengingat dua masa sulit: krisis moneter 1997 dan pandemi COVID-19. Saat krismon, ia masih anak-anak. Tapi ia ingat bagaimana ibunya bertahan dengan strategi sederhana namun telaten. Namun pandemi jauh lebih berat. Kedai sempat tutup selama dua hingga tiga bulan karena kebijakan social distancing. Untungnya, penjualan online menyelamatkan mereka.
Seiring waktu, nama Kopi Purnama makin dikenal luas. Tahun 2007, kedai ini jadi lokasi shooting film Love is Cinta, yang dibintangi Raffi Ahmad dan Acha Septriasa. Sejak saat itu, para artis berdatangan. Dari Ridwan Kamil, Hotman Paris, Jusuf Kalla, hingga Meriam Bellina—semua pernah singgah di kedai ini. Tapi jangan kira suasananya berubah menjadi mewah. Kopi Purnama tetap Kopi Purnama, apa adanya, setia dengan gaya lamanya.
Sayangnya, hingga kini bangunan kedai ini belum ditetapkan sebagai Cagar Budaya oleh pemerintah Kota Bandung. Meski demikian, hal itu tak membuat Aldi kecil hati. Ia tahu, keaslian dan konsistensi sering kali lebih kuat dari sertifikat. Ia percaya bahwa kekuatan bisnis ini ada pada nilai yang diturunkan dari generasi ke generasi—bukan hanya resep, tapi juga cara menghargai pelanggan dan sejarah.

"Setiap generasi harus belajar," kata Aldi, "tapi jangan pernah tinggalkan jati diri." Barangkali itulah filosofi Kopi Purnama. Mereka tak berusaha jadi yang paling modern, paling canggih, atau paling ramai. Mereka hanya ingin tetap ada, tetap setia pada yang dulu, tanpa menutup diri dari yang baru.
Dan di tengah hiruk-pikuk Bandung yang makin padat, Kopi Purnama tetap jadi oase yang menenangkan. Di sana, secangkir kopi tak cuma bicara tentang rasa, tapi juga tentang waktu yang terus berjalan, namun tak pernah benar-benar pergi.