TomTom Traffic Index tahun ini mencatat Kota Bandung sebagai kota termacet di Indonesia. Jalan-jalan utama sering dipadati kendaraan, terutama pada jam berangkat dan pulang kerja. Di beberapa titik, kemacetan berlangsung puluhan menit bahkan jam.
Namun ada satu hal yang menarik perhatian siapa pun yang baru pertama kali berkendara di Kota Bandung. Di tengah padatnya lalu lintas, suasana relatif tenang dari sisi bunyi klakson. Tidak ada hiruk-pikuk suara nyaring yang saling bersahutan seperti yang sering terdengar di kota-kota besar lain.
Fenomena ini bukan berarti pengemudi di Kota Bandung tidak menghadapi situasi yang menjengkelkan di jalan. Mereka juga berhadapan lampu merah lama, kendaraan memotong jalur, atau pengendara mendadak berhenti di depan. Namun, klakson tidak menjadi pilihan utama untuk bereaksi. Di sini, kesabaran dan komunikasi nonverbal tampaknya lebih dominan.
Klakson sebenarnya adalah alat komunikasi penting berkendara. Ia memberi peringatan pada kendaraan lain, mengingatkan pejalan kaki, atau menandakan keberadaan kendaraan di titik buta. Dalam situasi darurat, bunyinya bisa menyelamatkan nyawa.
Tetapi klakson juga dapat berubah fungsi menjadi saluran emosi. Ketika digunakan berlebihan atau dengan nada marah, ia menjadi bentuk protes atau tekanan psikologis kepada orang lain di jalan.
Di Kota Bandung, komunikasi di jalan cenderung mengambil bentuk lebih halus. Banyak pengemudi memilih melambat, memberi isyarat lampu sein, atau sekadar menunggu momen tepat untuk bergerak.
Tidak sedikit lebih memilih menatap singkat atau tersenyum sebagai tanda terima kasih setelah diberi jalan. Budaya seperti ini menunjukkan bahwa komunikasi tidak selalu harus berupa suara keras. Kesopanan dan bahasa tubuh bisa lebih efektif menyampaikan maksud.
Kajian Jathla A. Mahmood dari Al Iraqia University (2021) menunjukkan, klakson sesungguhnya memiliki makna jauh lebih luas daripada sekadar tanda bahaya/ekspresi kemarahan di jalan. Dalam penelitiannya yang memotret kebiasaan pengemudi di sepuluh negara, Mahmood menemukan bahwa bunyi klakson di banyak tempat justru telah menjadi fenomena budaya.
Ia digunakan layaknya bahasa atau kode morse, sebuah medium komunikasi yang mampu menyampaikan berbagai maksud, termasuk mempererat hubungan sosial di antara para pengguna jalan.
Dari sudut pandang ilmu komunikasi, penelitian tersebut mengingatkan bahwa klakson seharusnya dipandang sebagai saluran komunikasi nonverbal yang sah. Ia tidak melulu bersifat konfrontatif, melainkan bisa menjadi isyarat membantu koordinasi dan menciptakan rasa saling pengertian di jalan.
Dengan perspektif ini, kebiasaan warga Kota Bandung yang memilih untuk jarang membunyikan klakson dapat dimaknai sebagai pilihan budaya komunikasi yang lebih menekankan toleransi dan kesadaran akan harmoni, tanpa menghilangkan fungsi klakson sebagai alat peringatan ketika benar-benar diperlukan.
Budaya Lokal

Kebiasaan jarang membunyikan klakson ini bisa dibaca pula dari sudut pandang budaya lokal. Masyarakat Kota Bandung dikenal dengan sifat santai dan menjunjung nilai kesopanan dalam interaksi sehari-hari. Dalam percakapan, nada bicara yang lembut lebih dihargai dibanding intonasi tinggi, dan sikap ini tampaknya terbawa hingga ke perilaku di jalan.
Berbeda dengan Jakarta, misalnya, yang lalu lintasnya cenderung lebih agresif, Kota Bandung memiliki ritme interaksi jalan yang lebih lambat dan terukur. Jakarta sering digambarkan sebagai kota yang bergerak cepat dan kompetitif, sehingga bunyi klakson menjadi bagian pola komunikasi sehari-hari di jalan.
Di Bandung, ritme ini lebih tenang meskipun volume kendaraan tidak kalah padat. Ada semacam kesepahaman tidak tertulis bahwa jalan adalah ruang bersama yang harus diisi dengan saling mengerti, bukan saling mendesak.
Fenomena ini juga menunjukkan peran norma sosial kuat. Ketika sebagian besar orang memilih untuk tidak membunyikan klakson kecuali mendesak, perilaku itu menjadi standar yang diikuti orang lain.
Pengemudi baru, termasuk pendatang, secara perlahan akan menyesuaikan diri dengan kebiasaan ini. Norma sosial bekerja seperti pengatur lalu lintas tak terlihat yang membentuk cara orang berinteraksi di jalan.
Menariknya, ketenangan dari minimnya klakson tidak berarti pengemudi di Kota Bandung pasif. Mereka tetap tanggap kondisi sekitar.
Misal, jika ada anak yang tiba-tiba menyeberang atau kendaraan yang mundur tanpa melihat spion, klakson tetap digunakan. Namun, bunyinya singkat dan tepat sasaran. Fungsi komunikasi keselamatan tetap terjaga, sementara unsur agresi diminimalkan.
Dari sisi komunikasi publik, perilaku ini menjadi contoh bahwa pesan dapat tersampaikan tanpa harus menimbulkan gesekan emosional. Jalan raya adalah ruang interaksi yang unik karena penggunanya berasal dari latar belakang beragam.
Bahasa tubuh, kecepatan kendaraan, dan isyarat lampu bisa membentuk percakapan yang terjadi tanpa kata-kata. Selain itu, suasana jalan dan cuaca yang relatif adem juga memiliki dampak psikologis.
Kemacetan memang tetap menimbulkan stres, tetapi tanpa suara klakson yang saling bersahutan, tingkat ketegangan berkurang. Pengemudi punya peluang lebih besar untuk mengatur emosi dan mengambil keputusan dengan kepala dingin, sehingga menunjang efek positif pada keselamatan berkendara.
Namun, budaya ini tidak serta-merta bebas tantangan. Perilaku santun di jalan bisa saja dimanfaatkan pengemudi yang kurang disiplin, misalnya memotong antrean atau berhenti sembarangan.
Dalam situasi seperti ini, komunikasi tetap penting agar ketertiban terjaga. Pengemudi yang jarang menggunakan klakson perlu memastikan bahwa isyarat lain yang mereka berikan cukup jelas dipahami pengguna jalan lain.
Fenomena jarang membunyikan klakson di Kota Bandung adalah cermin interaksi sosial yang lebih luas. Ia menunjukkan bagaimana budaya mempengaruhi cara kita menggunakan alat komunikasi, bahkan dalam konteks sesingkat lalu lintas.
Kota ini mengajarkan bahwa menjaga ketenangan bersama tidak selalu berarti mengorbankan keselamatan. Justru dengan komunikasi yang lebih terkendali, perjalanan bisa terasa lebih aman dan nyaman bagi semua.
Pada akhirnya, bagi penulis, jalan raya adalah salah satu panggung terbesar komunikasi publik. Di sana, setiap tindakan adalah pesan, setiap isyarat adalah bagian percakapan yang menentukan keamanan dan kenyamanan bersama.
Masyarakat Kota Bandung telah menunjukkan bahwa kesopanan dan kesabaran dapat menjadi bahasa bersama efektif, sekalipun kemacetan kok malah makin parah. (*)