BAYANGKAN Anda duduk santuy di mobil. Tapi, mobil tak bisa laju. Tersendat. Bahkan, nyaris tak bergerak. Ini mungkin bukan sesuatu kejadian luar biasa. Pasalnya, ini adalah menu rutin harian yang dialami ribuan orang di kota-kota besar Indonesia. Termasuk Bandung.
Diperkirakan rata-rata penduduk kota besar di Indonesia bisa kehilangan hingga 108 jam per tahun karena kemacetan. Itu berarti hampir lima hari penuh hanya untuk menatap kemudi, aspal, dan lampu merah.
Angka 108 jam per tahun tersebut diperoleh dari hasil perkiraan waktu tempuh tambahan yang dialami oleh pengendara di kota-kota besar akibat kemacetan lalu lintas, dibandingkan dengan waktu perjalanan normal tanpa hambatan.
Misalnya, jika seseorang menghabiskan rata-rata 15 hingga 20 menit ekstra setiap hari karena kemacetan dalam perjalanan pulang-pergi, maka dalam 250 hari kerja setahun, akumulasi waktu yang hilang bisa mencapai lebih dari 100 jam.
Studi seperti TomTom Traffic Index atau laporan transportasi dari Bappenas dan Kementerian Perhubungan menggunakan data kecepatan kendaraan real-time, GPS, dan pola perjalanan harian untuk memproyeksikan total waktu terbuang tersebut.
Maka, angka 108 jam bukanlah hasil spekulasi, melainkan gambaran nyata tentang bagaimana infrastruktur dan manajemen lalu lintas berdampak langsung pada kualitas hidup masyarakat urban.
Boleh jadi angka itu seakan hanya statistik. Tapi, mari kita bayangkan ulang. Jumlah 108 jam adalah waktu yang cukup untuk menyelesaikan membaca lima novel tebal atau menulis tiga cerita pendek. Atau juga membangun satu bisnis kecil online dari nol.
Kemacetan mencuri waktu kita
Sejatinya, kemacetan bukan cuma membuat kita telat. Ia mencuri waktu hidup kita yang seharusnya bisa digunakan untuk membangun dan mengembangkan sesuatu yang mungkin jauh lebih berguna dan lebih bermanfaat.
Jelas, kemacetan menggerogoti produktivitas kiat secara diam-diam. Bukan hanya tenaga kerja dan pelaku bisnis yang terkena dampaknya. Ibu rumah tangga, pelajar, lansia, bahkan anak-anak ikut mengalami akibat tak langsung dari kemacetan.
Nah, jika kita bisa mengubah 108 jam yang hilang itu ke dalam waktu yang lebih berkualitas bersama keluarga, akan seperti apa dampaknya bagi hubungan emosional kita?
Sebagian orang tua mengeluh tidak punya waktu untuk mendampingi anak belajar atau sekadar bermain bersama. Padahal, waktu itu ada, hanya mungkin hilang di jalan gara-gara macet.
Bayangkan pula jika 108 jam digunakan untuk mengasah keterampilan baru. Misalnya, mempelajari teknik desain grafis, belajar bahasa asing, atau mengikuti kursus online yang banyak tersedia gratis saat ini.
Kita bisa melakukan banyak hal dengan 108 jam. Kita bisa membangun kembali mimpi yang dulu ditinggalkan karena alasan sibuk dan tidak sempat. Tapi, gara-gara macet, mimpi itu akhirnya gagal kita wujudkan.
Dalam satu studi yang dikembangkan oleh Daniel Kahneman, peraih Nobel Ekonomi, disebutkan bahwa manusia merasa paling tidak bahagia ketika berada dalam perjalanan kerja yang macet. Ini menunjukkan bahwa kemacetan bukan hanya pemborosan waktu, tapi juga menguras energi psikis.
Waktu hilang selamanya

Waktu adalah satu-satunya sumber daya yang tak bisa dikembalikan. Uang yang hilang, kita bisa mencarinya lagi. Rumah yang hancur, kita bisa membangunnya lagi. Tapi, waktu yang hilang? Ia hilang selamanya.
Jika 108 jam -- yang hilang gara-gara macet itu -- dibagi ke dalam 30 menit per hari, kita, misalnya, bisa menggunakannya untuk membaca berita internasional, memperluas wawasan geopolitik, atau memahami tren industri terbaru.
Bahkan, jika hanya digunakan untuk merenung dan menulis jurnal harian, itu bisa membentuk refleksi pribadi yang dalam, memperkuat jati diri dan arah hidup kita.
Banyak orang mengaku tidak sempat berolahraga. Padahal, 108 jam itu cukup untuk menyelesaikan 54 sesi olahraga ringan berdurasi 30 menit. Tapi, karena macet dan waktu kita hilang, kita jadi tak sempat berolahraga.
Dengan 108 jam, kita juga bisa membuat konten edukatif yang menjangkau ribuan orang di media sosial. Kita bisa berbagi pengetahuan, pengalaman, bahkan membangun komunitas baru.
Bagi pelaku UMKM, waktu sebanyak itu bisa menjadi ruang untuk memoles strategi pemasaran, memperbaiki tampilan produk, atau menjalin koneksi dengan pelanggan baru.
Adapun untuk siswa dan mahasiswa, 108 jam bisa menjadi bekal tambahan menghadapi persaingan masa depan. Waktu tersebut bisa digunakan untuk membaca buku-buku pemikiran kritis atau mendalami bidang minat.
Bukan berarti terus bekerja
Orang sering lupa bahwa produktivitas bukan berarti terus bekerja. Kadang, duduk diam bersama orang terdekat, berbagi cerita dan tawa, adalah bentuk produktivitas emosional yang luar biasa.
Jumlah 108 jam bukan angka mati. Ia adalah kesempatan hidup yang bisa ditukar menjadi pengalaman, relasi, ide, dan bahkan perubahan sosial.
“Time is the longest distance between two places,” tulis Tennessee Williams. Barangkali jarak fisik antara rumah dan kantor hanya 15 kilometer. Tapi, gara-gara macet, waktu yang dibutuhkan seolah memisahkan kehidupan kerja dan kehidupan pribadi dengan tembok yang tinggi.
Dalam 108 jam, kita bisa mendengarkan lebih dari 1.500 lagu berdurasi rata-rata 4 menit. Bayangkan jika lagu-lagu itu mengusung makna, semangat, atau inspirasi yang membangun mood positif. Pasti luar biasa dampaknya.
Atau, 108 jam itu bisa menjadi sesi diskusi mingguan dengan pasangan atau anak, memperbaiki komunikasi dan meredakan konflik kecil sebelum menjadi besar.
Waktu sebanyak itu bahkan cukup pula untuk menanam dan merawat satu petak kecil kebun di emperan atau di belakang rumah, dan menghasilkan sayuran organik, bunga, atau tanaman obat keluarga.
Tersedot kerangkeng kemacetan

Sebagian dari kita barangkali mengeluh hidup terasa monoton. Tapi, mungkin, karena sebagian waktu terbaik kita tersedot dalam kerangkeng kemacetan di jalan raya.
Kita mungkin sering menyalahkan hal-hal kecil atas hilangnya rasa damai, padahal yang mencuri ketenangan kita adalah sistem yang membuat kita kehilangan waktu. Maka, kita agaknya perlu mulai memikirkan mobilitas bukan sekadar soal kendaraan, melainkan soal manajemen hidup.
Kota-kota yang bijak adalah kota yang memperlakukan waktu warganya sebagai aset paling berharga.
Transportasi publik yang andal, sistem kerja fleksibel, dan kebijakan work from home bisa menjadi solusi dalam mengurai kemacetan. Dan ini sesungguhnya bukan hanya soal solusi mengurangi kemacetan, tapi juga soal solusi mengembalikan 108 jam itu kepada kita.
Jadi, mulai hari ini, mari kita hitung ulang waktu kita di jalan raya. Berapa banyak kira-kira waktu yang kita sia-siakan karena kemacetan dan sekaligus apa yang bisa kita lakukan untuk mengatasinya? (*)